Chapter 8a | Utopia (Final)

29 5 1
                                    

--**--**--

Raihlah tanganku,

akan kutunjukkan utopia itu

Hanya untukmu

--**--**--

Hujan turun deras, angin bertiup kencang.

Sementara itu, aku masih melajukan motorku.

Rasa sakit akibat ditonjok Jeremi di rumah sakit tadi tidak ada apa-apanya dibanding menerima kenyataan bahwa sekarang kau adalah orang yang jahat. Mataku membasah di balik helm yang kukenakan. Menyesali kata-kata yang keluar dari mulutku, kata-kata yang membuat Jeremi kalap. Aku tahu, aku memang terlihat seperti penjahat karena membela pembuli—tidak, kriminal—seperti Tito.

Ya, aku jahat. Jadi bukankah aku akan mendapatkan utopia?

Entahlah.

Rasa bersalah itu membuat sesuatu yang kuanggap utopia, perlahan menjadi sebuah distopia. Dadaku terasa sesak, sesak memikirkan Ghani. Namun, seketika bayangan Tito kembali melintas. Lalu, dilanjutkan dengan bayangan Jena, gadis itu. Mereka berdua seakan –bukan seakan, tapi dengan jelas—menjanjikan sebuah mimpi baru. Mimpi di mana kebahagiaan akan terus mengalir tanpa henti.

Utopia.

Aku memarkirkan motorku di tempat parkir sekolah, lalu berteduh di dalam pos satpam. Bunda biasanya akan khawatir begitu melihatku basah kuyup karena hujan, jadi aku berteduh di sana sekalian mengeringkan badan.

"Kopi, Lam?" tawar Tito yang sedang merokok dan minum kopi di dalam pos satpam bersama anak-anak 'Pengabdi Cilok' lainnya. "Eh? Kok kamu bonyok begitu? Habis berantem—"

"Langsung saja," tegasku. "Kamu apakan Ghani, hah?"

"Wah, sudah kuduga bakal begini," kata Tito santai sembari menghisap rokoknya. "Kenapa, sih? Kamu enggak suka? Toh, kamu tahu sendiri kalau aku suka tawuran dan ngebuli orang. Kenapa kamu kayak marah begitu?"

"Ya iyalah aku marah!" Kedua tanganku terkepal erat. "Dia temanku! Sahabatku! Wajar kalau aku marah, Tito Wijaya!"

"Wah, tenang dulu," kata Tito. "Teman bagimu itu apa?"

"Teman adalah seseorang yang selalu menemani kita baik suka maupun duka. Teman adalah seseorang yang selalu bersama kita," jawabku tegas.

Tito tertawa keras, diikuti oleh teman-temannya. Aku merasa seperti déjà vu.

"Orang lemah begitu kamu anggap temanmu?" tanyanya retoris. "Alnilam, dengarkan aku. Daripada dia, aku yang jahat ini lebih cocok untuk menjadi temanmu. Kamu terlalu naif, Lam. Dunia ini memang keras. Hanya kami yang 'jahat' inilah yang bisa memahamimu. Orang lemah seperti itu belum tentu bisa memahamimu, Lam. Pasti yang dia pikirkan hanya dirinya sendiri."

"Gha-Ghani enggak lemah!" Dadaku mulai sesak lagi. Lalu, tanganku meraih kerah baju Tito dan aku hendak menghajarnya seperti Jeremi menghajarku tadi. Namun, Tito berhasil menangkap kepalan tanganku. Aku berusaha untuk melepaskan tanganku dari cengkramannya, tetapi anak ini sangat kuat. Tremor menguasai kepalan tanganku.

Sialan, umpatku dalam hati.

"Kalau kamu baik, kami akan baik, Alnilam," Tito menatap dalam-dalam kedua mataku. "Sekarang, berhentilah memikirkan temanmu itu. Karena, temanmu yang jahat ini akan menjamin kebahagiaan."

Aku terdiam.

"Bukannya kamu masih ingat dengan mimpi baru kita?"

Lagi-lagi, aku terdiam.

"Utopia, mimpi baru kita."

--**--**--

[A/N]

Bentar lagi tamat season 1 gais :"

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang