Chapter 2a | Hidrokarbon

58 6 0
                                    

--**--**--

Seperti atom karbon, aku ingin berikatan dengan yang lainnya

Berikatan dengan berbagai hidrogen,

membentuk sebuah ikatan,

lalu rantai,

Sampai akhirnya menciptakan rantai hidrokarbon,

Ya.

Ini adalah rantaiku

--**--**--

Sejak awal pergaulanku dengan anak-anak 'Pengabdi Cilok' alias para bad boys SMA Nusa Bangsa, aku merasa bahwa mereka seru juga.

Aku serius, mereka benar-benar mengasyikkan. Sesekali mereka membicarakan game, komik, juga betapa-tidak-kompaknya-angkatan-kami. Topik yang kusebutkan terakhir itu benar-benar membuatku bersemangat. Ya, aku lumayan suka mengkritik, namun tidak sejulid komentar-komentar netizen di media sosial. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa kebanyakan teman satu angkatan kami merasa tidak nyaman dengan 'Pengabdi Cilok' ini.

"Padahal kami enggak jahat-jahat amat, Lam," curhat Tito, ketua mereka. "Yang kulihat, kebanyakan teman-teman satu angkatan kita terlalu hanyut dalam zona nyaman mereka. Padahal, manusia juga butuh ruang lingkup pertemanan yang luas, atau punya banyak relasi. Aku menyayangkan sekali, sih, sama anak-anak sombong atau juara olimpiade yang kelihatannya enggak mau sekali berteman –setidaknya, bicara pada kami. Kami benar-benar merasa diremehkan, Lam."

"Kami sadar, kami juga enggak sebaik mereka," kata salah satu anggota yang lain. "Jujur, kami berkumpul kayak gini karena kami merasa kesepian. Ada yang jarang diperhatikan orang tua, ada yang terlalu dituntut untuk menjadi pintar seperti saudaranya, ada yang dibanding-bandingkan sama anak tetangga, dan salah satu dari kami ada yang lagi depresi dan stress akademik. Seenggaknya, saat kami berkumpul, ya kami berkumpul. Enggak ada lagi yang sibuk sama ponsel masing-masing."

"Terus, kalian tawuran sama SMA sebelah itu bagaimana ceritanya?" tanyaku setelah aku meminta pada Ghani, Jeremi, dan Iyan untuk pulang duluan dan tidak usah berkumpul untuk menungguiku yang masih penasaran dengan anak-anak 'Pengabdi Cilok'.

"Hanya masalah gadis," kata Tito yang membuatku ingin bergidik. Tawuran cuman gara-gara seorang gadis. Siap, pikirku dalam hati. Aku tidak habis pikir, para pentolan bad boys tawuran hanya gara-gara masalah yang –eum, seharusnya bisa diselesaikan baik-baik. Ternyata benar, salah satu kelemahan laki-laki adalah perempuan. "Aku dan salah satu ketua geng di SMA itu menyukai gadis yang sama. Dia menantangku, ingin membuktikan siapa yang pasukan yang paling kuat di antara kami. Ujung-ujungnya, aku dan teman-temanku malah disuruh membersihkan toilet dan di-skors selama beberapa hari oleh sekolah."

Entah mengapa, aku jadi penasaran siapa gadis yang diperebutkan itu. "To, siapa sih yang kalian perebutkan? Secantik apa dia sampai-sampai harus tawuran segala cuman untuk mendapatkan dia? Aku enggak mengerti," kataku yang tak lama kemudian disambut oleh pelototan dari berbagai pasang mata.

"Jena kamu bilang enggak cantik?"

"A-APA?!"

"Iya, Jena," kata Tito begitu melihat aku yang hanya bisa menganga. "Gadis penguasa sekolah, ketua geng paling berkuasa kedua setelah 'Pengabdi Cilok'. Atau, 'Pengabdi Cilok' versi cewek."

"Bad girls?"

"Ya. Namanya 'Pengabdi Basreng'."

Pengabdi Cilok dan Pengabdi Basreng. Ya. Aku sudah mendapatkan banyak info hari itu dari para bad boys. Setelah itu, kami membicarakan hal lain. Salah satu anak yang katanya sedang stress akademik pun membicarakan masalahnya sembari merokok. Tak lama kemudian, anak-anak yang lain pun juga ikutan merokok. Tito menawariku satu batang, dan aku menolak.

"Walaupun merokok begini, kami enggak sampai mengganggu orang lain," kata Tito, dan dari napasnya tercium bau rokok, asapnya pun sampai mengenai wajahku pula. "Kamu lihat, kan? Kami juga enggak memaksamu untuk merokok seperti kami. Kami hanya hancur karena keadaan. Seperti yang kamu sering dengar, orang jahat lahir bukan karena pilihannya. Tapi karena keadaan yang memaksanya seperti itu. Seperti kehilangan harapan hidup, kehilangan sahabat yang berharga, dan kesepian yang tidak berujung."

Orang jahat lahir bukan karena pilihannya.

Aku tidak setuju, sih.

Setiap manusia punya dua pilihan, mau jadi jahat atau jadi baik. Tentu saja kita akan memilih untuk menjadi orang baik. Namun, karena kita sudah diberi pemikiran bahwa dunia tidak cocok untuk orang baik, kita pun beralih untuk memilih menjadi orang yang jahat. Hidup itu pilihan, seperti berada di persimpangan. Karena itulah aku salut pada orang yang tetap memilih untuk menjadi baik walau sudah berkali-kali menjadi korban kekejaman dunia.

Akhirnya, sejak saat itu rasa penasaranku terhadap mereka semakin bertambah. Walau ada hal yang tidak kusetujui dari mereka, tetap saja suara kecil di dalam lubuk hatiku mengatakan bahwa aku dan mereka sama saja. Mereka manusia, dan aku juga manusia. Ketika mereka mengatakan bahwa mereka kesepian, bosan, dan merasa tidak mampu untuk menggapai mimpi-mimpi mereka, aku benar-benar merinding. Seperti, mengapa setiap orang bisa merasakan hal yang sama?

Aku masih merinding, sekaligus ingin mengenal mereka lebih jauh.

--**--**--

[A/N]

Harusnya apdet kemaren malam, tapi aku lupa jadi kuapdet hari ini.

Have a nice day! Jangan sepertiku yang hari ini rasanya sedang tidak mood untuk ngapa-ngapain :)

Luv,

kataihitam ❤

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang