Rusa Tanduk Putih

43 12 1
                                    

Kejadian itu terasa begitu nyata. Amaya merasa cengkeraman di pergelangan tangannya semakin menguat. Mata gadis itu melebar, wajahnya memucat seiring dengan suara warga desa yang meneriakkan, “Gantung dia!” Pemandangan di depan matanya seakan menyiratkan bahwa nurani kini sudah kian tergerus. Mereka sama sekali tidak sadar, hanya Tuhan yang berhak menghakimi dan mengambil nyawa manusia.

Dengan mata kepalanya sendiri, Amaya menyaksikan kebrutalan warga desa. Ia meronta, mencoba melepaskan cengkeraman ibu-ibu yang sejak tadi menahan tangannya. “Tidak! Aku mohon, jangan lakukan itu! Lepaskan dia. Kami hanya mampir ke hutan Sawarga.”

“Tidak ada alasan! Kalian, terutama dia, sudah melanggar pantangan yang sudah ditetapkan oleh para leluhur. Gantung lelaki itu sekarang juga!” Suara kepala desa itu menggema, diikuti oleh seruan warga desa yang terus memprovokasinya.

“Tidak, tidak. Aku mohon, hentikan. Tidak!” Amaya langsung terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah dengan wajah yang memucat, keringat dingin membanjiri hampir seluruh tubuh. “Ya Tuhan ... mimpi apa itu tadi?” Amaya menyatukan kedua tangan yang gemetar. Jantung gadis itu berdegup begitu kencang.

Cengkeraman itu, teriakan warga desa dan tali yang menggantung, semua kejadian terasa begitu nyata. Amaya menggeleng kasar. Ia tidak ingin mengikuti ketakutan yang belum bisa dipastikan kebenarannya. “Tidak, itu hanya mimpi.” Gadis itu terus merapal dalam hati bahwa semua itu takkan terjadi.

Amaya turun dari ranjang lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Wira, teman yang baru ia kenal selama dua bulan ini, mengajaknya pergi ke hutan Sawarga untuk melihat rusa tanduk putih. Ia belum pernah sekali pun melihat rusa dengan tanduk putih. Menurut Wira, rusa itu hanya ada di hutan Sawarga.

Wajah gadis itu berseri. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini. Semenjak kepindahannya dari Eridanus ke desa Neofito, ia selalu merasa sendirian. Namun, sejak mengenal Wira dua bulan yang lalu, Amaya selalu merasa hidupnya penuh dengan warna. Lelaki itu selalu bisa menghiburnya kala ia sedang bersedih.

Wajahnya tiba-tiba saja memanas saat memikirkan sosok Wira yang selalu perhatian padanya. Amaya menggeleng. Ia tidak boleh membiarkan dinding hatinya merapuh hanya karena kehadiran seorang pria. Tidak lagi. Amaya menoleh ketika suara ketukan pintu rumahnya terdengar. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya. Langkah gadis berambut hitam itu terasa ringan saat jarak tubuh Amaya dengan Wira semakin dekat.

“Lama sekali!” keluh Wira dengan wajah cemberut sambil menyilangkan kedua tangan. Ia menghela napas kasar.

“Baru saja beberapa detik kau mengetuk pintu, sudah mengeluh. Dasar!” Amaya memutar bola matanya, pura-pura malas.

Wira memperlihatkan deretan giginya yang berwarna putih. “Aku hanya bercanda. Ayo, kita pergi.” Lelaki itu menarik tangan Amaya, lalu menuntunnya keluar.

“Oh, kau membawa kudamu?” Amaya menoleh dengan mata berbinar, wajahnya begitu berseri. Ini pertama kalinya ia menaiki hewan tersebut.

Wira mengulurkan tangan, mengacak rambut Amaya dengan kasar. Gadis itu langsung menepis tangannya dengan wajah yang kesal. “Tentu saja aku membawa kudaku. Hutan Sawarga itu cukup jauh. Memangnya kau mau berjalan seharian?”

Amaya menggeleng pelan. Ia memperhatikan Wira yang menaiki kuda hitam tersebut tanpa ragu sedikit pun. Lelaki itu sudah berteman dengan Boni—nama kuda miliknya—sejak lima tahun lalu.

“Ayo, naik.” Wira mengulurkan tangannya. Mata hitamnya menatap Amaya dengan dalam—mencoba  meyakinkan gadis itu, bahwa bersamanya, tidak perlu lagi ada yang ditakutkan. Wira tersenyum setipis kertas kala Amaya menyambut uluran tangannya. Lelaki itu menarik tubuh Amaya, lalu mendudukkannya di depan.

Sawarga Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang