6. Mendapat Secercah Harapan

45 19 3
                                    

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Karena itu, bila kau telah selesai (mengerjakan yang lain) dan kepada Tuhan, berharaplah (Q.S Insyirah: 6-8).

***

Nahda Pov

Sesampainya di rumah Nahda langsung membersihkan badan, dilanjut sholat Asar.

"Nahda? Kamu udah selesai nak?" teriakan lembut mama di depan pintu kamarku.

"Iya sudah ma. Masuk aja!" jawabku.

"Kamu sedang apa sayang?" tanya mama sambil mendekatiku.

"Aku baru saja selesai ma, tumben mama ke kamar. Bentar lagi juga Nahda keluar mau makan," ujarku pada mama.

"Apa kamu baik-baik saja sayang?"

Deg

Pikiranku teringat kejadian di kelas tadi. "Apa jangan-jangan mama tahu?" hatiku hanya menerka-nerka.

"Apa maksud mama? Nahda nggak ngerti?" Aku berusaha untuk tenang, tidak menampakkan raut kegelisahan.

"Mama tahu, kamu sudah bersahabat dengan Lia dari kecil. Nggak mungkin kalian melepaskan begitu saja bukan?" Pertanyaan mama mampu membuatku bungkam seribu bahasa.

"Aku baik-baik saja kok mah dengan Lia." Aku membuat alibi, menutupi kejadian yang asli. Meskipun sebulir cairan bening telah menggenang di mataku.

"Sudah nggak usah bohong, kelihatan dari raut mukamu sayang. Dan mama tahu ini dari mamanya Apriliana."

Deg

"Tante Mira bilang ke mama? Apa yang terjadi? Apakah Lia sudah menceritakan semuanya pada tante Mira?" batinku.

"Iya, mamanya Lia, tante Mira. Tadi siang datang kesini. Menjelaskan semuanya kepada mama."

Aku kaget bukan main mendengar pertuturan dari mama, sejauh itukah permasalahanku dengan Lia hingga melibatkan orang tua. Ya, memang semenjak persahabatanku renggang dengannya yang hampir satu tahun ini, Lia sudah tidak pernah main lagi ke rumahku. Biasanya seminggu sekali dia akan menyempatkan waktu untuk sekedar singgah di kamarku, atau ikut numpang makan sehabis pulang sekolah karena ajakanku. Dan mama pun pernah menanyakan beberapa kali, kenapa Lia sudah jarang main ke rumah.

Aku langsung memeluk mama menumpahkan segala keluh kesahku yang sudah lama dipendam dengan tangis yang pecah.

Mama mengelus puncak kepalaku. "Tente Mira bilang ke mama. Sepulang sekolah tiba-tiba Lia pulang dengan wajah sembab. Namanya orang tua pasti mengkhawatirkan anaknya bukan? terus setelah Lia tenang tante Mira berusaha menghibur anaknya, berharap mau menceritakan permasalahannya kepada mamanya."

"Lalu?" aku mendongak.

"Ya, Lia menjelaskan semuanya kepada mamanya. Kenapa kamu nggak bilang ke mama kalo kamu ada masalah?"

"Aku nggak mau merepotkan mama," ujarku dengan sesekali sesenggukan.

"Kamu nggak merepotkan mama sama sekali. Dengar mama!. Setiap masalah itu tidak boleh dipendam sendirian, kamu bisa menceritakan semuannya ke mama. Mama ini mamamu, mama akan selalu ada untuk anak-anak mama." Aku memeluk mama. Aku merasa bersalah karena secara tidak langsung aku nggak percaya pada mama.

"Maafkan aku ma. Aku nggak bermaksud seperti itu," jawabku di sela air mataku.

"Mama tau kok, tapi mama nggak mau anak-anak mama merasakan sakit sendiri. Mama ingin merasakan sakit anak-anak mama sakit mama juga, senangnya anak-anak mama senangnya mama juga. Mama ingin yang terbaik untuk kamu dan Adinda." Pernyataan mama membuat hatiku semakin merasa bersalah. Betapa beruntungnya aku punya mama.

My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang