Alunan nada penyejuk kalbu mengiringi senja yang menggantikan langit biru di hari minggu.
Asap mengepul dari cangkir keramik berisikan air cokelat kemerahan yang tinggal setengahnya, karena ulah pria berkacamata yang menyesapnya dengan raut wajah bahagia.
Diliriknya sebuah buku di samping secangkir teh yang baru saja ia letakan di meja. Buku itu bertuliskan Antologi cerita pendek Sawarga.
Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkungan senyuman. Namun, seketika senyumnya memudar. Kerutan di wajahnya bertambah ketika indra pendengarannya terasa bising dengan suara tangis yang semakin mendekat. Dikerutkannya dahi itu hingga kedua alisnya yang mulai memutih tampak menyatu. Dilihatnya seorang pria kecil berjalan sembari terisak.
"Kakek!" panggilnya.
"Hey, Jagoan! Mengapa kamu menangis?"
"Maafin Ara, Kek."
"Kenapa kamu meminta maaf, Ara?"
"Ara gagal jadi jagoan Kakek. Ara nangis kek."
Pria tua itu menatap pria kecil dihadapannya dengan terheran. "Lalu?"
"Kan, kata ayah, jagoan nggak boleh nangis, jagoan nggak pernah nangis, sama seperti ayah dan kakek. Ara tidak pernah melihat Ayah dan kakek menangis."
Pria itu menyunggingkan senyumnya mendengar penuturan dari anak tersebut.
"Ara, kemari, nak!" pria itu merangkul dan mengangkat tubuh Ara hingga dia duduk di kursi yang berada di sampingnya.
"Coba kakek tanya dulu, apa yang membuat jagoan kakek ini menangis?"
Ara terdiam sejenak, ia menghapus jejak air matanya dan menatap kosong ke depan. Setelahnya, ia melihat buku di atas meja samping teh sang kakek.
"Antologi cerita pendek Sawarga, buku apa itu kek?" Ara bukannya menjawab pertanyaan sang kakek, ia malah mengajukan sebuah pertanyaan.
Pria itu menghela napas. Diraihnya buku tersebut dan meletakkannya dipangkuan Ara.
"Lihat ini, Ara. Buku ini terlihat menarik." Si pria tua berusaha meyakinkan, menunjukkan sampul beralur dengan warna khas.
Kacamatanya sempat turun saat pria kecil itu akhirnya naik ke pangkuan sang kakek. Buku itu pun kini berpindah tempat bersamaan dengan Ara yang sudah nyaman pada posisinya.
Pria itu mulai membuka lembar awal yang menunjukkan sebuah filosofi. "Seperti benua, negeri, kota, desa. Baik di atas udara maupun di tanah, sebagaimana orang-orang memandangnya. Berbagai keragaman akan dipersatukan untuk menunjang bahwa tidak semua perbedaan itu saling membenci ataupun menghakimi, melainkan belajar bahwa perbedaan itu saling mencintai sesama dan diri sendiri."
Lembar berikutnya menunjukkan daftar halaman berisi kisah-kisah yang tidak biasa. Beserta salam pengantar dari seseorang yang telah menjadi saksi atas kumpulan kisah tidak biasa tersebut.
"Ayo, Kek! Baca!" Si pria kecil merengek, mulai tak sabar.
"Baiklah. Mari kita mulai kisah ini." Si pria tua kembali membenarkan kacamatanya dan mulai bercerita saat lembar berikutnya terbuka.
Cucunya nampak diam mendengarkan, sekalian memakan kacang dari toples yang digenggam oleh tangan kirinya. Mengunyah, sembari memikirkan kisah yang ceritakan oleh kakeknya.
☁️☁️☁️
🌃Salam, Para Warga Sawarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sawarga Dalam Cerita
Historia CortaSawarga dalam cerita. "Sawarga? Apa itu Sawarga? Apakah itu nama dari salah satu orang-orang yang memperhatikanmu di jalan sana?" Pemuda itu menyunggingkan senyuman. Ia berusaha menahan tawa. Namun tetap saja, gelak lolos dari bibirnya. "Bukan sala...