5. Membuka Luka Lama

57 25 14
                                    

Permasalahan ada untuk dihadapi bukan dihindari. Allah memberikan hambanya ujian untuk mengangkat derajat manusia di depan-Nya, seberapa kuat dia bertahan untuk terus mengingat-Nya. Jadikanlah Allah sebagai tempat bergantungmu di kala suka dan duka, karena Allahlah yang senantiasa ada untuk kita.

***

Nahda Pov

Hari ini tepat hari pertama setelah dua minggu melaksanakan tes kenaikan kelas atau nama lainnya UAS (Ujian Akhir Semester). Biasanya seteleh UAS berlangsung, sekolah mengadakan classmeting sebagai hiburan untuk siswa-siswi, selain itu juga untuk mempererat tali silaturrahmi antar kelas. Seperti sekarang ini, sedang berlangsung pertandingan sepak bola, pertandingan antara kelasku XIPA 1dengan XIPS 1yang diwakili kaum Adam. Sedangkan kaum Hawa sebagai Tim Hore dengan semarak nyanyian yel-yel dan gemuruh tepuk tangan yang melengkapi momem kebersamaan tersebut.

Aku duduk diantara mereka. Tiba-tiba aku merasa haus karena matahari yang semakin terik. Hingga aku memutuskan untuk mengambil botol minum dulu.

"Teman-teman aku ke kelas bentar yah, aku haus mau ambil air minum dulu."

"Oke, jangan lama-lama da," celutak salah satu temanku. Aku hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan mereka.

Sampai di kelas aku terkejut, ternyata masih ada orang di dalam. "Setahuku kelas udah sepi, anak-anak juga pada di luar semua. Kok ada orang yah?" batinku.
Aku semakin mendekat ke tempat dudukku, seraya melirik di pojokan untuk melihat siapa orang yang sedang menunduk tersebut. "Sepertinya aku kenal?"

Saat aku melirik ke pojokan untuk mencari tahu, mataku tertangkap basah karena secara bersamaan dia mendongak dan tatapan kami bertemu. Matanya juga sedikit kaget saat dia mendongak ada keberadaanku di kelas. Mungkin batinya menerka-nerka sejak kapan aku di sini.

Dia bersikap senormal mungkin sambil sesekali menyeka pipinya seraya habis menangis. Dan sepertinya Lia pura-pura sibuk dengan melanjutkan membaca buku di depannya.

"Li, ngapain di kelas sendiri? nggak ikut gabung bareng teman-teman lainnya?" ucapku.  Aku berusaha menetralkan suasana yang sedikit gugup.

"Nggak, panas. Males," ucapnya.

"Oh, ya sudah." Aku langsung mengambil air minum di tempat dudukku.

Hening seketika diantara kita. Tidak ada percakapan lagi. Aku merasa canggung dengan Lia, berusaha untuk saling menutupi dan semakin mejaga jarak. Tidak ada lagi sapanya, suara tawanya, perhatiannya, curhatannya dan omelannya. Aku rindu saat-saat bersamanya, tidak ada yang ditutup-tutupi, saling mengisi dan itu hanya tinggal angan belaka.

Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk berbicara dengannya, menyelesaikan semua kesalah pahaman yang terjadi antara aku dan Lia. "Mumpung kelas sepi," batinku.

"L..Lia..." ucapku sedikit terbata-bata menahan rasa gugup.

Dia menoleh ke arahku dengan alis saling bertautan, menuntut jawaban untuk apa aku memanggil namanya.

"Li, jika memang aku ada salah banyak, aku minta maaf." Ughh akhirnya aku bisa mengutarakan permintaan maafku dengan lancar.

"Maaf?" dengan nada acuh sambil tersenyum sarkatis. "Sejak kapan kamu tahu kata maaf?" senyum itu menyirat ketidaksukaan.

"Li, aku benar-benar minta maaf Li. Jika kejadian dulu membuat kamu sakit hati, sungguh aku tidak bermaksud seperti itu Li, kamu tahukan - " belum sempat menyelesaikan, ucapanku terpotong.

"Aarraaghhh, cukup!. Aku nggak mau mendengar penjelasan apapun. Sejak dulu sampai sekarang kamu selalu merebut apa yang aku inginkan. Persahabatan yang dulu pernah kita bangun ternyata hanya alibimu untuk menutupi tujuan aslimu."

Aku berusaha untuk menahan genangan air mata yang akan tumpah sambil beristighfar. Melihatnya marah meluapkan semua emosinya, membuat hatiku tersayat-sayat akan rasa perih yang ditorehkan. Bukan perih karena sayatan luka, tapi perih ini mendengar ucapannya, dari sahabat kecilku sendiri, perih ini juga karena satu fakta yang aku tutup-tutupi hingga Lia tahu dari orang lain bukan diriku. Fakta itulah yang membuat dia membenciku. Namun sampai sekarang aku masih menutupi alasan aslinya, biarlah dia membenciku seperti itu, hingga pada waktunya itu tiba. Allahpun tahu mana yang terbaik untuk hambanya, Dialah yang memberikan jalan untuk hamba-Nya yang sedang kesulitan. Maka ingatlah Allah kapan saja, sebutlah Allah banyak-banyak karena Allah bersama kita.

Untuk saat ini aku benar-benar pasrah, bertawakal kepada Allah dengan permasalahan yang aku hadapi. Aku hanya bisa berdoa dan berikhtiar.

***

Untuk menenangkan hatiku yang sedang kalut, maupun pikiranku yang entah kemana semenjak kejadian di kelas tadi. Aku melangkah gontai menjauh dari keramaian sekolah. langkahku kini hanya tertuju pada lahan hijau luas yang indah dengan berbagai macam bunga yang tumbuh menghiasi sekelilingnya, taman yang ada di belakang sekolahku. Berharap mengurangi rasa kesedihan ini.

Aku duduk memandangi taman itu dengan senyum buatanku, menepis segala keruwetan ini. Alih-alih berkurang rasa sedih ini, justru air mataku semakin bercucuran, mengingat kenanganku dengan Lia. Mulai dari kenangan masa kecil, ketika jalan kaki bareng untuk berangkat ke sekolah, lari-lari ketika mau dikejar ular padahal hanya ular daun yang ada di pohon dengan tinggi lima meter, semua duka, sedih dan lainnya. Aku terus melafalkan istighfar di setiap isakanku untuk menenangkan hatiku sendiri

"Nih!" seseorang menyodorkan sapu tangan. Aku menunduk dan aku tidak langsung mengambilnya.

"Ya Allah, aku malu, maafkan aku. Ketahuan deh kalo aku lagi nangis. Ceroboh banget sih Nahda. Ya iyalah ketahuan, orang kamu nangisnya di depan umum Nahda!" dalam hatiku meruntuki diri sendiri.
"Udah, tenang aja. Ini sapu tangannya bersih kok," lanjutnya masih terus saja kekeh menyodorkan sapu tangannya.
Akupun sebenarnya perlu tisu dari tadi, berhubung tisu aku habis, ya aku biarkan saja air mataku membentuk aliran sungai yang indah di dataran pipiku. Sesekali aku mengelap dengan ujung khimarku. Jorok yah, tapi maaf. hehe

"Terpaksa aku menerima sapu tangan itu. Ya kali, aku ke kelas dengan muka yang masih basah karena sisa tangisan air mataku," pikirku.

Akhirnya aku menerima sapu tangannya.

"Terima kas - " ucapan terima kasihku terhenti, ketika aku mendongak untuk mengetahui siapa seseorang yang memberikan sapu tangan kepadaku. Hatiku tercekat, tidak menyangka yang memberi sapu tangan padaku itu anak yang dulu pernah menatapku dengan sinis yang sulit diartikan, ketika aku mendapatkan penghargaan saat hari terakhir MOS.

Setelah aku menerima sapu tangan darinya, dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Dia itu siapa? Anak kelas berapa? Bagaimana aku mengembalikan sapu tangan ini kalo namanya aja aku nggak tahu?" pikirku. "Ganteng," aku menggelengkan kepala.

"Astaghfirullohaladzim, aku nggak boleh berpikiran seperti itu, aku nggak boleh berpikir macem-macem. Jaga pandangan Nahda. Ampuni aku Ya Allah" gumamku.

Setelah kejadian di taman, aku benar-benar bingung. Masalah dengan sahabatku saja belum selesai, apalagi di tambah anak laki-laki misterius yang memberikan sapu tangan kepadaku.

***

Assalamualaikum.Wr.Wb.

Hari ini saya updet kelanjutan part sebelumnya. Semoga kalian suka ceritanya, yang belum membaca, ayo mampir ke cerita saya. Cerita saya terbuka untuk siapa saja. hehe

Sejauh ini cerita saya bagaimana? apa sudah ada rasa penasarannya? hehe. Semoga bisa menghibur kalian dan bisa dipetik pelajarannya.

Kalau mau kasih saran, In Sya Allah saya menerimanya dengan tangan terbuka. Mohon maaf juga apabila menemukan kesalahan dalam penulisan. terima kasih.

Jangan lupa tinggalkan jejeak dengan vote dan comment yah.

Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nyaa. Amiin...

My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang