4. Masih Peduli

56 35 8
                                    

Balaslah kebaikan dengan kebaikan begitu juga keburukan dengan kelembutan, karena manusia tidak berhak mencap seseorang entah itu baik ataupun buruk. Hanya Allahlah yang pantas menyeleksi dan mencap mereka

***

Nahda Pov

Tak terasa tahun ajaran lama akan segera usai. Aku akan masuk ajaran baru yang mana nantinya bukan lagi adik kelas namun berubah status menjadi kakak kelas. Di awal ajaran baru nanti, aku terpilih untuk lomba tilawahtil qur'an mewakili sekolah. Sebelumnya aku juga pernah menjuarai di bidang yang sama. Menurut mereka aku yang pantas untuk mewakilinya, selain karena aku bisa baca Al-Quran, tapi karena aku juga anak rohis yang tentunya tahu soal agama. Katanya.

Tapi itu hanya omongan mereka yang aku salin dalam bentuk tulisan, bukan salah aku, toh itu mutlak perkataan mereka. Aku hanya meniru untuk di jadikan bahan tulisan. Hehe.

Perkataan dari guru dan teman-teman bukan dijadikan kebanggan yang diagung-agungkan untuk diriku. Senang? Pasti aku merasa senang, tapi ya sewajarnya. Pujian demi pujian yang mereka lontarkan, aku jadikan sebagai tamparan bagaimana supaya aku bisa rendah hati, bisa mempertahankan kelebihan yang Allah titipkan dan yang selalu aku ingat padi saja yang semakin berisi akan semakin menunduk, manusia jangan mau kalah dengan padi.

Di sisi lain persahabatanku dengan Lia semakin menjauh. Aku berusaha untuk berbicara dengannya, tapi dia selalu saja menghindar. Namun berbeda untuk kali ini, aku bertemu dengannya di kantin sekolah.

"Mau kemana Li? Sini gabung!" Lia menoleh karena merasa dipanggil, dan Aqilapun menoleh untuk mengetahui keberadaan siapa yang dipanggil aku.

"Ooh ternyata situ tho, teman lama yang tak pernah menganggap sahabatnya ada," celutak Aqila dengan nada mengejek.

"Stttts kamu apaansih, jangan kaya gitu." Aku berusaha untuk menghentikan ucapannya, karena aku takut nanti Lia tersinggung.

"Nggak usah. terimakasih, aku bisa duduk di tempat lain," ucapnya dengan ketus, sambil mengalihkan pandangannya sembari mencari tempat duduk yang kosong.

"Nggak papa, sini gabung aja. Kebetulan kursi yang lain penuh. Di sini masih ada satu bangku kosong kok." Aku membujuknya supaya dia mau gabung. Masa iya makan harus berdiri? kan tidak mencerminkan Sunahnya Rasul dong kalau begitu...iya tho

"Tidak, terima kasih aku belum laper kok," jawabnya sambil berbalik badan untuk pergi.

"Udah terima aja tawarannya Nahda, nggak usah gengsi. Paling juga cacing-cacingnya bentar lagi bernyanyi," sambung Aqila dengan nada penekanan. Kelihatannya Aqila merasa geram dengan Lia.

Aku hanya menatap tajam Aqila untuk mengisyaratkan bahwa omongannya di rem sedikit, berbicaralah yang baik. Aqilapun akhirnya mengerti arti tatapan aku, akhirnya sementara dia diam.

"Maafin Aqila yah Li. Dia nggak bermaksud kaya gitu kok." Aku minta maaf mewakili Aqila karena tidak bermaksud menyindirnya. Aqila hanya memasang wajah datar, dia hanya diam tidak menanggapi ucapanku.

Detik selanjutnya, "Sini duduk aja bareng kita nggak papa kok, sekali kali."Aku tetap kekeh membujuknya.

"Udahku bilang aku belum la - " omongan Lia terhenti seketika. Sepertinya cacing-cacing di perutnya sudah tak sabar sehingga bernyanyi dengan merdu. Aqila tertawa lepas dengan apa yang didengar, sedangkan aku hanya menahan tawa supaya Lia tidak curiga dan tidak merasa malu.

"Hahaha tuh kan apa gue bilang. Lo sih terlalu gengsi dan cacing lo udah nggak sabaran ingin makan," perkataan Aqila membuat lia bungkam tanpa kata. Aku hanya melerai supaya tawa Aqila tidak berkelanjutan.

"Sudah-sudah Aqila. Ini bukan bahan untuk ditertawakan dan wajar kalo perutnya bunyi, karena ini sudah kelawat siang waktunya untuk makan siang," sambil menatap Aqila. "Sini nggak apa-apa, daripada kamu sakit perut. Kalo kamu telat makan kamu pasti sakit magnya akan kambuhkan?" ajakku dengan lembut.

Lia meremas ujung kerudungnya sedikit. Hal tersebut yang biasa dilakukan ketika dia bingung, malu, cemas dan grogi. Kelihatannya Lia sepertinya malu karena penolakan yang baru saja dikatakan. Namun, dengan wajah tertunduk akhirnya Lia mengangguk pertanda dia mau.

"Sini duduk di sini!" sembari aku mempersilahkan dia duduk di sampingku.

Lia hanya diam menundukan kepala mengikuti intruksi perkataanku.

"Kamu mau pesen apa?" tawarku padanya.

"Tuhkan akhirnya mau juga, tinggal bilang iya aja susah. Pake drama dulu lagi," omongan cewetnya Aqila yang keluar lagi.

"Sudah Aqila. Tuh di makan nanti malah dingin!" sambil menunjuk makanan di depan Aqila.

"Iya-iya maaf, habisnya aku greget sama tuh anak."

"Lia, maafin sekali lagi temenku yah. Jangan di masukin hati. Sebenarnya dia nggak seperti itu kok," ucapku lembut, berharap dia sedikit luluh.

"Terus aja dibelain," cerocos Aqila tanpa memandangku. Lia hanya sesekali mengangguk. Akupun sebenarnya sedikit canggung duduk di dekat Lia.

Kemudian setelah makanan kami semua sampai, kami mengahabiskan makan siang dengan hening. Hanya terdengar hiruk pikuk obrolan teman di bangku lain.

"Terima kasih sudah berbagi tempat," ucapannya. Lalu dia beranjak pergi begitu saja sebelum aku membalas ucapan terima kasihnya. Hal tersebut membangkitkan rasa kekesalan kembali pada Aqila.

"Huffftt... Nih anak, udah di tolong. Main pergi aja lagi."

"Sudah, nggak baik mengumpat orang. Nanti Allah catat umpatanmu itu. "

"Astaghfirullohal'adziim... Maaf ya Allah." Aqila menyesal atas umpatannya tadi.

"Makasih ya da, kamu sudah mengingatkanku," senyum Aqila terbit dengan manis.

"Iya sama-sama, kan namanya teman harus saling mengingatkan tentang kebaikan."

"Kamu tuh baiiiiik banget. Udah dijahatin, dicuekin, tetep aja kamu berbaik hati dengan dia. "

"Lah terus mau diapain?" jawabku sekenanya.

"Ya kamu bales sesekali dengan tegas kek, supaya dia tidak seenaknya jahatin dan cuekin kamu," penegasan Aqila.

"Tidak ada yang berhak memberikan penghakiman sepihak bahwa dia salah atau benar. Kita cukup membalas dia dengan kebaikan. Karena kebaikan akan meluluh lantahkan semua keburukan. Bersikaplah jujur dan terus berdoa yang terbaik untuk teman kita. Biarkan semuanya menjadi urusan dia dengan Sang Pencipta. "

Di lain tempat, ada sepasang mata yang diam-diam memperhatikan mereka. Namun, tampak guratan penuh tanda tanya, dengan senyum yang sulit diartikan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu maksud dari tatapan dan senyumnya itu.

***

Assalamualaikum.Wr.Wb.

Hari ini saya updet cerita part berikutnya. Semoga kalian suka ceritanya dan yang belum membaca, ayo mampir ke cerita saya. Cerita saya terbuka bagi siapa saja. hehe

kalau mau kasih saran, saya In Sya Allah menerimanya dengan terbuka. Mohon maaf juga apabila menemukan kesalahan dalam penulisan. Terima kasih.

jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan comment yah.

Selamat membaca

semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya. Amiin...

My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang