E N A M

25 4 4
                                    

"Pegangan,"

Aku tersentak, melihat Jano yang sudah menolehkan kepalannya kearahku. Karena takut diledek oleh Dion, akupun menolehkan kepalaku kebelakang mengecek keadaanya. Ternyata Dion dan Jani sudah berangkat terlebih dahulu.

Sontak dengan malu-malu aku pun merentangkan tanganku kepundak lelaki sawo matang ini, seperti biasa jika aku dibonceng oleh Dion.

Pundaknya pun bergetar menandakan bahwa ia sedang tertawa, sebenarnya apa yang sedang ditertawakan oleh si Kapten Futsal ini?

"Lo kira gua tukang ojek?"

"Lah? Kan suruh pegangan. Kalo sama Dion juga biasanya gitu,"

"Itu sama Dion, kalo sama gua pegangannya disini." Tanganku ditarik menuju pinggangnya, bisa kurasakan harum di badan tegapnya. Pipiku merona. Jiwa ambyarku meronta.

"Modhus kau kerdus!" Ketusku, tak ayal tanganku tetap dipinggangnya. Jano pun menginjak pedal gasnya. Selama motor hatiku was-was takut-takut aku tak kuat menahan ketidaksukaanku terhadap angin.

Ditengah jalan pada malam hari, motor Jano terus bertambah kencang. Aku mual, tubuhku berkeringat, bibirku pucat dan jantungku berdetak tak teratur. Tak kuat, kutarik tanganku dari pinggangnya untuk menutupi wajahku. Yang jelas, aku ketakutan sekarang.

Bisa kurasakan motor menepi ke depan perukoan. Kujauhkan kedua telapak tanganku dari muka. Tak berani menampakkan wajahku yang pucat, aku hanya bisa menunduk.

"Shif, lo pucet. Kita balik aja ya?"

"Hah? Gamau ah lanjut aja. Gua lagi pengen sosis bakar!" Kucoba bersuara senormal mungkin walau akhirnya yang keluar adalah suaraku yang bergetar.

"Ck, bisa gua beliin. Udah ya pulang? Nanti gua telpon Dion sama temen lo itu juga biar balik lagi."

"Gamau. Pengen ke pasar malem!" Kali ini aku membentak. Entahlah, tubuhku diluar kendali. Aku pun tak sadar mengapa aku begitu ingin pergi ke tempat yang ramai dan dipenuhi permainan itu.

"Kenapa sih, ngotot banget pengen ke pasar malem? Hm?"

Aku pun salah tingkah. Terkejut harus menjawab apa karena aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama lelaki ini.

"Kan pengen sosis bakar, pengen naik kora-kora juga sama kincir angin juga." Jawabku dengan bibir mengerucut, dia menghela nafasnya. Naik ke motornya kembali. Lalu menyalakan mesin motornya.

"Ayo naik. Kalo ada apa-apa bilang, peganganya yang kenceng." Katanya. Aku tersipu, mengapa dia begitu perhatian sekali. Aku hanya mengangguk lalu segera naik ke motornya. Penglihatanku buram, kepalaku pusing, rasa mual terus mendera. Tak kuat menahan semua ini lagi, aku pun mengerang hingga akhirnya terjatuh ditanah. Aku menyerah.

Arizano panik, ia membopongku untuk dibawa kearah tempat duduk dipinggiran ruko. Dia mengambil ponselnya, kutebak dia sedang memesan grab car. Lalu masuk kesalah satu minimarket terdekat.

Sembari menunggu, aku menggosokkan kedua tanganku setidaknya agar badanku hangat. Aku tersentak. Tiba-tiba ada jaket menyampir dibahuku. Harumnya persis seperti lelaki disampingku ini. Aku menatapnya, ia tersenyum. Perasaan lega menghampiriku. Entah mengapa, rasanya sangat nyaman.

Tak lama, driver yang tadi dipesan Arizano pun datang. Aku segera masuk ke mobil dipapah oleh lelaki berbadan tegap ini. Aku mengernyit melihat ia ikut masuk mobil. Namun, tak mau ambil pusing akupun hanya diam. Biarlah terserah ia saja.

Aku merasa sangat kecewa. Kukira akan jadi malam yang indah, dengan memakan aromanis bersama dan menaikki kincir angin ditengah keindahan malam. Tapi tidak apa, setidaknya Jani dan Dion sedang bersama berdua sekarang. Biarlah mereka bersenang-senang dahulu. Tanpa tau dan khawatir apa yang sedang terjadi padaku. Toh, ini bukan masalah yang serius.

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang