Chapter 2c | Hidrokarbon

49 6 0
                                    

"Bodo!" seruku seperti anak kecil. Lalu, aku kembali melanjutkan tujuanku untuk mendekati Ghani tadi. "Oh iya, Ghan, aku mau cerita. Jadi," Aku menghela napas sebelum melanjutkan. "Aku ingin lari."

Ghani menatapku dengan ekspresi datarnya. "Maksudmu?"

"Ya, aku ingin lari," kataku. "Aku ingin menghilang, menghilang bersama kabut. Mungkin aku terlihat selalu bersemangat, mengoceh kesana kemari, dan menyuruh orang-orang untuk belajar. Tapi, aku tetap merasa ada yang kosong. Aku merasa lelah. Bukan lelah fisik, tapi lelah dengan kehidupan. Jadi, aku ingin lari dari kehidupan. Aku ingin pergi ke tempat yang membuatku lebih tenang, lebih damai. Aku lelah, Ghan. Terkadang aku benar- benar bersemangat, terkadang aku merasa sesak dan kosong."

"Tunggu," Ghani menatapku dengan raut wajah serius. "Maksudmu, kamu mau berhenti dari kehidupan?"

Aku menatapnya sembari mengernyit. "Berhenti? Maksudmu—" Aku pun mulai tersadar dengan sesuatu. "Enggak, Ghan! Ngeri amat kalau aku sudah mikir seperti itu. Aku bukan mau berhenti, tapi aku mau lari. Aku mau menghilang, tapi tetap hidup. Bukan berhenti, tapi menghilang. Aku merasa enggak ada yang bisa dibanggakan dariku, aku merasa kosong."

"Maaf Lam, tapi aku benar-benar enggak mengerti."

"Oh," Aku benar-benar kecewa, kupikir Ghani akan mengerti dengan perasaanku. Mungkin dia berpikir, hanya introvert yang menderita. Hanya introvert yang mengalami masalah-masalah batin seperti ini. Like, aku extrovert. Aku juga manusia yang terlalu berperasaan. Keinginanku seperti berada di ambang hidup dan mati. Hidup segan, mati tak mau. Bunuh diri dosa, masuk neraka.

Tapi, aku merasa ada yang salah dengan diriku. Terkadang, sakit fisik ditambah lelah mental itu rasanya seperti setengah nyawamu mau dicabut. Begitu. Benar-benar tidak direkomendasikan untuk merasakannya. Aku merasakannya tadi pagi, rasanya sesak dan tulang-tulangmu seperti mau lepas. Kuharap, itu hanya stress biasa karena aku terlalu banyak berpikir dan bekerja keras.

"Waktu kita untuk sekelas hanya beberapa hari lagi, Lam," kata Ghani, memecah keheningan sementara yang terjadi di antara kami berdua. "Nanti, kelas untuk program persiapan UN dipisah sesuai mata pelajaran UN pilihan. Di antara Nijeghayan, cuman kamu yang milih kimia. Kamu, kan, suka curhat-curhat sama kami. Nanti kalau sudah pisah, siapa lagi yang bisa kamu percaya untuk cerita hal-hal personal kayak begini?"

"Ah iya juga," kataku. "Kalian semua pilih biologi, kan?"

"Enggak kok," jawab Ghani. "Fisika," lanjutnya dengan enteng.

"Ho, fisika, toh," Aku manggut-manggut. Namun—"Hah? A-APA?! FISIKA? EH BUSET KITA SAJA MENGUMPULKAN TUGAS REMEDIAL UJIAN FISIKA MASIH SUKA JATUH TEMPO, INI NGAMBIL FISIKA? WHAT?"

"Fisika asyik, kok," kata Iyan sembari tertawa.

"Nah, ini anaknya!" seruku kesal. "Kenapa pada ngambil fisika, sih? Cari mati, ya?" Bukannya aku meremehkan, tetapi aku tahu jelas kemampuan fisika sohib-sohibku yang selalu menemaniku dalam mengerjakan tugas remedial –tugas mengerjakan kembali soal-soal yang membuat muak itu.

"Enggak cari mati juga, lah, Lam," kata Iyan. "Siapa tahu dengan mengambil mata pelajaran fisika, kita bisa memperdalam pelajaran yang kita langganan remedial itu untuk UN nanti. Kamu enggak mau pindah saja ke fisika? Sudah terlalu cinta pada kimia, ya?"

"Ogah fisika," kataku sembari bergidik.

"Kalau begitu, nanti di kelas kimia curhatlah sepuasnya pada Giga," kata Iyan sembari menyengir. Cengar-cengir, cengar-cengir sampai gigi kering, batinku kesal. Namun, tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Kok jadi Giga? "Memangnya Giga juga mau masuk kelas kimia sepertiku waktu program persiapan UN nanti?" tanyaku was-was. Malas sekali mau satu kelas dengan orang semenyebalkan itu.

"Ya iyalah aneh, Giga kan jenius kimia! Pasti masuk kelas kimia, lah!"

Aku hanya menganga.

Ya, menganga dalam kesedihan.

--**--**--

[A/N]

Aku telat apdet hehe. Harusnya apdet kemarin malam.

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang