Leo. Setelah aku cek di poster Indielasting, memang benar ada namanya. Jadi untuk Indielasting tahun ini memang ada kolaborasi antagra penyanyi-penyanyi K-Indie dan penyanyi-penyanyi Indie dari Indonesia. Selain Leo ada dua penyanyi Indonesia lainnya yang juga akan mengisi panggung disana.
Setelah aku mengetahui hal itu, aku merinding. Aku benar-benar berteman dengan Leo? Ya, belum jadi teman juga, sih. Leo benar-benar mengenal aku?
Aku melihat ke sampingku dan menemukan Leo yang berdiri di sebelahku-sedang melirik ke arah ponselku-yang sedang menampilkan poster Indielasting. Refleks, aku langsung mematikan ponselku dan merasa canggung terhadap Leo. Leo tertawa kecil melihat kecanggunganku itu.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Kami berdua sedang berdiri di luar mobil dan menunggu Tia yang sedang menelpon Pak Tio untuk memberitahukannya kalau kami telah sampai.
"Baik, Pak," ucap Tia menutup telponnya. "Yuk, udah ditunggu sama dia," lanjutnya sambil melihat ke arahku.
"Gue tunggu di luar aja, ya," ujar Leo.
"Oke," sahut Tia.
Aku berjalan di belakang Tia menuju rumah Pak Tio. Perasaan merindingku masih aku rasakan sampai aku dan Leo berpisah-untuk sesaat.
***
Setelah selesai berurusan dengan Pak Tio, aku dan Tia kembali menuju ke mobil. Melihat kami berjalan kembali menuju mobil, Leo yang entah sedang apa berdiri di dekat lampu taman terdekat, membuka kunci pintu mobil dan masuk ke dalam mobil. Kali ini aku duduk di jok belakang. Leo dan Tia akan mengantarkanku untuk pulang ke rumah.
Tia memang terlihat sudah kelelahan. Belum lama setelah mobil berjalan, dia sudah tertidur. Aku mengetahuinya karena Tia tidak menjawabku setelah aku memanggilnya beberapa kali. Kemudian Leo memeriksanya dan berkata, "Udah tidur dia."
"Oh gitu ya," jawabku canggung.
Aku merasakan kecanggungan di dalam mobil. Tia yang menjadi penengah antara aku dan Leo yang baru berkenalan hari ini tidur. Jadi aku merasa canggung untuk mengajak Leo mengobrol. Aku hanya memainkan ponselku dan sesekali melihat ke arah luar jendela. Mungkin karena sudah lumayan malam, keadaan jalan tidak terlalu macet. Palingan hanya macet karena lampu merah.
Mungkin Leo juga merasakan kecanggungan yang aku rasakan. Dia menyalakan radio dan mencari saluran radio. "Good Night Jakarta with Martha Claire," katanya bergumam yang masih bisa aku dengar. Itu adalah nama acara yang ada di saluran radio yang Leo pilih. Terdengar suara seorang perempuan-yang aku yakin adalah Martha Claire sedang berbicara dalam Bahasa Inggris. Aku belum pernah mendengar acara itu sebelumnya. Tapi aku tahu memang keberadaan acara itu.
"...Lights by Leo. Enjoy!" ucap Martha Claire. Setelah dia mengucapkan kalimat itu, alunan musik gitar terdengar. Instrumen yang tidak asing. Itu tidak lain adalah lagu Leo yang berjudul Lights. Itu adalah salah satu lagu Leo kesukaanku.
Aku melihat ke kaca spion yang ada di dalam mobil dan menemukan Leo yang juga sedang melirik ke arahku.
Deg.
Kenapa dia lihat kesini?
Canggung.
Benar-benar canggung.
Aku harus apa?
"Kamu tahu lagu ini?" tanya Leo memecahkan kecanggungan yang aku rasakan setelah saling bertatapan dengan Leo.
"Yaaaa," jawabku.
"Coba nyanyi," katanya.
Hah? Nyanyi??? Aku tertawa kecil. "Engga. Suaraku ga merdu," sahutku. "Lo aja yang nyanyi!"
Leo tersenyum. "Kan lo lagi denger gue nyanyi juga sekarang."
Benar juga, sih. Lagu Lights yang sedang diputar itu menunjukkan suara Leo yang khas dan merdu. "Tapi gue mau denger versi live nya," balasku.
Leo terdiam untuk sesaat. "Well, mungkin lain waktu. Karena menurut Google Maps kayaknya ini udah mau nyampe rumah lo."
Aku melihat keluar jendela dan menyadari memang sudah mau sampai ke rumahku. Aku mengarahkan Leo untuk sampai ke rumahku. Aku berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Leo. Tia tidak terbangun ketika mobil berhenti dan aku melarang Leo untuk membangunkannya.
"Makasih ya, Leo. Bener-bener ga nyangka bisa ketemu lo dengan cara ini," ucapku.
Ia tersenyum. "Makasih juga ya udah dengerin musik gue."
Aku terdiam ketika mendengar perkataan Leo itu. Dan aku melihat wajahnya sekali lagi, sebelum benar-benar aku mungkin tidak akan melihat wajahnya secara langsung lagi. "Ya udah, kalau gitu gue duluan, ya."
"Dah."
Aku pun keluar dari mobil dan menunggu sampai mobil Leo pergi. Aku melambaikan tanganku sebagai lambang mengucapkan sampai jumpa kepada Leo.
Leo membalasnya dengan suara klakson.
Itu adalah malam yang tidak pernah akan aku lupakan.
***
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasanya. Tidak ada kejutan seperti aku bertemu dengan Austin dan Leo di waktu dan tempat yang bersamaan. Aku tetap melanjutkan proyek film pendek dengan timku. Termasuk dengan Tia.
Aku dapat bertemu dan melihat wajahnya dari hari Senin sampai Jumat. Dan terkadang kami akan pergi ke mal atau restoran bersama pada hari Minggu. Jadi kami bisa bertatap muka selama enam hari dalam seminggu.
Pernah aku berpikir dan bertanya-tanya di dalam hatiku, coba aja aku juga bisa ketemu lagi dengan Leo. Maksudku, aku pernah bertemu dengannya dan menghabiskan beberapa waktu mengobrol dengannya. Bahkan aku mendapatkan tanda tangannya dan sekarang tanda tangannya itu aku tempel di depan buku catatan pribadiku. Suatu fansign gratis.
Belum lagi kenyataan dimana ternyata Leo bukan saja mempunyai suara yang indah, tapi dia juga sangat ramah dan riang. Jika aku menjadi temannya, aku rasa pertemanan itu tidak akan menjadi hambar dan bosan.
Tapi pada kenyataannya, ini adalah Tia. Adiknya. Bukan Leo. Bukan kakaknya. Ya meskipun aku juga sangat senang sih bisa berteman baik dengan Tia. Walaupun aku bisa saja berkunjung ke rumahnya kapan saja aku mau bertemu dengan Leo, tetap saja aku tidak bisa bertemu dengan Leo. Karena dia tidak ada di rumah. Dia jarang ada di rumah karena sibuk manggung disana-sini. Yang ada malah aku akan bertemu dengan Austin!
Loncat ke hari ini. Pagi ini-sebelum berangkat bekerja, aku merasakan gatal-gatal di kaki dan badanku. Benar-benar gatal. Rasanya seperti banyak nyamuk yang menyerangku dan aku tidak bisa berhenti menggaruk area yang gatal itu. Dan ketika aku periksa area yang gatal itu, area itu seperti bentol tapi sepeti terisi cairan.
Spontan aku kaget melihat bentol itu. Aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Langsung terlintas di benakku: Ya, ini adalah cacar air.
Aku langsung mencari tahu apa gejala cacar air di internet. Gejala-gejala yang aku temukan adalah antara lain: demam, mual, tidak nafsu makan, sakit kepala, dan nyeri pada otot. Aku merasakan semuanya itu!
Aku memang mengalami tidak enak badan dari dua hari yang lalu. Lebih tepatnya setelah aku pulang kerja. Aku juga mulai merasakan sakit kepala dan nyeri pada otor dari dua hari yang lalu itu dan kemarin aku mulai dan tidak nafsu makan. Ini pasti cacar air! pikirku.
Dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dari kamarku dan melaporkannya kepada kakakku.
"Ke dokter sana!" katanya. Ia terlihat jijik melihat cacar airku itu. Ia tidak mau dekat-dekat denganku karena takut tertular katanya.
Pada akhirnya, aku tidak kerja pada hari itu dan aku rasa untuk beberapa hari ke depan. Pak Tio juga tidak mau tertular kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Me & Her Brothers
RomanceAgita adalah seorang perempuan yang penuh dengan mimpi menjadi seorang animator. Dia bekerja menjadi seorang animator di salah satu studio animasi lokal. Semuanya berjalan dengan damai sampai akhirnya ada salah satu karyawan baru di perusahaan anima...