Chapter 7a | Kepingan-Kepingan

32 5 2
                                    

--**--**--

Apa yang kaucari?

Euforia, utopia?

.

.

Tidak juga

--**--**--

"Bun, aku pergi dulu, ya!"

Aku mengambil kunci motor yang tergeletak di atas nakas, kemudian menatap sekeliling kamar. Merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat bulu kudukku merinding.

Mungkinkah—

Tidak, tidak.

Aku menggeleng.

Dia tidak mungkin masih ada di sini. Maksudku, Eris sudah tidak peduli lagi padaku. Dia mungkin berpikir bahwa aku tidak akan membutuhkannya lagi. Padahal, aku juga tidak membutuhkannya—

Tidak, tidak. Aku sangat membutuhkannya.

Aku membutuhkan kenyamanan, ketenangan, dan kasih sayang.

Aku membutuhkan orang-orang yang memahamiku, yang mengerti akan diriku. Mengerti akan perasaanku.

Aku menyayangi Nijeghayan, tetapi aku tidak suka mereka dan ini aneh.

Akhirnya, aku melajukan motorku dengan tidak semangat. Mobil di belakangku membunyikan klakson dengan keras. Gondok, aku pun memberhentikan motorku tepat di depan mobil itu. Sontak, mobil di belakangku mengerem dengan tiba-tiba –rem mendadak.

"Heh! Gila, ya!" teriak sang pengemudi mobil.

Aku berjalan ke arah mobilnya sembari membuka helm, ingin menyemprotnya karena tidak sabaran dalam mengemudi. Namun, ketika kaca pengemudi turun—

"HEI, KALAU JALAN—Eh, Roy?"

"Eh? Nilam? Kenapa jadi kamu yang marah-marah?" semprot Roy dengan nada tinggi. "Enggak tahu orang lagi buru-buru, hah?! Aku lagi mau jemput cewekku, nih! Udah ngomel-ngomel dia! Mikir enggak, sih?"

Entah mengapa, tiba-tiba mataku basah.

"Eh? Kok nangis, Lam? Nilam?"

--**--**--

"Jadi begitu, Roy," kataku saat kami mampir sejenak di warung bubur kacang hijau.

Roy mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Dia merogoh saku celananya, kemudian berdecak setelah melihat layar ponselnya. "Cewekku," katanya. "Halo, Sayang?" Dia menempelkan ponsel itu di telinganya. "Iya, maaf Sayang, ban mobilku kempes. Apa? Putus? Enggak salah nih?"

Seketika, aku merasa tidak enak pada Roy. Bubur yang baru saja kukunyah terasa hambar di mulut.

Seriously? Apakah karena aku, mereka jadi putus?

"Maaf ya Roy," kataku setelah Roy menutup teleponnya.

"Selaw," katanya. "Aku memang ingin putus sebenarnya. Cewekku –eh, maksudku mantanku ini memang seenaknya sendiri. Memangnya aku sopirnya? Tukang nganterin dia makanan? Maaf saja, terkadang aku ingin bebas. Nah, lanjutkan curhatanmu tadi. Aku sudah greget denganmu, sih, sebenarnya. Tapi selesaikan dulu ocehanmu, baru kutanggapi."

"Sudah selesai," kataku.

"Hah? Sudah selesai? Begitu saja?" katanya. "Nilam, jadi begini. Cari teman itu mudah, mudah sekali. Tapi, cari teman yang benar-benar bisa memahamimu itu sulit. Jadi, santai saja. Hidup itu dibawa santai, jangan terlalu banyak berpikir. Nanti kamu stress, terus depresi. Satu hal lagi, setidaknya kamu punya mimpi. Kalau boleh jujur, aku bahkan enggak punya cita-cita sama sekali."

Aku kaget mendengar ucapannya.

Roy, anak yang suka menggelar konser sendiri di dalam kelas XII Kimia 2 ini, tidak punya cita-cita sama sekali?

Bagaimana bisa seseorang tidak punya cita-cita?

"Walaupun enggak punya cita-cita, seenggaknya aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menikmati hidup dengan baik," kata Roy. "Mantanku yang pertama –yang tadi itu mantanku yang kelima—pernah bilang, love yourself. Cintai dirimu sendiri."

Aku terdiam.

Tidak, tidak. Roy pasti punya cita-cita.

"Enggak mungkin, Roy. Kamu itu punya cita-cita," tegasku. "Kamu pernah bilang, seandainya kamu buat konser nanti, kamu akan membagikan tiket konser gratis untuk anak-anak Kimia 2. Bukannya jadi penyanyi itu cita-citamu yang sebenarnya? Berarti, sebenarnya kamu punya cita-cita, Roy."

Roy langsung terdiam. Padahal, dia hobi berdebat dengan guru-guru.

"Yah, aku juga enggak tahu jelas," katanya.

Lalu, hening meraja. Aku tidak tahu harus menanggapi apa.

"Lam," Roy mulai terlihat serius dan mengalihkan pembicaraan. "Kamu memang dekat sama anak-anak bedebah itu—maksudku, Tito dan teman-temannya?"

Aku memutar bola mata. Yah, tapi wajar sih Tito dan kawan-kawan sekarang dianggap semakin jelek begitu. Tapi, Tito memang begitu. Cuman aku enggak bisa menyalahkannya karena cuman dia satu-satunya yang kuanggap teman, batinku.

"Ya," jawabku. "Memangnya kenapa?"

"Memangnya kenapa?" Roy mengulangi pertanyaanku dengan nada kesal. "Mereka itu jahat, Lam! Mereka itu enggak baik buat kamu. Enggak pantas ditemani. Aku tahu kamu kesepian, kamu butuh orang-orang yang bisa memahamimu, yang suka memikirkan perasaanmu sendiri ini. Tapi kenapa harus mereka? Apa sih yang kamu pikirkan sampai kamu mau sama mereka? Simpati ke mereka boleh, tapi enggak bodoh kayak gini juga."

Aku menghela napas.

Enggak Nadia, enggak Bu Riri, enggak Roy, sama saja.

--**--**--

Orange Spirit 2 : Konstelasi Orion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang