7

22 3 0
                                    

Hah, familiar? Jangan-jangan dia ingat akan aku...

Sebenarnya aku ada sedikit perasaan tidak mau diingat oleh Austin. Karena ada sebuah tragedi yang aku namakan Tragedi Angkat Meja.

Tragedi Angkat Meja, 2011

Festival olahraga tahunan di kampus adalah acara kampus yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan:

1) karena banyak mahasiswa yang memang menyukai olahraga,

2) karena banyak mahasiswa perempuan yang ingin menyemangati mahasiswa-mahasiswa laki-laki yang bermain olahraga keren seperti basket dan sepak bola (aku menyebutnya keren karena teman-temanku mengatakan seperti itu, entah kenapa disebut begitu. Padahal kan semua olahraga keren),

3) karena selama seminggu perkuliahan diliburkan. Aku termasuk di kategori ini.

Aku tidak bisa bermain olahraga. Sebelum acara itu tiba, aku rasa aku hanya akan menjadi penonton. Tapi ternyata, di dalam festival ini akan dibuka banyak stand. Dimulai dari stand makanan minuman, pendaftaran organisasi di kampus sampai pendaftaran untuk acara-acara di kampus. Karena aku tidak terlibat di dalam olahraga apapun di festival ini, aku menjadi penjaga stand untuk minuman.

Stand yang aku jaga berada di pinggir lapang sepak bola. Jangan berpikir bahwa aku jadinya bisa menonton pertandingan yang berlangsung. Pandanganku terhalangi oleh banyaknya penonton yang berdiri di depanku. Jadi aku hanya bisa mendengar suara teriakan pemain, suara tendangan bola, suara peluit, dan juga suara pendukung.

Di satu hari dalam festival olahraga itu, aku mendapatkan jadwal untuk menjaga stand di pagi hari. Dan untuk setiap penjaga stand yang di pagi hari harus mengambil meja di gedung peminjaman peralatan. Aku dijadwalkan bersama seorang laki-laki, tapi aku tunggu-tunggu dia tidak datang. Sedangkan festival sudah mau dimulai. Jadi aku memutuskan untuk mengambil meja dan dua buah kursi sendirian.

Pertama aku mengambil dua buah kursi dengan sekali jalan. Gedungnya berada di belakangku. Ya, tidak terlalu jauh. Dua buah kursi berhasil dibawa.

Ketika aku mengambil meja, penjaga peminjaman peralatan itu awalnya memang sudah ragu dan khawatir kalau aku membawanya sendirian. Jadi penjaga itu memanggil salah seorang temannya untuk membantuku membawa meja itu. Dan tebak siapa orang yang dia panggil.

"Austin," panggil orang itu.

Mendengar nama dia dipanggil, napasku terhenti untuk sesaat. Mungkin ada orang lain yang mempunyai nama itu. Lalu, muncullah seseorang dari dalam. Dan itu benar Austin yang aku tahu.

"Bantu dia dong bawain meja. Kasian sendirian," ujar penjaga itu. Tanpa keberatan, Austin langsung mengikuti permintaan penjaga itu. Ia terlihat sangat keren menggunakan pakaian trainingnya yang berwarna hitam dengan garis putih itu. Karena sangat keren, makanya aku masih bisa mengingatnya.

Aku berdiri di ujung meja dan dia berdiri di ujung meja yang lain. Aku sebenarnya sedikit terdiam di tempat dan tidak bisa bergerak. Tapi aku tidak mau dianggap aneh oleh Austin maupun penjaga itu. Jadi ketika Austin menghitung, "Satu, dua, tiga" aku ikut mengangkat meja itu.

Austin berjalan di depan, sehingga dia berjalan mundur. Tapi dia tidak melihat ke arahku.

Sudah satu tahun aku memendam perasaan suka kepadanya secara diam-diam. Tapi karena perbedaan jurusan dan dia juga tidak mengenalku, maka kesempatan aku untuk mendekatinya itu sangat kecil. Dia mungkin lupa tentang malam itu dimana dia menemaniku pulang dan juga ketika dia memberikan minuman kepadaku.

Sampai di tempat stand, kami menaruh meja itu dengan perlahan. Mungkin karena aku gugup, aku menaruh meja itu duluan. Sehingga, kaki meja sebelah meja yang dibawa oleh Austin menginjak kakinya.

Ia berteriak karena terinjak. Aku refleks mengangkat meja itu. Kakinya terlepas dari injakan kaki meja itu. Lalu dia berjalan dengan pincang ke pinggiran pohon dan duduk disana.

Aku semakin gugup. Apa yang harus aku lakukan? Aku menghampirinya dan aku meminta maaf.

"Ya, gapapa," balasnya. Dia melepas sepatu yang dia gunakan di kaki sebelah kirinya. Sambil merintih kesakitan, dia melepas kaos kaki yang dia gunakan juga.

Aku terkejut. Jari kakinya berdarah. Kelihatannya kuku jempol kakinya lepas. "Aduh, maaf banget ya," ucapku-spontan, aku jongkok di depannya dan melihat ke arah lukanya lebih jelas lagi.

Yang Austin balas hanya rintihan kesakitan. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Jadi aku berkata kepadanya, "Tunggu, aku ambilin dulu P3K."

Aku langsung berlari ke arah gedung peminjaman peralatan dan meminta P3K kepada penjaganya. Setelah aku diberikan P3K dan mengucapkan terima kasih kepadanya, aku langsung berlari lagi meninggalkan gedung dan berlari menuju Austin yang masih ada di bawah pohon besar itu.

Tapi dia tidak sendirian.

Aku memelankan lariku ketika aku melihat ada seorang perempuan yang berjongkok dan kelihatannya sedang mengobati luka itu. Ketika Austin melihat kedatanganku, dia berkata dengan tersenyum, "Gapapa, kok. Ini udah diobatin."

Perempuan itu menoleh ke arahku. Dia sangat cantik. Dia terlihat seperti keturunan dari negara barat. Kedua matanya besar dan indah. Rambutnya juga sangat bagus.

Aku memang tidak tahu dia itu siapa dan siapa dia untuk Austin. Tapi, aku langsung merasakan yang namanya sakit hati di saat itu juga. Itulah yang membuatku ingin melupakan Austin. Dan aku juga tidak ingin dia mengingat aku.

Setelah aku melakukan penelitian, memang benar perempuan itu adalah orang yang spesial untuk Austin. Namanya Johanna. Benar, dia mempunyai keturunan Belanda. Dan dia memang sangat cantik. Seperti seorang putri yang elegan dan anggun. Dia juga mengambil jurusan kedokteran dan berada di angkatan yang sama dengan Austin.

Mereka berdua cocok. Karena itu, aku membandingkan diriku dengan Johanna. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan dia. Aku menjadi minder setiap kali aku melihatnya di kampus.

Itulah sebabnya aku berkomitmen untuk menaruh Austin dan juga Johanna di masa lalu. Memang sulit.

Dan sekarang ditambah sulit lagi karena aku bertemu lagi dengan Austin. Aku bertanya-tanya dimanakah Johanna sekarang?

***

2018

Aku hanya terdiam dan tidak menjawab Austin. Austin terlihat berpikir dari ekspresi wajahnya.

"Beda orang kali," sahut Leo memecahkan keheningan.

"Iya, lo kan dokter yang pelupa," tambah Rio. "Udah yok, mending makan."

Kemudian kami semua duduk di kursi-kursi makan yang berada di sekitar meja makan yang berbentuk persegi panjang itu. Makan malam pun dimulai.

Me & Her BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang