D U A

51 9 0
                                    

Senin.

Mungkin bagi semua orang hari senin adalah hari yang paling membosankan, dengan upacara dipagi hari apalagi ditambah pelajar fisika setelahnya.

Tapi, berbeda denganku. Aku suka sekali hari senin, hari yang selalu cerah, hari dimana semua siswa akan berbaris rapih dan menghindari kata telat. Aku selalu menunggu hari senin, apapun alasanya aku mencintai hari senin.

Pagi ini aku berangkat pagi sekali bersama Jani. Jani menitipkan tasnya padaku. Sepertinya Jani langsung pergi ke perpustakaan, katanya dia akan menumpang wifi dan mengunduh beberapa anime kesukaanya.

Hari ini bagianku piket kelas.
Aku masuk kelas menyimpan tasku dan Jani. Setelah itu aku langsung mengambil pel-an dan penyemprot kaca di bagian belakang kelasku.

Aku menyemprotkan semprotan kaca yang kubawa ke lantai koridor depan kelas hingga terlihat basah, lalu ku usap dengan kain pel. Begitulah caraku mengepel, praktis dan tidak usah ke toilet untuk membawa air di ember.

"Eh calon, pagi pagi udah ngepel aja. Bikin gatel deh," Dion berdiri didepan pintu. Lelaki bermata sipit itu senang sekali menggoda dan mengejekku.

Aku melihat kearahnya, Dion sedang tersenyum —sok manis. Matanya membentuk bulan sabit dan lesungnya terlihat. Seakan ia memamerkan kelebihanya itu.

"Calon gua orang waras. Lu mah calon pembokat gua, cin."

"Tapi baginda, Bapak Haris apa kabar?"

Selalu saja. Dasar cina gosong. Fyi,  Haris adalah nama Ayahku tercinta. Lebih tepatnya Haris Nugraha.

"Begitulah, masih memberi saya pen-didi-kan." sengaja ku tekan pada kata didi, yang merupakan nama ayah Dion.

"Bersiap-siaplah baginda."

"1"

"2"

"3"

"H-A HA R-I RI TAMBAH S."

"HAAARRIISSS!"

Si cina itu, kurang ajar. Ia berteriak dari lantai 2 dan ia arahkan teriakan itu ke bawah lapangan. Lantas siswa siswi yang mulai berdatangan tertawa geli.  Begitupun dengan cina dekil itu, ia bahkan terpingkal-pingkal. Mereka sudah terbiasa dengan ulah Dion.

"KURANG AJARRR."

"DIIIIIDIIIII."

Setelah meneriakkan itu, aku menghela nafas. Segera menyelesaikan tugas piket ku. Lalu setelah selesai aku berteriak kembali.

"COBLOS NOMOR 2, DIIDIII KUSNANDAR TEMAN-TEMAN." Urat malu pada diriku lepas jika sedang seperti ini. Tak perduli bagaimana tatapan orang kepadaku.

Dion hanya diam dan tersenyum aneh kepadaku. Sepertinya ia siap menerjangku. Aku pun Bersiap-siap, waspada akan terjangan yang akan Dion arahkan padaku.

"KAHIME KIMI HIMEEEE. CIDOOORIII!"

Sialan.

Benar saja, aku berjalan mundur dengan ketakutan. Dan-oh tidak!
Aku menginjak kaki seseorang.

"Ck, mata lu di leher?" Lelaki sawo matang itu, Arizano. Yang kemarin sengaja melempar botol minuman ke kepalaku.

"Di bool frozen noh, mata dia mah jan."

Dion tertawa renyah, sambil mencolek- colek pinggangku. Kutepis tangannya lalu ku tatap dirinya dengan tajam, mengisyaratkan bahwa aku memintannya untuk diam.

"Eh, maaf." Hanya itu yang bisa aku katakan. Canggung, itu rasanya. Padahal tadi saat bersama Dion seakan aku kehilangan urat malu.

"Kayanya pernah liat lu deh, lu yang waktu itu ketimpuk botol aqua kan?"

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang