10

10 2 0
                                    

Jadi akhirnya aku ke dokter. Padahal aku adalah tipe orang yang tidak suka untuk pergi ke dokter. Jikalau masih dapat ditangani tanpa bantuan dokter, aku tidak akan pergi ke dokter.

Mungkin terakhir kali aku ke dokter adalah hampir sepuluh tahun yang lalu. Ketika aku terjatuh dari sepeda dan mengharuskan kakiku untuk diobati di rumah sakit. Semenjak itu aku tidak pernah ke dokter lagi.

Aku pernah memikirkan bahwa aku hanya akan ke dokter lagi ketika aku: 1) hamil, 2) melahirkan, dan 3) cacar air. Karena semua orang katanya akan mengalami yang namanya cacar air. Kebanyakan dari teman-temanku dan orang-orang yang aku kenal sudah mengalami cacar air ini di bangku SD atau paling lambatnya SMP. Sedangkan aku sampai aku berada di dunia kerja, aku masih membayangkan bagaimana rasanya cacar air itu dan jikalau memang semua orang akan mengalaminya, kapan aku akan terserang cacar air ini?

Pertanyaan-pertanyaanku itu terjawab pada hari ini.

Pagi setelah memaksakan ada makanan yang masuk ke dalam mulutku, aku bersiap-siap untuk mandi.

"Eh, mau ngapain lo bawa anduk?" tanya kakakku.

"Mandi," jawabku dengan santai sambil menggaruk-garuk tanganku yang mulai gatal.

"Cacar ga boleh mandi tau."

"Masa iya?"

"Iya. Percaya sama gue. Mending lo ganti baju aja terus langsung pergi ke rumah sakit."

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang ikut gatal. "Rumah sakit mana ya?" gumamku dengan suara yang kecil.

"Yang deket kantor gue aja tuh. Rumah Sakit Peduli Nasional. Kemaren temen gue gatel-gatel gitu kesana. Kayaknya dokternya bagus," jawab Kak Verona yang ternyata mendengar gumamanku yang kecil itu.

Aku mengangguk-anggukan kepala. Kok kayak pernah tau ya rumah sakit itu. Padahal aku sepertinya tidak pernah kesana.

Aku mengikuti instruksi dari Kak Verona. Aku ganti baju dan segera bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Aku mulai menyadari bahwa cacar air ini telah menyerang tanganku. Sekarang tanganku banyak bentol dan aku jadi tidak percaya diri karena ini.

Untuk menutupi area cacar air itu, aku memakai baju turtleneck yang juga berlengan panjang. Jadi leher dan kedua lenganku aman tidak terlihat.

Tapi ketika aku melihat ke cermin... Ternyata wajahku juga sudah ada beberapa bentol kemerahan.

Oh, no!!!

***

Kak Verona akhirnya ikut cuti dan mengantarkanku ke rumah sakit. Mungkin dia iba melihatku yang sakit ini dan yang juga mungkin dapat sewaktu-waktu pingsan di jalan. Ya, mungkin dia juga khawatir.

Sesampainya di rumah sakit itu, Kak Verona yang mengurusi pendaftaran untuk pemeriksaan dokter. Aku hanya duduk saja di ruang tunggu, karena Kak Verona juga yang menyuruhku untuk duduk saja.

Sepertinya dia sangat iba terhadapku.

Orang-orang di sekelilingku memerhatikanku dengan tatapan yang seolah-olah berkata, "Hah? Umur segini baru kena cacar?"

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan melihat ke layar ponselku-bertingkah seolah-olah tidak menyadari bahwa aku sedang diamati.

Setelah selesai mengurus pendaftarannya, Kak Verona pun menghampiriku dan mengajakku pergi dari sana.

Jadi ruangan dokter yang akan aku kunjungi ada di lantai lima. Aku dan Kak Verona naik dengan menggunakan lift yang kebetulan kosong. Hari itu, aku memang tidak ingin bertemu banyak orang-apalagi yang aku kenal. Aku sepertinya hanya ingin beristirahat di rumah.

Sampailah aku dan Kak Verona di lantai lima. Kami keluar dari lift dan Kak Verona berjalan menuju meja resepsionis yang ada di dekat lift itu. Aku berjalan di belakangnya sambil menundukkan kepalaku.

"Permisi, ruangan Dokter Austin Tedja ada dimana ya?" tanya Kak Verona.

Aku mengangkat kepalaku. Hah? Aku ga salah dengar?

Perempuan yang ada di balik meja resepsionis itu pun menunjuk ke arah kirinya-ke arah sebuah lorong dan menjelaskan, "Di lorong ini nanti di sebelah kanan ada pintu. Pintu kedua itu adalah ruangannya."

"Oh oke, terima kasih," sahut Kak Verona. Ia membalikkan badannya dan melihat ke arahku. "Hah? Kenapa lo? Kok lo jadi beku?" tanyanya dengan nada yang khawatir sambil memegang tubuhku.

Aku sadar beberapa perempuan yang ada di balik meja resepsionis itu ikut berdiri dan melihat keadaanku. "Dokter siapa kata kakak?" tanyaku dengan tatapan kosong melihat ke arah resepsionis.

"Hah? Dokter Austin Tedja. Kenapa?"

Aku memalingkan pandanganku ke Kak Verona. Masih dengan tatapan yang kosong, aku menjawab, "Boleh pulang aja ga kak?"

"Lo ngomong apa sih? Udah, daripada lo makin ngomong ngelantur, mending kita buruan ke ruangan dokter. Lo pasien nomor urut satu," ucapnya. Ia menarik tanganku dan menyeretku menuju lorong itu.

Aku tidak berdaya. Aku memang sudah lemas dari tadi dan ditambah tahu bahwa dokter yang akan memeriksaku adalah Austin, aku makin lemas. Ditambah aku adalah pasien nomor satu!

Sesampainya di depan pintu suatu ruangan, Kak Verona berhenti berjalan. Aku melihat ke pintu itu dan menemukan papan kecil berwarna emas yang bertuliskan: dr. Austin Tedja, Sp.KK.

"Ntar, duduk dulu. Tunggu perawatnya panggil nama lo," kata Kak Verona. Aku menurutinya. "Emang kenapa sama dokter ini?"

"Aku kenal orang ini," jawabku.

"Oh ya? Lebih bagus dong!"

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Kak Verona kebingungan dengan responku itu. Lalu pintu ruangan itu terbuka dan keluarlah seorang perempuan dan berkata, "Agita Kangean."

Kak Verona menyikutku. Aku hanya melihat ke arahnya dan ia berkata, "Buruan masuk. Itu nama lo dipanggil."

"Kak," aku memelas "temenin."

Tepat setelah aku mengatakan itu, ponsel Kak Verona berbunyi. Ia melihat ke arah ponsel itu dan langsung mengangkat telepon itu. "Selamat pagi, Pak-" Ia memberi tanda kepadaku untuk segera masuk ke dalam ruangan itu. Ia berdiri dan meninggalkanku untuk dapat lebih leluasa berbicara di telepon.

Tidak ada pilihan lain. Aku harus masuk ke dalam ruangan itu sendiri tanpa Kak Verona. Perawat yang terlihat tidak ramah itu menungguku dengan tatapan yang tidak sabar.

Dengan berat, aku berdiri dan perlahan masuk ke dalam ruangan itu.

"Halo selamat pagi Agita."

Me & Her BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang