E M P A T B E L A S

13 1 0
                                    

Canggung, Hening.

Itu adalah gambaran suasana di mobil saat ini. Aku tak tahu harus bagaimana. Jujur, dalam hatiku masih sedikit cemas dan khawatir perihal kejadian Arizano dan Jani di cafe tadi. Apakah mungkin diam-diam Rinjani dan Arizano saling berhubungan? Tidak mungkin!

Sahabat macam apa aku ini yang selalu berburuk sangka pada sahabatnya sendiri. Bukannya tak mau mencari tahu, namun aku hanya takut nanti malah jadi salah paham.

Aku melirik ke arah perempuan dengan kulit putih pucat disampingku ini, lalu menghela nafas tanda aku benar-benar sudah hampir menyerah dengan keadaan canggung ini.

Akhirnya ku beranikan untuk mengeluarkan suaraku, "Janiiiii." panggilku pelan. Rinjani hanya meresponnya dengan dehaman. Sungguh memusingkan. Tapi setidaknya dia mau menjawab, tandanya ia masih mau mendengarkan ku. Mungkin, semoga saja.

"Jan, tadi itu kamu cuma salah paham."

Kucoba untuk menjelaskan dengan pelan. Namun, hanya lirikan sekilas dari Rinjani yang kudapat. Aku tak akan menyerah kali ini. Bagaimanapun kesalahpahaman harus segera diluruskan.

"Jan, dengerin dulu, pliss. Dengerin yaaa?" Tak ada jawaban.

"Jan," panggil ku lirih.

"Hm," Itu suara Rinjani. Terlihat tidak minat untuk membicarakan hal ini. Tetapi aku tetap berniat untuk menjelaskannya.

"Jan, tadi Dion cuma bercanda. Pas kamu pergi dia baru bilang kalau dia cuma bercanda nembak aku kaya gitu. Lagian mana mungkin dia suka sama aku yang jelek kaya gini. Lagian aku yakin kalo dia tuh udah ada rasa sama kamu, please Jan ini gak kaya yang kamu liat. Yang tadi kamu liat itu cuma setengahnya, belum sampai akhir. Kalo kamu mau, aku gabakal ngomong atau kenal sama Dion lagi deh,". Jelasku dengan ekspresi serius kali ini.

Tak ada respon. Hanya ekspresi datar yang kulihat, seakan ia tak mau duduk disampingku dan dalam kursi mobil yang sama denganku. Sakit hati memang. Seakan dia menutup kuping dan tidak mau mendengar penjelasanku sama sekali, bagaimana pun aku ini sahabat lamanya kenapa tiba-tiba dia seolah tuli dengan semua penjelasan dan pembelaanku hanya karena lelaki?

"Jan, percaya aku. Lagian ga aku terima juga." Kataku lagi.

"Kenapa tida diterima sekalian saja?" Ekspresinya berubah. Alisnya ia angkat seakan menantang. Jelas, aku tersulut emosi. Aku hanya tak percaya bahwa Jani akan separah ini hanya karena urusan lelaki yang bahkan belum benar kejelasannya.

"Jan, maksut kamu?"

"Entah." Itu kalimat akhirnya. Ia mengedikkan kepalanya, lalu membuang wajahnya menghadap kejendela mobil, melihat kendaraan yang lalu lalang dengan tatapan kosong. Aku tak mengerti dengan pola pikir perempuan yang sudah sejak lama menjabat sebagai sahabat terbaikku ini. Apakah sesusah itu untuk percaya dan memaafkanku.

Akhirnya kami kembali hening. Perjalanan masih lumayan jauh. Aku jenuh, jengkel, dan jengah. Harus bagaimana lagi agar Rinjani mau percaya dan mendengarkan perkataanku.

"Aku tau kamu berbohong." Aku menoleh. Terkejut dengan penuturan tiba-tiba Rinjani. Sekarang, perhatiannya sepenuhnya terarah padaku. Dengan ekspresi datar dan tatapan mengintimidasi. Mengapa Jani terlihat seperti pemeran antagonis.

"Bohong apasih? Aku cerita jujur, apa adanya, gak dibuat-buat. Terserah kamu mau percaya apa enggak. Sebut aja aku sahabat yang jahat sekalian biar kamu puas!" Entah apa yang merasukiku sampai aku berani berkata demikian. Aku reflek menundukkan kepalaku setelah menyadari apa yang aku katakan. Tak peduli apa yang pak supir pikirkan tentang kami berdua.

"Kamu memang sahabat yang jahat." Katanya dengan ringan. Aku menegakkan punggungku dan mendongakkan kepalaku secara refleks. Apa tadi? Sahabat yang jahat? Lalu bagaimana dia yang diam-diam chattingan bersama gebetan pertamaku?

"Jahatan mana yang nikung sahabatnya sendiri dari belakang." Kataku dengan nada mengejek. Tatapanku menjadi sinis. Senyum tersungging dibibirku.

"Maksud kamu?"

"Kamu pikir aku ga tau? Kamu chattingan sama Arizano tepat didepanku." Ceplosku. Biarkan saja, aku tak sudi meminta maaf sekarang.

Ekspresi Jani tetap datar, namun aku tau dia terkejut dengan perkataanku barusan. Namun, segera ia netralkan kembali ekspresinya. Hah! Munafik!

"Menuduh?" Katanya. Alisnya ia angkat lagi, sungguh menyebalkan.

"Fakta." Balasku cepat.

"Bukti?"

Sial, apakah ia mencoba mengalahkanku.

"Ya gausa bukti lah. Semua orang juga bakal tau kalo diposisi gua. Lo berduaan dikelas sama Arizano, lo pikir gua gatau?"

Tak perduli bahasaku yang kembali menggunakan 'lo-gue' daripada 'aku-kamu'. Tak ada respon darinya. Ia hanya diam. Membisu. Merasa belum cukup, kulanjutkan lagi apa yang kurasa cukup untuk menjadi bukti!

"Tadi di cafe Arizano typing dan setelah dia pencet send saat itu juga handphone lu nyala, tanda notif masuk. Lo pikir dengan gitu pikiran gua cuma bakal bilang kebetulan?"

"Cih, mengintip."

"Gausah ngalihin topik deh. Sama-sama penikung aja. Bedanya gua gapake drama. Gak kaya lu yang menyek-menyek. Dan satu lagi, gua bener-bener gaada hubungan apapun sama Dion kesayangan lu itu. Gua cuma temen sama dia gak lebih. Gua gak akan ngerebut apa yang udah diincer temen gua. Apalagi sampe mepet dibelakang." Aku sudah tersulut emosi terlalu jauh saat ini. Tak bisa mengontrol apa yang akan kukatakan. Biarkan saja.

Jani hanya diam. Tak lama mulut pedasnya itu kembali bersuara. "Penuduh, kamu tidak tau apa-apa." Setelah itu ia kembali menghadapkan kepalanya kearah jendela mobil.

Memang aku tak tau apa-apa. Karena ia terlalu pintar sembunyi dibelakang. Bermain tanpa sepengetahuanku. Dan seenaknya menuduhku yang tidak-tidak.

"Jelas gua gak tau apa apa, gimana mau tau orang lo nya aja main dibelakang gua. Mainnya alus tapi nikungnya kenceng banget."

"Aku masih menerima permintaan maafmu nanti, dadah."

Tanpa kusadari aku sudah sampai dirumah. Memang rumah kami searah, jadi aku bisa turun duluan lalu tujuan akhirnya rumah Jani. Aku hanya mendengus, terlalu kesal dan membuka pintu lalu menutup dengan membantingnya. Tak lama mobil yang ditumpangi aku dan Jani tadi pun sudah pergi.

Aku masuk kerumah dengan perasaan dongkol. Sangat muak rasanya. Kecewa dan marah campur aduk dalam hatiku. Mengapa Rinjani begitu tega. Selama 17 tahun kita bersahabat kita tidak pernah bertengkar sehebat ini. Sekali bertengkar pun hanya tidak saling berbicara, bukan beradu argumen seperti tadi.

Lalu, aku teringat perkataan Rinjani tadi. Tentang aku yang tidak tahu apa-apa. Apa yang sebenarnya aku tidak tahu?

Aku tidak tahu bahwa Rinjani sudah berpacaran dengan Arizano?

Atau aku tidak tau bahwa Arizano sudah sering mengapel ke rumah Rinjani? Atau sebenarnya Rinjani juga ikut tertarik pada Arizano sehingga ia menggebetnya juga?

Entahlah, memikirkannya membuatku begitu pusing. Biarkan saja berlalu. Yang jelas saat ini aku sedang tidak mau diganggu oleh siapapun. Aku ingin menyendiri, merenungi kisah cinta sekaligus pertemananku yang perlahan hancur. Hingga tak sadar, air mataku mulai menetes. Melampiaskan semua amarah dan kecewa yang kupendam sejak tadi.

Mengapa kisahnya menjadi seperti ini. Aku kira semuanya akan baik-baik saja. Ternyata untuk melakukan double date itu hanya khayalanku semata. Karena kenyataan tak seindah ekspetasi.

Hingga ponsel ku berbunyi. Menandakan satu panggilan masuk. Itu dari Arizano.

______________________________________________
HAIII
AKU YANG APDET SETAUN SEKALI HAHAHA
HOPE U ENJOI DAN MAKASIH BGT YANG UDH MAU BACA🥺👉👈

Kalian staysafe terus yaa!!
LOV UUU

Senin, 21 Juni 2020.


















FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang