S E M B I L A N

24 2 0
                                    

Akupun segera berlari menyusul Arizano dengan perasaan senang. Padahal entah sudah beberapa kali aku diantar pulang oleh Arizano, tapi jantungku terus saja berdetak tak karuan dengan perasaan senang yang membuncah. Bersama Arizano aku menjadi perempuan dengan pertahanan lemah. Iya, pertahanan untuk tidak bawa perasaan dan berharap lebih.

"AWWW, BUNDA MONYONG!" Aku terjatuh karena terlalu senang hingga aku menabrak tiang penyangga parkiran. Untunglah keadaan parkiran sedang sepi jadi aku tidak harus menanggung malu.  Semoga Arizano sudah masuk mobilnya, kalau belum aku tak bisa membayangkan betapa memalukannya diriku saat aku terjatuh dengan tidak anggun tadi.

Aku mencoba memejamkan mata, berharap pusing di kepalaku segera menghilang. Hingga aku merasa ada tangan menjambak rambutku. Ini benar-benar membuatku kesal.

"Utututu sayang, si cantik kejedot. Kepalanya makin peang. Cantik-cantik kok peang."

Itu Dion. Sedang tertawa terbahak-bahak melihatku menderita. Ah, untunglah. Yang melihatku menabrak tadi bukan Arizano kesayanganku. Dion belum memberhentikan tawanya, mata sipitnya itu kali ini berair dan tangannya yang mengusap-ngusap keningku itu sunggu menganggu!

"Ah ribet lo! Sakit tau." Aku mengerucutkan bibirku sebal.

"Yeee, itu mah derita lo! Udah ayok pulang. Jangan lupa isi-in bensin, terus karena gua udah nunggu lo lumayan lama disini. Traktir gua makan ya."

Ah! Aku jadi ingat. Bukan, tak ingat dengan janjiku pada Dion yang membuatku merasa bersalah, namun Arizano. Merasa tak enak membuat Arizano menungguku dimobilnya lumayan lama, dia sedang kelelahan ditambah harus menunggu. Aku takut dia kecewa ataupun kapok mengantarku lagi. Aku pun segera berlari kearah mobil Dion dan Arizano yang bersebelahan. Setelah sampai, aku mengecek Arizano masih disana. Duduk di bangku kemudi kulihat ia sedang memainkan ponselnya. Aku bingung, harus mengetuk, mengirim pesan dulu, atau langsung masuk saja.

"Heh! Kok abang ditinggalin sih neng. Semangat banget mau makan sama abang, aw merasa malu." Ah aku sampai melupakan Dion. Sebenarnya sedikit tidak enak mengatakannya. Bagaimanapun yang mengantarku tadi adalah Dion dan aku hutang uang bensin kepadanya. Akupun mendekatinya dengan cengiran recehku. Wajahku kubuat-buat semanis dan selucu mungkin. Pasalnya, Dion ini paling tidak suka dengan orang yang tidak menepati janjinya.

"Abangggg yoyonkuu,"

"Hmmm?" Oke, Dion sudah mulai curiga.

"Dion pasti capek abis latihan, mending langsung pulang aja. Nanti, kalo Dion sakit Shifa sedih. Nih, Shifa kasih uang ganti bensinnya. Udah Shifa lebihin sekalian uang traktirannya." Jujur, ragu-ragu dan agak cemas aku mengatakannya.

"Lo mau pulang sama siapa?" Tatapannya menajam. Kali ini benar-benar ada sorot kecewa sekaligus mengintimidasi dimatanya. Ah sial, aku semakin merasa bersalah dan juga takut.

Tiba-tiba Arizano sudah ada disampingku. Mengenggam tanganku, kuakui ini keadaan yang sangat sangat awkward. Kulirik tanganku yang tengah digenggam oleh Arizano. Sungguh, membuat jantungku serasa akan copot sekarang juga.

"Shifa pulang sama gua, yon. Gua duluan. Ayo shif," Suasana canggung pun tercipta. Aku hanya bisa tersenyum kecil dan melambaikan tangan pada Dion. Ah, pasti dia akan marah nanti.

Setelah memasuki mobil Arizano dan melewati Dion yang masih menatap nyalang pada mobil yang aku dan Arizano tumpangi, lelaki disebelahku ini menoleh kearah ku. Aku pun tergagap, takut ada yang salah dengan pakaian atau bau badanku mungkin (?)

"Hp lu mana?" Tanyanya tanpa basa-basi.

Ah iya! Aku baru ingat juga, aku belum menyentuh HP dari sepulang sekolah bersama Rinjani tadi. "Ada, di tas. Kenapa?" Kulihat ia mengangguk.

FIRST, LOVE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang