Saat usia tujuh tahun, aku mulai benci pada satu kata: marah. Segala emosi yang berhubungan dengannya aku artikan seperti api yang membakar dari dada, meledak-ledak melalui gerakan fisik dan ucapan yang terlihat sinis.
Aku sering berbuat kenakalan, dengan tujuan membuat orang-orang marah kepadaku. Tidak peduli pada tingkat kemarahan mereka, aku selalu menunggu 'amarah' yang akan keluar itu.
Pada hari 'itu', aku nekat masuk ke ruangan seperti balok, untuk melihat-lihat apa yang diperbuat oleh Kak Nanda, dan teman-temannya. Sebuah laptop, beberapa buku catatan, ditambah kertas HVS. Bunyi ketik keyboard menganggu pendengaranku, hingga aku inisiatif untuk menganggu Kak Nanda dan teman-temannya.
Sembari berjalan ke arah meja kecil, aku berlari ditambah jeritan lantang. Berputar mengelilingi meja bulat, tempat Kak Nanda dan teman-temannya sedang mengerjakan tugas kelompok. Tampak menganggu konsentrasi teman-teman Kak Nanda membacakan teks untuk dirangkum ke dalam laptop.
"Kak Nanda, lagi ngapain?" Aku sudah di samping kirinya, memasang wajah tersenyum tipis seakan-akan sudah melupakan yang kulakukan tadi.
Kak Nanda menatapku datar, lalu menyeretku ke pintu keluar kamarnya. "Jangan ganggu, Dek. Sana, keluar."
Lalu, Kak Nanda berjalan ke meja kecil, dan melanjutkan ketikan yang tertunda tadi. Teman-teman Kak Nanda pun lanjut membacakan teks secara perlahan-lahan.
Sifat burukku mulai keluar, aku langsung berlari memutari meja kecil dengan teriakan kecil. "HIYAAAAA!!"
Dari sudut tengah, berdiri perempuan hijab cokelat memasang wajah tajam kepadaku. Penuh emosi, ia membentakku.
"Bisa diam! Mending, kamu keluar!" bentaknya, membanting kertas yang dipegangnya. Suara yang penuh nada sinis, tajam, dan amarah yang meledak-ledak, mengejutkanku hingga terdiam mematung.
Wajah senangku, dan minta diperhatikan, perlahan-lahan berubah menjadi wajah yang siap mengeluarkan tangisan. Perasaan 'aneh' secara tidak sengaja keluar dari tubuhku. Teriakan membahana, hingga menyebar ke seluruh ruangan kamar Kak Nanda.
"HUAAAAAAA!" jeritku, membanting-banting barang yang tidak kupedulikan di sekitarku.
Bunyi pecahan barang, jeritan tangisku terdengar seperti suara hantu yang menakuti Kak Nanda dan teman-temannya. Mereka berdiri di pojok ruangan, saling memeluk agar menghindari barang-barang yang kubanting. Mereka benar-benar ketakutan, hingga ada yang berani membentakku lagi.
"Seperti hantu!" gumamnya, yang sangat jelas kudengar.
Aku mengambil barang yang kubanting tadi, lalu membantingnya kembali, dengan teriakan yang memilukan. Diriku yang kecil itu, tidak dapat kukendalikan, karena emosi yang terus kukeluarkan hingga napasku tidak bisa diatur kembali. Menciptakan seorang monster wanita di otakku. Topeng merah muda itu menggodaku agar semakin tidak kendali.
Akhirnya, aku merasa lega. Mulai mengatur napas kembali, dan mulai memandang mereka dingin. Aku hanya diam, lalu keluar dari kamar Kak Nanda. Perasaan 'emosi' itu masih melekat hingga sekarang.
"Buka matamu, Tasya." Tepukan pundak, mengembalikan aku ke realita.
Aku buka mataku, sebuah pemandangan tersaji segar di hadapanku. Pipinya yang putih, kuusap lembut sambil menatap polos pemuda di depanku. Rambut hitam lurus sampai ke telinganya, dan tatapan mata ceria yang selalu kurindukan setiap saat.
"Apa kristal-kristalnya sudah tersambung, Rasya?" tanyaku menunduk, mencari-cari sebuah bola di rerumputan luas.
"Di sana." Rasya berlari ke sebuah bangku, ada serpihan-serpihan cahaya menyilaukan di berbagai sisinya. Aku mengikutinya dan mengambil salah satu benda kecil tersebut.
Rasya mengumpulkan serpihan cahaya itu hingga menjadi satu. Polanya teracak-acak, sulit untuk menyatukannya. Namun, selalu ada cara termudah dibalik penyusunannya.
"Kita susun ini berdasarkan waktu di dalam memorimu. Jika tidak, ada harga yang harus dibayar," peringatnya memindahkan kumpulan serpihan cahaya itu ke pangkuan dua tanganku. "Hiruplah napasmu dengan tenang, dan konsentrasi dalam-dalam. Memorimu sangat tidak mudah dimunculkan, karena kamu mengubur-nguburnya dalam-dalam. Sekarang, cepat!"
Aku hirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kembali. Sebuah bayangan hitam menghampiriku. Seorang perempuan tepat di depanku, jubah menutupi seluruh tubuhnya, iris cokelat, dan sebuah tatapan tajam. Dia adalah May, si Penjaga Kristal.
"Ada apa?" Jubah hitamnya berkibar-kibar, menambah aroma dinginnya.
"Aku ingin menyusun memoriku. Berantakan karena pencahnya Kristal Sawarga," jawabku geleng-geleng kepala, takut perkataan selanjutnya dari si Penjaga Kristal.
Bayangan hitam keluar dari tongkat sabit, mengendus-endus lapar mencari makanannya. Topeng merah muda tanpa mulut muncul mendadak, lalu menatapku lapar, semakin takutku kepadanya. "Jangan! Sarageo-Na!"
Ia adalah seorang hantu wanita, yang suka memakan jiwa manusia ketika sedang dilanda keputusasaan. Aku tidak sangka, akan menemuinya lagi setelah tujuh tahun. Ragaku kembali bergetar.
"Cepat katakan! Kenapa kamu melakukannya? Sarageo-Na, makan dia bila ada perkataan yang salah." May berbalik, meninggalkanku pada ketakutan yang mendera ragaku. Aku terus memikirkan alasan tepat, tidak mau menunggu lama-lama di sini.
"K-k-k-k ... a-r-e-n-a ...," Badanku bergetar, aku berjongkok. Menutup mukaku untuk tak nampak menangis pada topeng merah muda. Aku benar-benar membencinya, " ... Pergi! Dasar topeng pink putter!"
"Hahaha!! Gadis manis, cepatlah menjawab. Tante semakin lapar, nih," godanya semakin dekat kepadaku. Suaranya dibuat manis-manis, membuatku menampar topengnya telak.
Aku langsung kabur, tanpa melihat ke belakang. "Rasya, tolong!"
Semakin bingung, aku toleh kanan-kiri, mencari pemuda yang selalu melindungiku kala aku takut pada fobiaku. Semakin lama, kepalaku pusing. Tak tahu harus berbuat apa, aku balik badanku. Pasrah, tidak peduli pada kenyataan di depan. Aura Sarageo-Na yang panas semakin dekat---dekat---dekat, suara otakku terus berdengung-dengung membuat kepalaku terasa sakit.
"Sakit!! Tolong, siapa pun!" Aku pegang pelipisku, tanpa memedulikan sekitarnya.
"Tasya! Ini aku, Rasya. Apa yang kamu rasakan? Dengarkan baik-baik ... Selain keluargamu, ada memorimu yang memberikan pengajaran di dalam hidupmu, kan? Kamu menyimpannya di Kristal Sawarga. Memang, aku tidak berhak ikut campur, tetapi aku ingin melihatmu bahagia, Tasya. Rasa cintaku kepadamu selalu akan abadi.
Memori kita berdua akan disatukan sepotong demi sepotong di Kristal Sawarga. Aku, kamu, dan Sawarga, akan tidak terpisahkan di dalam hati. Walaupun, akan terpisah kurun waktu jauh. Tasya, janganlah takut. Keluargamu, aku, dan Kristal Sawarga akan selalu bersamamu. Aku akan memberitahu cara melenyapkan Sarageo-Na. Kuatlah, wahai perempuan, jiwa kita akan bersatu."
"Ha! Jauhkan cahaya itu dariku!" Sarageo-Na terlonjak, lalu ia mundur cepat. Jaraknya bisa masih terjangkau penglihatan. Aku menyeringai, melirik ke samping.
Rambut hitam lurusnya, aura dan tatapan cerianya, juga tangannya yang mulai menggengam tanganku, menyalurkan kehangatan ke seluruh tubuh. "Mari, kita kalahkan."
Dari kehangatan, berubah menjadi sebuah bola. Kristal Sawarga menunjukkan kekuatannya, ia muncul di dalam bola kehangatan tersebut.
☁️☁️☁️
🌁Salam, gadis petualang dari Sawarga.
tta_nna
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawarga Dalam Cerita
Short StorySawarga dalam cerita. "Sawarga? Apa itu Sawarga? Apakah itu nama dari salah satu orang-orang yang memperhatikanmu di jalan sana?" Pemuda itu menyunggingkan senyuman. Ia berusaha menahan tawa. Namun tetap saja, gelak lolos dari bibirnya. "Bukan sala...