Monster Perebut Kebahagiaan

34 12 0
                                    

“Besok, Tuan?”

Ayu menggigit bibir bawah kuat, bertanya dengan tatapan harap-harap cemas. Si Tuan tak menjawab, malah mengalihkan pandangannya ke naungan langit Sawarga. Cukup lama, sampai akhirnya gadis itu menyerah untuk mendapatkan jawaban. Menunggu bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi menunggu tanpa kepastian. Sama saja membuang waktu percuma, Ayu bukan gadis bodoh.

“Baik, masih tersisa beberapa jam lagi.”

Si Tuan belum juga bereaksi, seolah bisu. Bahkan, seperti orang linglung yang baru sadar dari koma berhari-hari lamanya. Bukan sesuatu yang asing, si Tuan memang seperti itu sikapnya. Pendiam, terlalu pasif sebagai manusia. Tatkala ada monster datang pun, lelaki itu pasrah. Misalnya kejadian yang belum lama terjadi, saat monster misterius menyerbu pulau Sawarga, si Tuan berinisial R tersebut malah mematung di tempat. Ayu ingat betul bagaimana mimik wajahnya, tenang seolah tak terjadi apa-apa.

“Kau ingat bagaimana pertama kali kita bertemu?”

Seperti ada sesuatu yang mencekat tenggorokan si Tuan. Pertanyaan yang beberapa detik Ayu lontarkan seolah menggunting lidahnya untuk menjawab. Ayu pun menghela napas pelan, lelah dengan kebisuan si Tuan.

Hanya angin berembus kencang yang mampu mewakili suara Tuan R. Ayu paham, apa yang angin sampaikan. Angin bilang, Tuan R tak kuasa berbicara. Sebatas menyebut nama gadis itu saja layaknya sebuah dosa yang ia jauhi. Memang pantas, Ayu pun tak marah.

“Hmm ... bolehkah aku bercerita? Ini tentang Sawarga dan kita di dalamnya.”

Ayu meraup oksigen cukup banyak, mengembuskannya pelan-pelan. Si Tuan membenarkan letak duduknya, senyamannya saja. Walaupun memilih membelakangi Ayu alias tidak sopan, itu tidak masalah. Dia benar-benar membelakangi Ayu, seolah menghadap karang yang menjulang tinggi lebih baik daripada tubuh Ayu yang lusuh ini.
“Kala itu, kau tengah mematung di tengah-tengah padang yang luas. Mengizinkan tubuhmu dibakar teriknya sang surya, kau pendatang baru yang datang ke pulau kami, Sawarga.”

Kepala si Tuan terangkat, ajang menunduknya telah usai. Ya, Ayu berhasil mencuri rasa simpatinya untuk menoleh. Tak hanya menoleh, membalikkan badan pula.

“Aku pikir, bangsa Eridanus pendatang baru yang jahat dan kejam. Namun, setelah melihatmu pikiran itu sirna dalam sekejap.”

Tak disangka, Tuan R menyunggingkan seulas senyum. Tulus, Ayu yakin. Bukan sekedar senyuman palsu penawar haus tenggorokannya yang kering. Musibah kekeringan memang tengah melanda Sawarga beberapa hari ini. Ayu sendiri belum juga minum selama satu hari. Tuan, terima kasih, batinnya. Tenggorokannya basah hanya karena melihat senyum lelaki itu.

“Ah aku ingat! Kau berbohong kala itu.”

Ayu memergokinya yang tengah menahan tawa oleh fakta yang disebut tadi. Tuan pernah berbohong padanya, perihal dirinya yang bilang sudah berhasil menumpas monster sampai menjadi abu. Padahal, tampangnya saja sudah tak bisa dipercaya, tapi bodohnya Ayu malah terpukau oleh kekuatan imajiner si Tuan.

“Aku sampai kelewat kagum, kau pandai berbohong, Tuan.”

Ayu menertawai kebodohannya sendiri dan kepandaian berakting si Tuan kala itu. Mereka pun hanyut dalam tawa yang dimulai, hingga gadis itu tertegun sebentar. Tampan sekali, pantas banyak bangsa Ayu yang ingin memberinya tempat tinggal. Namun, bagaimana bisa ya, si Tuan justru memilih tempat Ayu yang bahkan sebatas gubuk tua di pinggir Sawarga. Jauh dari perkotaan.

“Kau datang ke sini untuk berlibur ‘kan?”

Tuan R mengangguk, berhenti tertawa dan menghormati Ayu berbicara. Tenang sekali wajahnya, menyejukkan jiwa. Untuk waktu, bolehkah berhenti sampai di sini saja? Detik di mana Tuan tersenyum. Jika tidak bisa, semesta tolong bantu.

Sawarga Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang