E M P A T

33 4 3
                                    

Aku hanya menghela nafas pasrah. Pasti akan memalukan sekali dan tentunya malas sekali.

"Lalu untuk lelakinya siapa yang bersedia?"

"Saya pak!"

Aku terkejut mendengarnya. Melirik kearah perempuan disampingku. Rinjani hanya terdiam, seolah tak mendengar perkataan Dion barusan.

"Kamu yakin Dion? Bapak kurang percaya sama kamu,"

"Percaya sama saya pak, kunci hubungan itu kan percaya sama komunikasi."

Pak Saepudin hanya menghela nafas pasrah, lalu memandang kesemua anak kelas. "Gimana semua? Setuju Dion yang mewakilkan kelas kita?"

Kulihat semua hanya mengangguk karena tak mau nanti malah mereka yang harus mewakilkan kelas. Kecuali satu orang, perempuan disampingku. Tetap diam bergeming hanya menatap lurus kedepan. Mungkin dia masih lapar, entahlah aku tak mau pusing memikirkannya. Toh, dia sudah seperti itu dari lahir. Aku menghela nafas pasrah. Siap dipermalukan oleh si cina gosong itu.

"Oke ya, fix. Hafalkan materi untuk kuis dan persiapkan diri kalian."

"Pak, saya mau ngundurin diri aja."
Aku masih tak menyerah, mencoba membujuk bapak berjenggot didepan kelas.

"Tak bisa, sudah fix. Sekarang buka buku kalian."

Aku pun memulai pembelajaran seperti biasa. Tak ada semangat pada pembelajaran bahasa inggris ini. Saat ada pertanyaan, biasanya aku akan paling semangat mencari jawaban dan mengangkat tanganku untuk menjawab pertanyaan dari Pak Saepudin.

Tak lama bel pulang sekolah pun berbunyi, tak mau berlama-lama disekolah setelah guru keluar akupun langsung membereskan meja dan berdiri, bergegas pulang.

"Shif?"

"Hmm," Aku hanya berdeham saat Dion memanggilku.

"Shifaaaaaa," panggilnya lagi dengan nada yang dibuat-buat.

"Ck, apasih? Udah puas lo bikin gua badmood?" Tak peduli, aku langsung menyentak kearahnya. Kulihat wajahnya menegang.

"Ayo latihan, mau dimulai kapan?" Bisa ku dengar, ada nada ragu dalam ucapan Dion kali ini. Biar saja,  kali ini dia harus diberi pelajaran.

Aku menarik nafas pelan, mencoba menenangkan hati. "Nanti aja, masih lama ini, kan."

"Persiapan dari sekarang lah, cari materinya juga kan belom."

"Apaansih batu banget, nanti aja lagian kan wakt-"

"Duluan."

Saat aku berdebat dengan Dion tiba-tiba Jani berjalan keluar kelas tanpa menoleh sedikitpun kearahku dan Dion. Kenapa dia? Mungkin kebelet pipis. Sudahlah, aku sudah cukup kehilangan mood hari ini. Jangan paksa aku untuk memikirkan yang lain.

"Lah Jani kenapa?"

"Gatau, gua duluan."

"WOI SHIF! MAU KEMANA ANJIR.  PENGGARIS GUA LU MASUKKIN DI TAS LU." Dion berteriak sangat kencang walaupun jarak kita hanya beberapa meter. Dia di meja jajaran ke dua dan aku didepan kelas tapi dia berteriak seakan kita terhalau jarak sekian ratus juta kilo meter. akupun mendengus, walaupun tak ayal aku tersenyum melihat tingkat bodohnya. Ya ampun lihat, betapa mudahnya mood ku berubah. Seakan tak mau kalah, akupun berteriak lebih kencang untuk menanggapi ucapan lelaki berwajah Cina dengan kulit sawo matang itu.

"BESOK GUA BALIKIN YAELAH, PELIT AMAT. ORANG PELIT MATINYA GARA-GARA SEMBELIT."

Kulihat Dion tertawa keras dan bergumam kecil, yang kutebak dia sedang mengucapkan sumpah serapah kepadaku.

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang