S E P U L U H

11 1 0
                                    

Akhirnya aku dan Arizano pun sampai. Selama di mobil keheningan pun terjadi. Aku yang tidak mood untuk sekedar berbicara dan Arizano yang mungkin terlalu antusias untuk bertemu Rinjani. Oke stop, aku tidak boleh terus-terusan berburuk sangka dan julid seperti ini.

Aku melihat Rinjani tengah asik bermain ponselnya tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Kukira ia sudah masuk ke dalam Burger King, ternyata masih disekitarnya. Tanpa memperdulikan Arizano lagi aku langsung menghampiri Rinjani. Membuat topeng di wajahku. Ku enyahkan semua pikiran burukku tentang Rinjani.

"Janii! Lama yaa?" Kataku.

Jani pun mendongak, setengah kaget melihat kehadiran Arizano. "Tidak terlalu." Rinjani pun menggandeng tanganku memasuki tempat makan favorit kami berdua ini. Dia seperti menghindar dari Jano.

"Ih Jani, kok Jano ditinggal sih!" Akupun menggandeng tangan Jano. Tidak peduli lagi dengan jantungku yang berpacu lebih cepat. Aku melakukan kontak fisik dengan Arijano. Tanganku dan tangannya bersentuhan secara langsung dan aku sadar penuh atas kejadian ini.

Ini aneh. Jani berada di sisi kanan ku dan Jano berada di sisi kiriku. Tangan Jani menggenggam tangan kanan ku dan tangan kiriku masih mengenggam tangan Jano yang tiba-tiba terasa dingin. Entah memang Jano yang gugup atau aku yang sebenarnya gugup. Kulirik Jani, perempuan berkulit putih pucat ini tengah melihat-lihat orang-orang yang tengah makan disebelahnya. Lalu ku alihkan bola mataku pada Jano. Ini membuatku sakit, jelas Jano tengah melirik diam-diam ke arah Jani. Aku tau gelagatnya. Ia ingin berbicara dengan Rinjani namun seolah aku menjadi penghalang. Aku tak tahan lagi.

"Jan," Panggilku kepada Rinjani, tapi ternyata dua-duanya lah yang menengok. Setelah itu mereka saling berpandangan dan membuangnya setelah itu. Sungguh, mereka seperti sedang pendekatan. Mengapa rasanya sesakit ini. Semakin aku mencoba untuk membuang perasaan curiga dan sakit ini, maka semakin jelas pula kenyataan yang terpampang jelas dimataku.

"Ehm, gua kebelet pipis. Bentar doang kok. Tunggu di tempat biasa aja. Jano, ikutin Jani aja ya sekalian kenalan. Siapa tau cocok."

"Dih, udah sana. Ati-ati diculik om-om!"

"Heh! Gapapa diculik om-om daripada sama lu mah!"

Tidak, sebenarnya bukan itu yang seharusnya ku katakan. Lebih baik diculik om-om daripada harus sakit karena melihat gebetanku yang tengah curi-curi pandang kearah temanku sendiri. Aku tidak benar-benar kekamar mandi. Aku hanya ingin melihat apa yang sebenarnya ingin Jano lakukan pada Jani. Aku bersembunyi dari mereka dan memperhatikan interaksi mereka berdua. Dan ketika mereka sampai pada tempat biasa aku dan Jani duduk terlihat Arizano mulai membuka pembicaraan.

Aku tak tahu apa yang Arizano bicarakan dengan sahabatku. Yang jelas terlihat Jano tengah memperlihatkan sesuatu di ponselnya. Dan respon dari Jani hanya dahi yang mengernyit. Lalu, Jani menghela nafas berbicara singkat dengan wajah seriusnya. Arizano hanya diam. Wajahnya seperti tegang dan tak terdefinisikan. Setelah itu mereka sibuk pada kesibukkan masing-masing. Entah benar-benar sibuk atau hanya menyibukkan diri saja.

Aku pun menghampiri mereka.

"Lama banget, abis berak kali. Bilang aja si," Arizano menyengir kecil, wajahnya terlihat sumringah. Sangat berbeda saat dengan Rinjani tadi.

"Ngantri tau, enak aja!" Balasku, lalu aku duduk dan bingung harus bagaimana. Hening terjadi.

"Jani belom pesen makan?" Tanyaku.

Rinjani pun hanya menggeleng. "Pesan seperti biasa aja." Setelah mengatakan itu ia kembali fokus dengan ponselnya.

"Lu, mau apa? Mau samain juga?" Tanyaku menghadap ke arah Jano.

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang