Senja di Sawarga

35 8 0
                                    

"Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak peduli dengan dia dan mereka di luar sana.

Aku Ray, seorang yang bebas, tetapi tau batas.

Dan ingatlah, Shela. Apapun alasanmu saat ini. Ya, aku akan mempercayainya, menerimanya. Aku tidak peduli itu sebuah kebohongan atau fakta yang kamu berikan padaku."

Bulir bening itu kini mengalir membasahi pipi Ray. Air mata berlinang, meski tidak menggenang seperti genangan di hadapannya, tetapi, seolah menenggelamkan jantungnya ke dasar air laut yang begitu dalam.

Sesak, sulit untuk bernapas dengan bebas. Sakit, ketika ia memaksa mengendalikan rasa yang ada. Kata-kata itu terus terngiang di telinga. Bayangannya pun sering kali terlihat di depan mata.

Shela, gadis satu-satunya yang berhasil membuat seorang Raya Angelo memiliki warna selain abu. Jantung yang berdetak melebihi kapasitasnya. Semangat menggebu ketika berdebat akan suatu hal yang tak terlalu bermanfaat, tetapi membuatnya terlihat hebat.

Ray berjalan melewati genangan air sisa hujan beberapa menit yang lalu. Langkah tegas ciri khas dari seorang Raya Angelo tetap terlihat walau hatinya tengah tersayat.

Perlahan tetapi pasti, kini kakinya menapaki lantai kayu dari perahu dengan sejuta kisah indah, pilu, dan rindu di masa lalu.

Dilihatnya lautan begitu luas dan indah dengan cahaya matahari yang mulai tenggelam.

"Indah bukan?"

Ray menoleh. "Hemm, kak Rafa di sini?"

"Iya, kamu bisa lihat aku berada di sampingmu saat ini."

"Kupikir hanya ilusi."

"Justru, harusnya aku yang Berpikir seperti itu dan bertanya padamu. Kamu di sini, Ray? Untuk apa? Apa pekerjaanmu sudah selesai? Apa kamu tidak takut terlambat mengikuti rapat atau tersesat ketika kembali ke kota?" Sederet pertanyaan tanpa jeda Rafa lontarkan begitu saja tanpa melihat sosok Ray di sampingnya.

"Aku rindu, hanya ingin mengenang masa lalu, di sini, dan di sana,—Sawarga. Pulau yang kita temukan bersama."

Pandangan Rafa beralih menatap Ray yang tetap bergeming meski dengan kata terucap dari mulutnya.

"Aku akan pergi meninggalkan pulau ini. Rencananya aku ingin membawa kapal Eridanus. Namun, kamu tau kondisiku yang sesungguhnya kak. Aku tidak dapat pergi berlayar seorang diri."

Kening Rafa berkerut, kedua alisnya hampir menyatu saat mendengar penuturan Ray yang begitu tiba-tiba. Membuat banyak pertanyaan timbul di benaknya.

"Apa yang terjadi padamu, Ray? Kamu ingin pergi meninggalkan kami di pulau ini? Padahal, dulu kamu yang membangun pulau ini sampai seperti sekarang."

Ray menggeleng perlahan. "Tidak, bukan aku yang membangun Sawarga. Tapi, kita. Aku, kamu, dia, dan mereka. Kita semua yang ada di dalamnya, bahkan mereka yang pernah masuk atau sekadar singgah."

Rafa menghela napas, "Lalu?"

"Aku pergi untuk kembali, bukan pergi untuk lari dan mengejar mimpiku seorang diri." Senyum singkat terukir dibibirnya. "Ada pagelaran sastra di kota, aku akan membawa cerita Sawarga ke sana. Memperkenalkan tempat tinggal kita pada dunia yang lebih luas. Bahwa di balik kata Sawarga dan pulau yang dulu tidak berpenghuni ini, sekarang menjadi tempat berbagi apa saja. Karena Sawarga lebih dari kata yang sering kali kita sebut-sebut dalam sebuah status atau marga bagi penduduknya."

Kedua sudut bibir Rafa terangkat dan membentuk lengkungan indah yang disertai manis dengan kedua lesung pipi di wajahnya.

"Benarkah!"

Sawarga Dalam CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang