[Season 2] Chapter 13b | Giga Adriano Trojan

22 5 1
                                    

Aku mendengarkan penjelasan Giga dengan baik. Seumur hidup, baru kali ini dia banyak bicara. Padahal, Giga yang kutahu selama ini adalah anak menyebalkan yang dingin dan sombong. Tapi, sebuah koin yang hanya dilihat dari satu sisi, menyimpan sisi lainnya yang tidak pernah kulihat. Begitu pula dengan kehidupan seseorang.

"Menjadi juara olimpiade itu bukan sepenuhnya keinginanku," kata Giga sembari menghela napas. "Aku hidup dalam keluarga yang ambisius. Sedari kecil, Ibuku yang paling peduli dengan kata-kata orang. Ibuku ingin aku menjadi juara kelas, juara olimpiade, dan berprestasi dalam bidang akademik. Padahal, yang kuinginkan itu musik. Aku ingin jadi penyanyi."

Tu-tunggu.

Apa?

"Apa?! Jadi penyanyi?" teriakku kaget.

Sumpah. Aku benar-benar kaget. Seandainya Roy masih ada di sini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresinya nanti. "Ibuku dulunya mantan penyanyi yang enggak begitu terkenal. Sejak menikah dengan ayahku yang seorang guru besar, orang-orang di sekitar kami jadi sering meremehkan Ibu. Kayak, 'Dia –ayahku—guru besar, orang jenius ilmu pengetahuan. Kenapa nikahnya sama penyanyi yang sama sekali enggak sepadan sama dia?' Aku tahu, Ibu enggak mau aku jadi sepertinya. Ibu enggak mau aku terjun ke dunia musik," cerita Giga. Dia terus memalingkan wajahnya dariku selama dia bercerita, dan itu membuatku kurang nyaman.

"Lalu," suaranya bergetar. "Aku dilarang bernyanyi di rumah itu, bahkan mendengarkan musik pun enggak boleh. Album-album Ibu dibakar, lalu aku ngerasa kesepian karena terus disuruh belajar dan belajar. Aku belajar sampai larut malam, sampai aku tertidur di kelas."

Sekarang, aku paham mengapa dia selalu ketiduran saat jam pelajaran. Tidak ada orang yang benar-benar jenius kecuali karena dia belajar dengan keras. Tapi, Giga pasti belajar dengan beban yang ada di punggungnya. Sementara itu, aku belajar lebih tenang karena orang tuaku sama sekali tidak ada masalah. Hanya saja, aku yang membuat bebanku sendiri. Sekarang aku sadar, lebih baik lelah belajar karena terbebani oleh mimpimu sendiri daripada lelah belajar karena terbebani oleh orang lain.

"Terus, kamu enggak apa-apa?"

"Bohong kalau aku bilang 'aku enggak apa-apa'," kata Giga. "Aku sering pergi ke warung cuman untuk merokok, menenangkan diri. Melepas penat karena melakukan sesuatu yang enggak benar-benar kusukai."

"Wait, kamu enggak suka belajar?"

"Bukan yang benar-benar enggak suka, tapi aku akan lebih menyukainya kalau keluargaku membolehkanku untuk bernyanyi."

Aku mengambil setoples kacang tanah lalu mulai makan kacang. "Giga, seharusnya kamu cerita dari dulu. Semakin banyak temanmu, semakin baik. Maksudku, semakin banyak orang yang kamu ceritain, kamu semakin tenang."

"Yah, asal ceritamu enggak sepersonal ini dan kamu enggak terlalu percaya sama orang lain saja sampai mau dimanfaatkan," kata Giga.

Aku menaruh kembali toples kacang itu di atas meja. "Maksudnya?"

"Tito dan teman-temannya itu enggak suka padaku sedari dulu, karena mereka sering melihatku merokok tapi enggak pernah dicap enggak baik karena 'berlindung' di balik nama seorang anak juara Olimpiade," kata Giga. "Mereka enggak pernah suka anak Olimpiade, Lam. Mereka menganggap kami –anak-anak Olimpiade ini—kumpulan anak-anak yang ngerasa superior karena jadi kesayangan sekolah, beda dengan mereka yang jadi sampah sekolah mulu. Tapi, yah, walaupun mereka semua nge-kos, orang tua mereka menyumbang dana cukup besar buat sekolah."

Aku menghela napas. "Sekolah kita kalau enggak minta duit, ya minta nama. Makanya namamu dilindungi sekolah dan 'Pengabdi Cilok' enggak pernah di-DO ya. Hukum sekolah sampah memang."

"Ya," kata Giga. "Mereka sudah ngerencanain sesuatu untukku dari dulu, dan mereka pikir tangan mereka bakal lebih bersih kalau mereka manfaatin kamu yang keliatan banget kalau sebenarnya kamu enggak suka padaku. Apalagi kamu anak yang bisa berteman dengan siapa saja, enggak sepertiku ini. Kamu lumayan naif dan gampang dimanfaatkan karena gampang cerita segala sesuatunya ke orang lain."

Baiklah. Giga seenak itu ya ngomongnya, batinku. "Itu karena si 'monster kesepian' yang kuciptakan sendiri. Aku cerita segala sesuatunya ke orang lain karena aku mencari orang yang benar-benar bisa memahamiku. Daripada kalian, aku lebih butuh orang lain. Aku butuh kebahagiaan, dan yah, aku yakin cuman Tito yang bisa menunjukkanku kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan di dunia yang cuman didapatkan sama orang-orang jahat. Makanya aku jadi ikutan jahat kayak mereka."

Giga seakan tersadar dengan sesuatu. "Kebahagiaan di dunia—"

"Kebahagiaan di dunia? Cuman itu yang kalian cari, hah?"

Jeremi muncul dari balik vas besar yang ada di ruang tamu ini. Aku menatapnya dengan tatapan datar.

"Kamu nguping sedari tadi, hah?" kataku kesal.

"Untuk apa kalian pusing-pusing cari kebahagiaan di dunia kalau kebahagiaan itu enggak berlangsung selama-lamanya?" Jeremi seakan tidak peduli dengan aku dan Giga sudah gondok dengan kelakuan fanboy satu ini. "Yah, aku yang K-Pop ini tau apa memang. Tapi, kebahagiaan dunia itu bukan kebahagiaan abadi. Lagipula, kebahagiaan dunia itu bukan dicari, tapi diciptakan dari hatimu sendiri. Kebahagiaan yang kamu cari itu kebahagiaan setelah kamu meninggal, tergantung dari kebaikan apa yang kamu buat di dunia."

"Dunia memang enggak berpihak ke orang-orang baik, itu benar kok. Karena kebahagiaan dunia itu enggak pantas buat mereka, dan mereka lebih pantas buat dapat kebahagiaan yang lebih baik, lebih nikmat, dan lebih agung daripada kebahagiaan di dunia," lanjut Jeremi. "Jadi, buat apa jadi orang jahat cuman biar bisa dapat kebahagiaan di dunia? Lebih nikmat jadi orang baik kan?"

Aku menganga.

"Oh iya ya?" kataku.

"'Oh iya ya?' 'Oh iya ya?'" Jeremi menatapku kesal. "Setelah sekian lama, kamu baru bilang, 'Oh iya ya?' Setelah yang kamu lakukan selama ini? Nilam—"

"Oh iya, kayaknya ada chat masuk dari grup kelas Kimia 2!" Aku mengambil ponselku dari saku celana untuk menghindarkan diri dari amukan Jeremi. Lalu, melihat notifikasi di layar ponselku.

Eh iya, benar-benar ada chat masuk.

"Ho, mau mengalihkan perhatianku, ya?"

"Enggak Jer. Eh tunggu, ini—"

Kimia 2 (36)

Jena. mengirim video

Yuna

Nilam?

Lily

Loh ini Nilam kan?

Ari

Wah, enggak nyangka ya kalau ini Nilam kita. Apa sih salah Giga?

Miramira

Nilam setauku bukan orang yang tiba-tiba baku hantam begini. Sumpah, aku kecewa sama Nilam

Aku pun mengecek video yang dikirimkan Jena. Seketika, mataku membulat.

Itu video saat aku menghajar Giga. Mereka merekamnya.

"Sialan," desisku.

--**--**--

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang