T U J U H

20 3 0
                                    

Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya. Entahlah, padahal kemarin malam aku tidur lebih lambat dari jam tidurku biasanya karena menunggu Jani dan Dion bersenang -senang  di pasar malam itu. Tapi tak apa. Setidaknya aku pun menghabiskan waktu seperempat malamku bersama Arizano. Bersama dengan lelaki itu aku mulai mengerti rasa nyaman yang benar-benar lebih dari sekedar rasa pada seorang teman. Mulai kemarin malam sudah kutegaskan bahwa aku memang jatuh cinta pada lelaki berkulit sawo matang dengan senyum menenangkan itu.

Aku bersiap menuju sekolah. Setelah itu turun kebawah untuk sarapan bersama Ayah dan Bunda. Mereka sudah ada disana, duduk sambil mengobrol untuk menungguku.

"Eh anak gadis ayah, sekalang udah natal udah pacal-pacalan ya," Ayah berucap seperti anak kecil sambil menerima piring dari Bunda. Dan jangan lupakan senyum mengejeknya itu.

"Apa deh yah, kan Shifa cuma temenan." Aku merengut. Agak meringis saat mengucapkan bahwa aku dengan dirinya hanya berteman biasa.

"Wah kamu baik banget ya sebagai teman. Sampe mau ngelawan phobia sendiri biar bisa boncengan sama temennya. " Kali ini bundaku. Mereka ini kenapa sih? Ayolah ini masih terlalu pagi untuk menggodaku.

Tak menghiraukan ejekan ayah dan bundaku. Aku hanya diam dan berpikir. Apakah Rinjani akan menjemputku untuk datang kesekolah bersama? Atau dia masih marah perihal kemarin.

Jika kalian ingin tahu, ternyata kemarin Rinjani dan Dion hanya diam didepan pintu gerbang pasar malam dan diam menunggu aku dan Arizano sampai kesana. Kukira mereka akan langsung bersenang-senang dan menjajal semua permainan maupun jajanan yang ada disana. Mengingat betapa berisik dan tak bisa diamnya Dion. Sungguh mereka itu terlalu kaku!

Tapi, sebenarnya bukan karena aku yang tak segera kesana Rinjani ngambek kepadaku. Dia merajuk karena aku berbohong padanya tentang aku yang kumat. Saat ku tanya darimana dia tau jika aku sedang kumat, ternyata dia mulai curiga saat Arizano yang menjawab panggilan darinya. Yah, dia memang tau jika aku sedang kumat, maka aku tak akan kuat berbicara banyak atau aku akan bertambah mual dan pusing. Setelah panggilan dimatikan, ia langsung mengajak Dion untuk kembali kerumahku.

"Shiff!" Aku terkejut. Mendongak ayah dan bundaku sedang menatapku. Aku mengangkat alisku, mengernyit tak mengerti.

"Ya ampun neng, temennya gausah dipikirin gitu. Noh, ada Rinjani si kalem, si adem ayem." Mendengar ayah berbicara seperti itu aku pun mengerjap sadar. Ayah memang sangat suka dengan kepribadian Rinjani yang diam,tak banyak omong, dan sangat sopan serta santun. Ku tolehkan kepalaku kearah gerbang depan. Benar saja! Sudah ada mobil Rinjani disana.

Karena terlalu senang, aku melompat mengambil tasku. Segera berpamitan dan memakai sepatuku secepat kilat.  "DADAH AYBUN, SYIFA MAU BERANGKAT MENCARI ILMU DAN PANGERAN SEJATI. ASSALAMUALAIKUM. SHALOM. SHAWADIKAP." Tak peduli apa yang kukatakan kepada kedua orangtuaku, mereka hanya menggeleng heran sambil melihat aku yang berlari kearah luar gerbang. Jani sudah menungguku dikursi kemudinya, aku langsung membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya.  Keadaan didalam mobil pun hening.

"AAAA, JANIKU. BAIK BANGET SIH," Kupeluk Jani yang membalas pelukanku. Jani tak berkata apapun. Setelah pelukan dilepaskan dia kembali fokus dan menyalakan mesin mobil. Sepertinya Jani sedang ada masalah. Entahlah, ikatan batin mungkin. Karena ekspresi Jani selalu seperti itu. Diam lurus dan tak terusik.

🌼

Hari ini sekolah berjalan seperti biasa. Tak ada yang aneh. Selain Rinjani yang terus melamun. Entah apa yang perempuan pendiam itu pikirkan, kalaupun kutanya ia hanya menggeleng lalu membuang pandangannya.

Bel pulang sudah berbunyi tapi aku masih belum diperbolehkan pulang. Aku harus berlatih mengenai lomba fashion show bersama Dion. Dan, latihan tidak selesai daritadi hanya karena Dion yang terus saja bercanda.

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang