Chapter 8b | Utopia (Final)

23 5 4
                                    

"Dengan mudahnya kamu bilang kayak gitu, Lam,"

"Dengan mudahnya. Kamu minta kami pahami, tapi kamu sendiri juga enggak bisa memahami teman-temanmu. Dan memang kamu sendiri yang susah dipahami. Kalau begitu, kita impas, kan? Kamu enggak tahu, Lam, kalau sejak saat itu Ghani trauma. Dia takut bertemu dengan orang-orang. Kemarin psikiaternya datang menjenguk, dan fakta kalau Ghani juga punya depresi itu bukan main-main."

"Kupikir reaksimu enggak akan sejahat itu. Ternyata, kamu sama saja seperti pembuli. Pemikiranmu, kepada siapa kamu berpihak, kepada siapa kamu bersimpati, itu menunjukkan kalau kamu sudah ada di pihak pembuli, Alnilam..."

Aku mengusap kepalaku yang berdenyut-denyut sedari tadi, lalu tanpa sadar menarik-narik rambutku. Ini sudah malam ke—aku tidak bisa menghitungnya lagi—sekian kalinya aku merasa sesak lagi. Terbaring di atas kasur tanpa bisa memejamkan mata, dengan selimut yang membungkus kaki sampai bahu –layaknya malam-malam sebelumnya.

Mendadak, tanganku yang tengah menarik-narik rambut perlahan seperti diangkat seseorang dan dipindahkan ke samping tubuhku lagi. Lalu, tak lama kemudian terlihat sebuah tangan halus yang sudah lama tidak mengusap kepalaku lagi. Namun, usapan itu terkadang hilang-timbul. Aku menghela napas.

"Kenapa baru datang sekarang?" tanyaku. "Sudah ada beberapa malam di mana aku enggak bisa tidur."

Eris tidak menjawab, dia hanya terus mengusap kepalaku.

"Kupikir, kamu sudah pergi," kataku dengan suara bergetar. "Sekarang, aku benar-benar tidak punya mimpi. Seperti katamu, tidak apa-apa tidak punya mimpi asal kamu bahagia. Terkadang, aku mengingat perkataanmu itu. Tapi, terkadang aku merasa seperti, 'bagaimana bisa ada orang yang tidak punya cita-cita?' seperti saat aku tahu bahwa Roy si penyanyi Kimia 2 itu tidak punya cita-cita. Hidupku terombang-ambing, Eris. Aku tahu, aku sudah mengikuti yang salah. Tapi, jalan yang orang lain menganggap itu salah –bahkan aku sendiri juga menganggap itu salah—menjamin kebahagiaan."

"Membuat mimpi baru, yang mereka sebut dengan utopia," lanjutku. "Aku tahu, aku egois sekarang. Membuat kebahagiaan dan kekuasaan di atas penderitaan orang lain. Aku jahat. Tapi, menurut mereka, seperti itulah dunia bekerja. Dengan menjadi jahat, aku akan lebih bahagia."

Eris tidak menjawab.

"Eris, kamu pernah bilang kalau kamu akan menjadi semacam—yah, orang yang akan menjadi pemanduku. Jadi, tanggapilah. Jangan diam saja."

"Sepertinya, aku salah kalau berharap kamu akan mencintai dirimu sendiri," kata Eris. "Nilam, aku tahu. Kamu anak yang sudah mencintai dirimu sendiri, pintar bersosialisasi, percaya diri, baik ke semua orang, dan yah, sesuatu yang enggak aku punya semasa hidup. Tapi, kamu masih punya masalah dengan 'monster kesepian' yang ada di dalam dirimu. Kamu selalu membutuhkan orang lain untuk mengisi harimu. Orang yang bisa mendengarkan ceritamu, atau membuatmu bisa mendengarkan ceritanya. Kamu suka keramaian –itu sesuatu yang kutakutkan semasa hidup—dan yang terpenting—"

Eris tersenyum, menampakkan kedua lesung pipinya.

"Kamu membutuhkan orang yang bisa memahamimu."

Aku tertawa walaupun dadaku masih agak sesak dan kepalaku masih sedikit berdenyut-denyut.

"That's right," kataku.

"Nijeghayan tidak punya hal itu," kata Eris. "Dan Tito punya hal itu."

"Makanya, Tito itu sangat berharga walaupun dia jahat," kataku. "Tapi, dia punya sisi baik yang hanya bisa dia tunjukkan untukku. Dia bisa berperan jadi orang yang selalu mendengarkanku, dan orang yang bermimpi untuk membuatku bahagia. Bukankah sahabat seharusnya seperti itu? Walaupun dia jahat ke orang lain sekalipun –tapi ini ah, aku sama sekali bingung. Menurutmu bagaimana, Eris?"

"Aku tidak mengerti, Nilam. Maaf," Eris masih mengusap kepalaku, namun kali ini elusannya terasa seperti elusan dari rasa bersalahnya padaku. "Seumur hidup, aku enggak pernah punya sahabat. Kecuali seorang gadis yang kuanggap sebagai adikku sendiri."

"Who?" tanyaku.

"Maksudmu?"

"Gadis itu," kataku. "Gadis yang kamu anggap sebagai adikmu sendiri. Itu siapa?"

"Kamu enggak akan kenal, lah," Eris terkekeh. "Jadi, dulu aku punya sahabat. Sahabat yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Namanya Ana –yah, kamu enggak akan kenal. Dia anak yang manis dan baik, tapi tidak punya banyak teman di sekolahnya. Jadi, aku memperkenalkannya pada teman-teman khayalanku. Eris, Ares, dan Jovi."

"Eris? Itu bukannya kamu?"

"Ya. Aku mengenalkannya pada diriku sendiri agar dia selalu ingat aku di mana pun kami terpisah. Biar dia enggak merasa kesepian ketika sedang tidak ada teman. Tapi, Ana senang membaca. Dari kesukaannya membaca itulah, dia jadi senang menulis dan bercita-cita menjadi seorang penulis sepertiku. Tapi, aku sadar. Keinginanku sendiri pun enggak sejalan dengan kebutuhanku. Aku ingin menjadi penulis terkenal dengan nama 'Rho', tapi sebenarnya yang kubutuhkan adalah teman. Teman laki-laki yang bisa mendukungku seperti Jeremi, Iyan, dan Ghani-mu itu. Aku jadi iri pada extrovert, sumpah."

Aku tertawa. "Iri?" Tanpa sadar, mataku membasah. "Untuk apa? Untuk apa punya banyak teman tapi tak ada satupun yang bisa memahamimu? Extroverts bahagia, orang yang punya banyak relasi itu bahagia. That's bullshit. Mungkin bagi orang-orang itu tidak apa-apa, tapi bagiku, aku hanya ingin menunjukkan diriku yang sebenarnya. Aku capek berpura-pura."

"Aku adalah seseorang yang terlihat menyenangkan di luar, tapi hancur di dalam," lanjutku. "Aku jauh lebih membutuhkan orang lain daripada introvert sepertimu. Bahkan, terkadang aku iri pada kalian. Kalian bisa menikmati kesendirian, ketenangan dan itu keren."

"Hal itu enggak akan jadi keren lagi kalau ujung-ujungnya kalian enggak bisa berteman gara-gara itu," kata Eris, tangannya berhenti mengusap kepalaku. "Aku enggak punya teman bukannya karena aku seorang introvert, tapi karena aku takut untuk bersosialisasi. Bersosialisasi dengan banyak orang itu hal yang menyulitkan bagiku. Aku juga terlalu malu saat banyak orang yang menatapku, seakan-akan aku ini aneh, bodoh, atau jahat. Jadi, aku membohongi diriku sendiri dengan menulis tentang bagaimana pentingnya untuk mencintai diri sendiri."

"Ah, mencintai diri sendiri, ya?"

"Ya. Aku tidak ingin Ana seperti itu. Tapi, ternyata dia kesepian selama aku tidak ada. Dia hanya punya teman-teman khayalan yang kukenalkan padanya lewat sebuah novel yang kuhadiahkan untuknya sebelum kematianku," Suaranya mulai bergetar. "Juga mimpinya untuk menjadi seorang penulis."

Perlahan, Eris menghilang. Seiring dengan pandanganku yang mulai menggelap,

kemudian hitam total dengan hari esok yang menjadi awal dari sebuah utopia palsu.

"Kamu tidak melihatku lagi, Kangguru Kecil?"

--**--**--

[A/N]

Aku kejar tayang gais

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang