Dengkuran halus terdengar seperti musik klasik bagi sang ayah dari pria kecil yang berada di pangkuan kakeknya.
"Aris!" Suara bariton dari pria tua yang memangku cucunya membuat Aris menegakan duduknya.
"Iya, Ayah."
"Aku tidak akan memaafkanmu kali ini."
Aris terbelalak mendengar perkataan ayahnya.
"Apa maksud Ayah? Apa salahku, mengapa Ayah tidak akan memaafkanku?"
Pria tua itu menutup buku Antologi cerita pendek Swarga dan menaruhnya di meja.
"Dasar kamu ini, masih saja seperti dulu."
"Maksud Ayah apa? Kenapa tidak langsung saja katakan apa kesalahanku dulu. Baru mendengar penjelasanku, bukannya mengulang masa lalu."
"Iss... Kamu ini."
Pria tua itu memberikan Ara pada Aris.
"Kamu tau apa salahmu, Aris?"
Aris menggeleng.
"Pertama, kamu membuat Ara menangis, kamu juga tidak peka sama ayah, Ara sudah tertidur ketika cerita pembuka selesai dibacakan. Dan kamu, yang ikut serta dalam buku ini, kenapa masih saja duduk di situ dan membuat ayah membacakannya untukmu."
Aris menahan tawa sembari memeluk putranya.
"Kamu tau kalau tangan Ayah tidak sekuat dulu, dan kamu membiarkan ayahmu ini memangku serta menahan rasa pegal yang berjalan di tanganku ini. Belum lagi ada air tambahan yang merembes kedalam celana Ayah. Nah, sekarang pembelaan apa yang akan kamu jelaskan agar ayah memaafkanmu."
Aris masih menahan tawa dengan sesekali menunduk lalu kembali menegakan kepalanya dan mulai membuka suara.
"Maafkan aku Ayah, aku tidak pandai menjelaskan perihal kepergianku ke pulau Sawarga. Dan Ara hanya ingin pergi dan berlibur ke luar negeri seperti teman-temannya. Dan dia menangis ketika teman-temannya pergi meninggalkan dia karena Ara dianggap tidak mampu berlibur ke luar negeri. Padahal, pulau Sawarga itu lebih dari segalanya. Meski dunia luar tanpak indah di mata dan mengagumkan saat mendengar ceritanya. Namun, aku tetap ingin kembali ke sana. Itulah yang membuatku tak bosan mendengarkan Ayah membacakan buku ini."
"Hemm, jadi seperti itu."
"Iya, dan maaf untuk baju ayah, anggap saja Ayah tengah berada dalam cerita tersebut dan berenang seperti Ray yang mengenakan pelampung. Jadi hanya basah di bawah saja."
Kedua mata pria tua itu terbuka lebar. Tak percaya atas candaan yang dilontarkan putranya.
"Dan kamu, Aris. Seperti kedua pria muda itu yang diam-diam menguping juga menertawakan Ray, begitu?"
Aris hanya membalas pertanyaan sang ayah dengan kikikan tawa yang tertahan. Setelahnya ia pamit pergi meninggalakan sang ayah di luar sana.
"Maaf ayah, aku harus mengganti celana Ara yang basah dan bau ompol. Dan ayah juga jangan lupa mandi lagi."
"Aris! Jangan lupa kembali, dan bawakan Ayah buku kedua dari Antologi cerpen berikutnya."
☁️Selesai☁️
🌃
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawarga Dalam Cerita
Short StorySawarga dalam cerita. "Sawarga? Apa itu Sawarga? Apakah itu nama dari salah satu orang-orang yang memperhatikanmu di jalan sana?" Pemuda itu menyunggingkan senyuman. Ia berusaha menahan tawa. Namun tetap saja, gelak lolos dari bibirnya. "Bukan sala...