13. Kembalinya Sahabat Lama

40 7 8
                                    

Persahabatan akan berjalan dengan kokoh jika dilandasi dengan rasa percaya. Suka duka akan dilewati Bersama tanpa mengenal kata Lelah, itulah sahabat sejati.

***

Di sore hari sang Mentari mulai menyembunyikan raganya, beradu dengan awan kelabu yang mulai menggelap karena malam akan segera tiba. Dua kakak beradik itu sedang menghabiskan sorenya dengan belajar bersama. Meskipun masih libur semester, tapi tidak menghilangkan semangat mereka untuk tetap belajar.

"Dek ini salah jawabannya," ujar Nahda sambil menunjuk jawaban adiknya yang salah.

"Lho kok salah kak? Perasaan Dinda udah pake rumus yang bener?" tanya Dinda pada sang Kakak.

"Iya, rumus kamu sudah bener tapi hasilnya salah. Kamu kurang teliti," jawab sang Kakak dengan nada lembut

"Ya udah jelasin lagi kak, biar Dinda paham dan tahu mana yang salah," pinta Dinda pada Nahda.

"Oke adik kakak yang manis," ucap Nahda sambil menjawil hidungnya yang sedikit mancung.
"Kita mulai yah, pertama kamu harus ta... " ucap Nahda terpotong. Belum selesai menjelaskan, ucapan Nahda terpotong karena ada ketukan dari pintu depan. Pertanda ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

"Kak, kayaknya ada tamu deh. Coba kakak bukain pintunya. Mama lagi di dapur kasian lagi masak," ucap Dinda.

"Oke boss," jawab Nahda sambil memberikan hormat pada sang Adik seolah-olah majikannya.

"Tapi kamu tetap di sini lanjutin belajar kamu, nanti Kakak balik lagi ke sini," titah sang Kakak. Kudian Nahda beranjak pergi meninggalkan Dinda di tempat belajarnya.

"Iya kak," jawab Dinda sambil terkekeh.

Setelah meninggalkan Dinda di tempat belajar mereka, Nahda menghampiri pintu depan untuk membuka pintunya. Nahda terkejut dengan kedatangan mereka, mendadak pikiran Nahda kosong, dia hanya bisa mematung.

"Assalamualaikum Nahda," ucap salam tante Mira mamanya Lia. Nahda tidak merespon apa-apa, dia seperti bengong.

"Sayang... " ucap tante Mira sedikit mengeras.

"Ehh, iya tante. Waalaikumsalam," jawab Nahda sedikit tersentak.

"Maaf tante tadi Nahda sedikit terkejut dengan kedatangan tante sama Lia yang mendadak. Silahkan masuk tante, Lia," ucap Nahda dengan tersenyum, meskipun sedikit canggung.

"Iya Nahda nggak apa-apa." Kemudian tante Mira dan Lia masuk ke dalam mengikuti keberadaan tuan rumah. Sedangkan Lia hanya diam, mengikuti kemanapun sang mamanya berada.

"Silahkan tante sama Lia duduk dulu! Nahda mau ambil minum dulu," pinta Nahda dengan sopan.

"Nggak usah repot-repot, kamu duduk aja sini ngobrol sama Lia," ujar Tante Mira sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya.

"Tapi tante... " elakkan Nahda.

"Nggak ada tapi-tapian, tante juga masih ada perlu sama mama kamu. Mama kamu di rumahkan?" tanya tante Mira dengan senyum keibuannya.

"Iya, mama di dapur lagi masak," jawab Nahda dengan suara pelan.

"Ya sudah, tante ke dapur dulu yah, temuin mama kamu,
" jeda sebentar. "Sayang, mama ke dapur dulu yah, mau ketemu mamanya Nahda," pamit tante Mira sambil beranjak ke dapur. Lia hanya mengangguk sebagai jawabannya

Setelah kepergian mamanya Lia, mereka sama-sama canggung. Sama-sama diam seribu Bahasa. Tidak ada yang mau mengawali pembicaraan. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing, seolah-olah mereka mencoba untuk merangkai kata-kata untuk memulai pembicaraan.

"Lia... Nahda," mereka berucap berbarengan.

"Ya udah kamu aja dulu yang ngomong," ucap Nahda.

"Ehh kamu aja dulu yang ngomong nggak apa-apa," ucap Lia tak mau kalah.

Tiba-tiba keheningan menyelimuti mereka. Menambah suasana canggung diantara mereka.

"A..aku mau minta maaf," celutak salah satu gadis yang sedang duduk saling berhadapan. Nahda belum sepenuhnya sadar akan permintaan maaf dari Lia. Dia seolah-olah masih mencerna perkataannya.

"Aku mau minta maaf atas kejadian dua tahun yang lalu saat kita masih SMP," ujar Lia dengan nada pelan. Lia masih menunduk menyembunyikan kegugupannya.

Setelah berhasil menetralkan perasaannya, Nahda sedikit menatap Lia untuk menjawab permintaan maaf dari Lia.
"Kamu nggak salah. Harusnya aku yang salah," jawab Nahda sambil tersenyum tulus pada Nahda. Sedangkan Lia masih sedikit menunduk, seraya merasa bersalah atas perilakunya selama ini.

"Bukan, di sini aku yang salah. Aku terlalu percaya begitu saja tanpa penjelasan apapun dari kamu. Dan bodohnya aku percaya saja sama Ana, yang jelas-jelas bukan sahabat dekatku. Tapi aku sudah tahu alasannya Ana Li, aku sudah tahu semuanya Li. Aku sudah tahu kenapa kamu menyembunyikan fakta yang sebenarnya," jelas Lia. Dilihatnya Lia menghembuskan napas dengan kasar, pertanda dia sedikit gelisah.

"Kamu tahu dari mana Li?" tanya Nahda sedikit terkejut atas penuturan dari sahabat kecilnya. Seingatnya tidak ada yang tahu masalah tersebut selain Nahda dan Ana.

"Aku tahu dari sepucuk surat yang ada di tasku da. Pasti itu surat dari kamukan?" ucap Lia sambil menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh, diselingi senyuman yang menghiasiasi wajahnya.

"Iya itu surat dari aku, tapi aku dapat dari Ana. Katanya untuk kamu. Aku baru menemukan waktu yang pas, jadi aku baru bisa ngasih ke kamu. Maaf yah Li." Nahda sedikit menunduk, menyembungikan genangan air mata agar tidak lolos dari tempatnya.

"Justru aku yang minta maaf dan aku sangat berterima kasih padamu da. Berkat kamu aku tahu semuanya, aku tahu dari isi surat yang di tulis Ana di situ. Aka tahu ternyata kamu tidak salah, aku terlalu egois,  aku menyesal telah menuduh kamu." Lia menunduk, genangan air matanya tak mampu dia pertahankan.
"Harusnya kamu bisa ngasih surat itu dari dulu, jadi kita tidak salah paham sampai sekarang."

"Maaf Li, bukan begitu, aku juga tidak tahu isinya. Tapi aku takut kalo persahabatan kita jadi tambah renggang, jadi aku tunggu waktu yang pas untuk ngasih surat itu ke kamu," jelas Nada. Cairan bening yang sudah lolos dari tempatnya mengalir di pipinya yang mulus.

"Iya Nggak apa-apa, aku ngerti kok, yang penting sekarang kita udah tahu kejelasannya. Kamu mau kan maafin aku?" Lia meminta maaf atas kesalah pahaman yang terjadi selama ini.

"Tentu, aku maafin kamu. Aku sudah maafin kamu jauh sebelum kamu minta maaf," jeda sebentar. "Aku juga minta maaf yah, harusnya aku ngasih surat itu dari dulu. Tapi aku terlalu pengecut," ucap Nahda dengan suara pelan.

"Sudahku bilang itu bukan salah kamu. Di sini aku yang salah. Sudahlah jangan melo-meloan gini, jadi kelihatan cengengkan," ujar Lia sambil diselingi senyum bahagia.

"Iya yah. Kita itukan perempuan strong. Masa kita nangis kaya gini yah," ujar Nahda sambil menyeka air matanya. Lia hanya terkekeh mendengar penuturan dari Nahda.

"Kita tetap sahabatkan? Permasalahan kemarin, kita jadikan sebagai proses kita menuju pendewasaan, itung-itung kemarin itu proses kita untuk naik satu level lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya," ucap Nahda dengan senyuman dan tetasan air mata bahagia.

"Iyalah kamu tetap sahabat terbaik aku sampai kapanpun. Terima kasih Nahda, kamu sahabat aku yang paling sabar. Sekali lagi maafin aku yang sudah begitu jahat padamu." Mereka berdua akhirnya berpelukan, melepas rindu yang selama ini mereka pendam.

Persahabatan mereka tidak akan terlepas begitu saja jika mereka sudah saling percaya, justru mereka akan saling mencari kebenaran dibalik kebenaran untuk mengungkap fakta sebenarnya.

***
Assalamualaikum. Wr. Wb
Hai teman-teman....
aku updet cerita nih,  semoga kalian suka. 
Punten kasih masukan yah jika ada yang mengganjal.
Jangan lupa kasih vote dan komment nya.
Terimakasih
Selamat membaca

My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang