"Riza apa masih jauh?" Terselip resah dalam pertanyaan yang terlontar dari mulut gadis itu kepada pria yang tak juga menjawab. Sang pria, Riza, tampak fokus pada peta di tangan kanannya, sambil sesekali menatap jauh ke depan menggunakan teropong yang berada di tangan kirinya.
"Berhentilah bertanya L.R! Sudah kubilang, sesampainya kita di sana, akan kuceritakan semuanya padamu," Riza berucap tanpa mau repot mengalihkan pandangannya ke arah dimana L.R. berada.
L.R. menggerutu dalam diam, hingga sejam kemudian kapal Eridanus yang mereka gunakan untuk berlayar menepi ke daratan. Tepat di sebuah pulau yang dipenuhi pepohonan rimbun.
Berlayar berdua mengarungi samudera berbulan-bulan, membuat L.R. bosan. Mulanya ia teramat senang dan merasa ajakan Riza itu sesuatu yang romantis. Setiap pagi kilauan air laut dengan lumba-lumba yang saling berlompatan membuatnya senang, begitu pula dengan suasana malam yang membuatnya bisa mengabsen hamparan bintang di langit sampai lelah dan jatuh tertidur. Namun, bukankah manusia tidak pernah puas dalam hidupnya?
L.R. cuma punya Riza untuk berbagi, dan saat mereka bertengkar atau Riza sibuk sendiri, L.R. harus bagaimana? L.R rindu berinteraksi dengan banyak orang, juga merindukan pulau Neofito yang dulu menjadi tempat mereka tinggal. Pulau itu sudah tenggelam karena suatu peristiwa, yang membuat mereka harus pindah.
"L.R, kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana! Aku akan memeriksa terlebih dahulu kondisi di dalam pulau ini. Jika dalam waktu dua jam aku tak kembali, segera naik ke kapal dan berlayarlah lagi tanpa aku!" Riza memang selalu begitu, hanya mengeluarkan suara untuk sesuatu yang penting. Penting menurutnya. Perlahan ia berjalan menjauh masuk ke dalam rerimbunan."Riz-Rizaaa apa maksudmu?" L.R. menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, Riza hanya melambaikan tangan kanannya dan punggungnya semakin menjauh.
L.R. tak dapat berbuat banyak, sebagai seorang yang penurut, ia duduk di tepian pulau. Mencelupkan sebelah kakinya ragu-ragu. Takut, mungkin saja ada Piranha atau ikan sejenis itu yang bisa memangsanya.Pulau ini tampak bersahabat dan bisa ditinggali, walaupun airnya berwarna kemerahan, tapi tak berbau dan menenangkan. Setelah dirasa aman, dimasukkannya kedua kaki ke dalam air. Menunggu Riza sambil bersenandung seraya melafalkan doa dalam hati agar Riza cepat kembali dalam keadan baik-baik saja.
"L.R. di sini kau rupanya, ayo cepat ikut aku!" Seorang pria tak dikenal menarik tangannya dan menuntun masuk ke dalam hutan. Protes L.R hanya ditanggapi sang pemuda dengan senyuman sinis.
"Nih! Cepat panah!" Sang pria menyerahkan panahannya kepada L.R dan mengarahkan L.R ke posisi tepat di depan sebuah pohon, dimana seekor burung sedang bertengger di dahannya.
L.R. tidak bisa memanah, tetapi dia pernah melihat bagaimana orang memanah di salah satu buku yang Riza miliki, dan mencoba mempraktekkannya.
"Tunggu! Sejak kapan kau kidal?" Sang pria bertanya heran dengan posisi L.R yang siap menarik anak panahnya."Huh!" L.R hanya bisa mendesah. Sejak awal pemuda di hadapannya sudah memancing emosinya, menarik tangannya dan memerintah sesuka hati. Belum cukup ia punya seorang Riza yang suka memerintah, kini di hadapannya ada seorang lagi yang bertabiat nyaris sama dengan Riza.
"Siapa kau sebenarnya? Apa jangan-jangan ... Yang warga bilang tentang Raksasa bisa berubah wujud itu benar?" Alis si pemuda bertaut, langkah kakinya menjauhi L.R. dengan gemetar. L.R. masih terdiam di posisinya.
Srek ... Srek ... Srek ...
"A-apa itu?" L.R. mulai ketakutan, kakinya luruh. Ia merosot jatuh terduduk dan memeluk kedua kakinya ketakutan.
"Hei! Harusnya aku yang bertanya padamu, apa kau berniat memangsaku dan membawa sekutumu?" ucap si pemuda ragu.
"Berhentilah membuatku bingung! Kepalaku mau pecah." L.R. mulai terisak, semua emosi yang ditahannya sejak di kapal membuncah keluar.
Riza muncul dari arah utara, dengan seorang gadis dan beberapa orang yang telah ringkih. "L.R. Kau kenapa masuk ke dalam?" Riza menghampiri L.R. dan berusaha menenggakkan posisinya. "Kau baik-baik saja?" lanjutnya kemudian dengan lembut membawa L.R. ke dalam pelukannya.
"Se-sejak kapan L.R. ada dua?" Si pemuda menoleh ke arah sekumpulan orang yang baru saja datang, berharap salah satu dari mereka ada yang mau memberikan penjelasan.Pertanyaan sang pemuda sontak membuat L.R. yang sedang berada di pelukan Rizky Febian ... Ah, ralat! Garing ... Pelukan Riza mendongak. Pandangannya ia sapukan ke segala arah, dan benar, di antara sekumpulan orang itu ada satu gadis yang amat mirip dengannya.
"Semuanya, tenang!" Seorang tertua dari kumpulan itu akhirnya bersuara."Bunda Mayha, biar L.R. yang jelaskan," izin si gadis.
"L.R.? A-aku? Dia?" L.R. menatap Riza meminta kejelasan. Riza menarik napas dalam, kemudian saling berpandangan dengan si gadis yang juga mengaku L.R. itu.
"L.R. ah maksudku Laily, sesuai janjiku, akan kujelaskan semuanya. Gadis di ujung sana bernama L.R. sama sepertimu, tetapi kepanjangan nama kalian berbeda. Orang tua kalian sengaja memberikan panggilan yang sama untuk kalian. Kalian kembar." Riza menempelkan jari telunjuknya ke mulut Laily agar tidak bersuara sampai ia benar-benar selesai menjelaskan.
"Laily, aku tahu cerita kita sejak aku kecil. Para tetuah sudah menceritakan semuanya padaku. Dulu, Ibu melahirkan kita di pulau ini. Tetapi karena kondisimu memprihatinkan dan mereka tidak punya cukup biaya untuk membawa kita berdua, aku yang lebih sehat dititipkan di sini. Dan kau dibawa untuk mendapatkan pengobatan agar bisa tumbuh sehat. Sudah lama aku menantikan kalian datang menjemputku." Sang gadis berurai airmata menceritakan kisahnya.
Laily berjalan mendekati si gadis, "Begitukah? L.R. ku singkatan dari Laily Riani, kalau kau?"
"Aku Laila Rahmania."Laily membingkai wajah gadis di depannya, ia merasa sekarang dirinya sedang bercermin. Masih tidak percaya apa yang terjadi dan sedang berusaha dijelaskan.
"Kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah cerita padaku?" Laily bertanya pada Riza yang ada diseberangnya. "Aku pikir, dulu kedua orang tuaku sibuk membuat kapal Eridanus karena terobsesi menjadi pelaut."Riza hanya menanggapi gadisnya dengan senyum, "Aku melakukan sesuai dengan kemauan orangtuamu sebelum meninggal. Membawamu berlayar, dan menjelaskan ketika Laily dan Laila sudah bertemu. Kau tentu tahu dirimu adalah seseorang yang tak suka dibohongi? Jika sudah dihadapkan pada kenyataan seperti ini baru akan percaya."
"Kalian, mulai sekarang tinggallah di sini bersama kami, pulau Sawarga ini memang untuk kita. Sesuai dengan artinya," ucap Bunda Mayha.
"Memang artinya apa Bunda? Aku tak pernah tahu," si pemuda yang kini menggenggam tangan Laila kembali mengeluarkan suaranya.
"Apa mulutmu hanya untuk terus menerus bertanya?" celetuk Laily."Apa bedanya denganmu?" Pemuda itu memutar bola matanya jengah.
"Sadega!" Laila mencubit lengan pemuda bernama Sadega itu untuk menghentikan aura permusuhan yang tercipta di antara Sadega dan Laily.
"Sudah ... Sudah ... Sadega, bagaimana kau tahu kalau kau tak pernah perduli? Sawarga itu berarti Sakaluarga. Kita semua di sini adalah keluarga. Selain itu, Sawarga menurut para terdahulu dari kami dapat diartikan sebagai alam tempat berkumpulnya segala keindahan." Bunda Mayha menjelaskan panjang lebar dengan bibir yang selalu bertaut ke atas memancarkan senyuman bangga dan bersyukur atas pulau yang mereka tempati.
"Riza, aku tak butuh penjelasan apapun lagi. Semua pertanyaan di otakku sudah meluap. Begitu juga rasa kesalku. Kita akan memulai hidup di sini kan? Ah, aku juga ingin menebus semua kebersamaan kita yang terlewat, Laila." Laily merangkul Riza di sebelah kiri dan Laila di sebelah kanannya.
"Aku akan mengajarimu memanah agar kau dapat menggunakan panahan dengan tepat, tidak kidal lagi," seru Sadega."Aku memang kidal!" balas Laily. Aura permusuhan di antara keduanya sepertinya akan terus berlanjut, meski perjalanan L.R dan Riza sudah berakhir, begitupula dengan penantian panjang Laila.
☁️☁️☁️
🌁
Salam dari warga pulau Sawarga, yang selalu rindu pulau "kapuk"
Laily_Riani
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawarga Dalam Cerita
Short StorySawarga dalam cerita. "Sawarga? Apa itu Sawarga? Apakah itu nama dari salah satu orang-orang yang memperhatikanmu di jalan sana?" Pemuda itu menyunggingkan senyuman. Ia berusaha menahan tawa. Namun tetap saja, gelak lolos dari bibirnya. "Bukan sala...