Autumn Coronation

67 13 0
                                    


Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Papa waktu membawa lukisan aneh itu ke rumah. Terlepas dari harganya yang fantastis, bagiku lukisan tersebut tidak lebih dari sepetak kanvas berukuran 2x1 meter yang ketumpahan beraneka warna cat minyak secara asal-asalan. Di mana-mana hanya ada merah tua, kuning pucat, cokelat kusam dan abu-abu kehitaman, dan aku mulai mengkhawatirkan kondisi mental si pelukis.

“Autumn Coronation’ ini alirannya abstraksionisme, Aida. Wajar bentuknya begini.” Begitulah penjelasan Papa ketika aku melayangkan kritik mengenai lukisan tersebut. “Perhatikan. Ini kerumunan rakyat, ini prajurit dan ini raja yang baru dinobatkan.”

Keningku berkerut waktu mengikuti arah telunjuk Papa. Dilihat dari sisi mana pun, bagian-bagian itu tetaplah seperti garis dan noda tak berbentuk.

“Papa yakin itu bukan cat yang nggak sengaja tumpah?”

“Sayang sekali ya, Ai.” Papa mengacak-acak rambut hitam sebahuku dan memasang tampang prihatin terbaiknya. “Selera seni enggak diwariskan lewat DNA.”

Papa  berbicara seolah dilahirkan tanpa selera seni adalah kerugian besar. Konyol.

“Makanya lihat dari dekat.” Papa menarik lenganku, berusaha membuatku berdiri tepat di depan lukisan yang kami perbincangkan. “Ayo.”

Ajakan itu kutolak keras.

Aku tidak pernah bermasalah dengan koleksi lukisan Papa yang lain, tapi ‘Autumn Coronation’ sebaiknya disingkirkan jauh-jauh. Seseorang—atau ‘sesuatu’—di dalam lukisan itu selalu menyerukan kata ‘tolong’ tiap kali aku lewat, membuatku menolak berada di dekatnya dalam radius satu meter.

Sayangnya tidak ada yang mempercayaiku.

“Semua lukisan Edricky Rifandi menggambarkan tentang sebuah negeri utopia.” Papa memandangi ‘Autumn Coronation’ dengan tatapan memuja dan aku cuma bisa mendengkus sebal. Apa bagusnya lukisan mengerikan itu? “Mau tahu nama negerinya?”

Aku menggeleng tidak peduli.

“Namanya Sawarga!”

Papa mulai terdengar seperti fangirl yang berbicara mengenai oppa-nya. Seandainya beliau tahu kalau si ‘Autumn Coronation’ masih punya rencana lain untuk membuatku benar-benar gila.

Semuanya berawal dari perutku yang keroncongan di tengah malam. Bahkan lukisan terkutuk itu pun tidak bisa membatalkan niatku mencari makanan ke dapur.

Dan sepertinya aku takabur.

“Tolong.”

Suara itu membuatku mematung. Mendengarnya di siang hari saja bikin merinding, apalagi di tengah malam? Laparku terlupakan seketika.

“Tolong. Dengarkan aku.”

Untuk pertama kalinya, aku sadar kalau itu suara laki-laki dan … sekarang dia bisa mengucapkan kata selain ‘tolong’? Oke. Ini makin susah dicerna akal sehat.  Mungkin ini cuma mimpi. Mungkin aku tidak benar-benar ada di sini. Mungkin otakku lelah karena seharian berkutat dengan skripsi. Mungkin—

“Jangan takut. Lihat baik-baik.”

Aku ingin lari, tetapi kenapa kakiku rasanya berat? Tubuhku membeku dan aku bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan dari lukisan itu. Perlahan tampak sebuah distorsi aneh di ‘Autumn Coronation’. Awalnya seperti televisi rusak penuh bintik-bintik acak, lalu berubah makin jelas, makin jernih dan … aku tidak percaya mataku sendiri.

Bagian merah tua di pinggiran lukisan mulai terlihat seperti deretan pepohonan dengan daun rimbun berwarna merah. Bulatan-bulatan cokelat berubah menjadi kerumunan manusia. Noda kuning—yang sempat kukira cat tumpah—perlahan mengambil bentuk seorang pria dengan mahkota keemasan di kepalanya.

Sawarga Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang