Lukisan Sawarga

170 38 26
                                    


Dia adalah sang angin yang berembus sesaat. Sekadar singgah memberikan harapan, semangat bagi yang jumpa. Meski sekelebat, sebatas lewat di pelupuk dan menghilang di ujung pandang. Hadirnya tak akan terlupa walau berlalu sepanjang masa.

Dia seorang pria pencinta sastra yang pandai bermain drama. Tidak terlalu pandai bicara tetapi terbiasa mengolah kata dan tinta dalam kepala, menuangkannya pada kertas atau apa saja yang ditemui, kecuali wanita.

Seperti ketika senja tiba. Dia dengan gagahnya berjalan menyusuri jalanan ibu kota yang masih dipenuhi warga sekitar serta pengendara di mana-mana.

Langkahnya tegas, tak ada keraguan apalagi ketakutan dan kegagalan. Semua itu tidak nampak sama sekali dari dirinya.

"Raya Angelo!"

Langkahnya terhenti ketika ia merasa namanya di sebut oleh suara yang tidak asing. Namun, pemilik suara itu terlihat begitu asing di kala indra penglihatannya menangkap sosok wanita dengan balutan jaket tebal berbulu. Lengkap pula dengan sepatu boots dan payung transparan di tangannya.

Banyak orang yang memperhatikan wanita itu. Namun, dia hanya meliriknya sedetik karena wanita tersebut memanggilnya. Jika tidak, mana mungkin dia berhenti hanya sekadar untuk memperhatikan hal konyol itu.

Ditariknya sedikit sudut bibir itu sembari melanjutkan langkahnya yang terhenti sesaat. Ia terus berjalan walau ada beberapa orang di tengah perjalanan menuju tempat tujuan yang sebenarnya ia kenali. Namun, kembali pada jati diri yang melekat dari dulu sampai saat ini. Pria sederhana dengan pesona dan sejuta rahasia yang menutupi jati dirinya itu tetap tangguh dan tak ingin tergoda oleh ajakan mereka yang ditemuinya. Meski hanya sekadar singgah dan bercengkrama sesaat saja. Dia tidak melakukan hal itu.

Perjalanan panjang pun berakhir ketika dia sampai di depan gerbang tinggi dan lebar yang memagari rumah besar dengan didominasi warna hijau pada bangunannya.

Gerbang itu pun terbuka setelah dia mengeluarkan sesuatu dari kantung jas bagian dalam dan menempelkannya pada papan kaca yang tertera di tengah bagian gerbang tersebut.

Dilanjutkanlah langkah dari kaki yang tidak terlalu tinggi itu. Meski begitu, kedua kaki tersebut tak ada lelahnya, walau mulai menapaki anak tangga menuju pintu utama dari rumah tempat di mana sebuah pagelaran atau pameran sastra akan dilaksanakan.

Tepat di depan pintu utama, langkahnya terhenti ketika pintu tersebut terbuka begitu saja dan menampakkan seorang pemilik rumah itu tersenyum padanya. Dia pun membalas dengan menyunggingkan seulas senyum disertai tatapan mata berkaca-kaca.

Sang pemilik rumah dan penyelenggara pagelaran tersebut menyadari ada rahasia dan cerita di balik senyum dengan pelupuk pandang yang siap berlinang dalam hitungan jam setelah pagelaran  mulai berjalan.

"Selamat datang di rumahku dan pagelaran karya sastra luar biasa dari berbagai pencinta sastra sepertimu, Ray."

Dia, hanya tersenyum sembari menahan rasa panas di mata yang membuat bulir bening itu jatuh dari sudut matanya.

Menunduk dan berjalan mengikuti langkah dari pemilik rumah. Ray, pria yang terlihat gagah, berwibawa juga kuat walau kawat beduri ia tapaki. Namun, ketika dia memasuki sebuah ruangan dengan jendela kaca terbuka, tangisnya pecah begitu saja.

Isakan tertahan terasa menyakitkan. Pria paruh baya yang tak lain adalah pemilik rumah pagelaran itu memeluknya.

"Menangislah sepuasmu, Ray. Kamu boleh menangis. Namun, tidak gratis."

Seketika Ray menghentikan tangisnya dan melepaskan diri dari dekapan pria itu.  Ia mendongak dan melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Maaf, apa maksudmu menangis namun tidak gratis?"

Sawarga Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang