Bab 6

9.6K 684 21
                                    

Akbar baru saja pulang bekerja,  dan seperti biasanya Rima menyambut Akbar dengan senyuman merekah di teras rumah.

"Dimana Hulya?"

"Katanya mau menginap di rumah Umi dan Abi,  besok kan hari libur."

"Oh begitu,  baiklah." Akbar berjalan meninggalkan Rima seperti biasa dan masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Rima seperti biasa menuju ke dapur dan menyeduhkan teh hangat untuk Akbar.

Rima masuk ke dalam kamar dengan segelas teh hangat dan menyimpannya di atas meja nakas. Tak lama pintu kamar mandi terbuka dan Akbar keluar dari sana. Akbar sudah mengunakan pakaian santainya dan berjalan menuju cermin untuk menyisir rambutnya.
Rima berjalan mendekati Akbar dan memeluknya dari belakang.

"Ada apa,  Umi?" Tanya Akbar.

"Aku ingin memberitahu sesuatu padamu,  Abi." Rima berucap dengan begitu manja.

"Apa itu?" Tanya Akbar tanpa menghentikan aktivitasnya menyisir rambutnya.

"Ini." Rima menunjukkan kertas pada Akbar membuat Akbar menghentikan gerakannya dan menyimpan sisir di tangannya. Kemudian ia mengambil kertas di tangan Rima.

"Apa ini?"

"Di baca saja, " seru Rima melepaskan pelukannya dan kini berdiri di samping Akbar yang sedang membaca kertas itu.

"Kamu hamil?" tanya Akbar yang di angguki Rima. "Alhamdulillah, " jawab Akbar.

Rima sedikit kecewa karena respon Akbar tak sama seperti kehamilan anaknya yang pertama. Akbar bahkan menciuminya karena rasa bahagia dan syukur. Kali ini Akbar terlihat dingin dan hanya mengucapkan alhamdulillah tanpa memeluk dan menciumnya.
'Astagfirulloh, apa yang kamu pikirkan Rima. Mungkin Akbar sedang lelah, aku harus selalu husnudzon pada suamiku sendiri.' Batin Rima.

"Banyakin istirahat yah,  dan jangan sampai kecapean. Apa orangtua kita sudah mengetahuinya?" tanya Akbar.
"Belum Abi,  aku baru memberitahu Abi."

"Kamu kasih tau mereka nanti yah." Akbar mengusap kepala Rima dan berlalu pergi menuju ruang kerjanya.
"Kenapa aku merasa Abi lebih cuek yah, " gumamnya.

***

"Mas Akbar? Emm ada apa?" tanya Kanaya merasa bingung dengan kedatangan Akbar pagi-pagi sekali.

"Aku ada pekerjaan untukmu,  kebetulan di kantorku membutuhkan seorang admin untuk mengurusi beberapa management team kami. Apa kamu mau? Kamu kan dulu lulusan management."

"Benarkah itu,  Mas? Aku mau sekali, " jawab Kanaya begitu sumbringah.

"Sekarang kamu siapkan dokumen-dokumen yang di butuhkannya. Nanti aku bantu kamu siapkan, " ucap Akbar.

"Iya Mas, "

"Kalau begitu aku pamit dulu,  harus segera ke kantor. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam."
Kanaya menatap punggung lebar Akbar yang kini menghilang di balik mobil. 'Ya Allah,  kenapa harus mas Akbar yang membantuku. Tolonglah hamba,  jangan sampai perasaan ini kembali mengharapkannya.' Batin Kanaya.

***

"Assalamu'alaikum, "

" Wa'alaikumsalam."

Rima masuk ke dalam rumah mertuanya,  ia berniat untuk menjemput Hulya,  putrinya.

"Umi,  Abi." Rima mencium tangan Djavier,  neneknya Akbar dan Amierra dan ikut bergabung duduk di antara mereka.

"Sebenarnya kerjaan kamu ini apa saja sih di rumah,  Rim?" tanya bu Anie (ibunda Djavier).

"Emm maksud Oma?" tanya Rima di buat bingung.

"Lihat anakmu,  kurus begitu. Apa kau tidak mengurusnya dengan baik? Seharusnya anak seumuran gini tuh lagi bagus-bagusan makan. Badannya bisa lebih gemukan, " ucap Anie.

"Mah,  Rima baru datang. Apa harus langsung di tegur seperti itu. Lagipula badan anak kurus maupun gemuk,  gak jadi masalah yang penting Hulya sehat." Djavier berusaha menengahi.
Rima tak mampu berbicara apapun,  sejak awal memang neneknya Akbar ini tak menyukainya.

"Kakek,  ayo beli ice cream, " ajak Hulya yang di setujui Djavier,  mereka berdua pergi meninggalkan rumah hingga menyisakan tiga orang wanita berbeda usia.

"Aku tuh dari awal gak setuju cucu kesayanganku menikah dengan wanita ini. Apalagi dia punya riwayat sakit-"

"Mah,  sebaiknya itu tidak perlu di bahas lagi, " ucap Amierra berusaha menghentikan ucapan ibu mertuanya itu.

"Kalian terlalu memanjakan menantu, " jawabnya dan berlalu pergi meninggalkan Amierra dan Rima.

"Rima,  maaf yah-"

"Tidak apa-apa,  Umi." Rima menampilkan senyuman terbaiknya.

"Rima sudah maklumin."

"Terima kasih yah,  Sayang." Amierra menampilkan senyum penuh keibuannya pada Rima.

"Rima datang sebenarnya ada yang ingin Rima beritahukan."

"Apa itu?" tanya Amierra.

"Alhamdulillah Rima di percayakan lagi sama Allah. Rima hamil lagi,  Umi."

"Benarkah?" tanya Amierra yang di angguki Rima. "Alhamdulillah ya Allah,  uh ini Abi bakalan senang sekali kalau tau dia akan punya cucu lagi." Amierra begitu antusias hingga membuat Rima ikut tersenyum senang,  dan kata-kata pedas Neneknya tadi bisa ia lupakan.
***

"Abi,  kenapa pulang jam segini?" tanya Rima saat Akbar baru saja terlihat masuk ke dalam kamar mereka. Rima kebetulan sudah terlelap.

"Kamu kebangun yah? Tidurlah kembali,  aku akan bersih-bersih." Akbar bergegas ke kamar mandi.
Selang 10 menit,  Akbar sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia melihat Rima datang dengan secangkir teh hangat yang masih mengepulka  asap.

"Aku kan sudah bilang jangan bangun,  nanti kamu kelelahan."

"Tidak apa-apa,  Abi. Ini minumlah dulu."

Akbar mengambil gelas teh dan meneguknya. Mereka duduk berdampingan di atas ranjang. "Abi,  apa aku boleh bertanya?"

"Apa? Tanyakan saja."

"Mbak Kanaya ada di rumah kontrakan kita?" tanya Rima,  tampak wajah Akbar sedikit berubah,  tetapi dia kembali merubah raut wajahnya.

"Iya, aku membawanya kesana. Dia menjadi korban penjualan manusia atau wanita. Aku mengajaknya kesana karena aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Kamu sudah mengetahuinya?" tanya Akbar tampak santai saja.

"Iya,  aku kemarin mengambil uang kontrakan dari penyewa dan bertemu dengannya. Kami sedikit mengobrol,  ternyata mbak Kanaya di tinggalkan suaminya,  kasian."

"Iya kamu benar. Padahal dia begitu sempurna,  dia begitu lemah lembut,  sikapnya begitu ramah dan sopan,  pinter juga,  cantik jangan di tanya. Dia sangat cantik,  sayang sskali di sia-siakan suaminya. Aku yakin suaminya akan sangat menyesal karena meninggalkan wanita sholehah seperti Kanaya, " jawab Akbar membuat Rima terdiam.

'Sebenarnya benar yang di katakan suamiku,  tetapi kenapa hatiku sakit mendengar suamiku sendiri memuji wanita lain yang merupakan masalalu nya. Kenapa hatiku merasa tak rela dan cemburu mendengar kata-kata pujiannya di tunjukkan pada wanita lain. Apa aku salah kalau aku hanya ingin pujian yang di lontarkan suamiku hanya untuk diriku saja?' batin Rima.
***

Tbc...
27-02-2019

Jangan Duakan Aku, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang