Bab 7

8.8K 638 7
                                    

Siang itu Rima baru saja keluar dari klinik Bunda,  memeriksakan kandungannya. Ia mengernyit menatap langit biru nan cerah dan begitu panas. Rima melihat jam tangan yang bertengker di pergelangan tangannya.
“Hulya sudah waktunya pulang, “ gumamnya. Ia memesak taxi online dan menunggunya di depan klinik.
Tatapan Rima tak sengaja melihat sosok suaminya yang baru saja keluar dari toko kue bersama dengan seseorang.
“Abi?” gumamnya,  ia terus memperhatikan sosok itu hingga menaiki mobil miliknya. “Mbak Kanaya?”
Ada rasa sakit di dalam hati Rima melihat kenyataan itu. Kanaya bersama dengan Akbar dan selama ini Rima tidak tau apapun.
Bersamaan dengan itu,  taxi online pesanannya datang. Rima segera naik ke dalam taxi dan meminta sopirnya untuk mengikuti mobil itu. Ia akan membayar lebih untuk itu.
Rima melihat mobil Akbar masuk ke pekarangan Budhe Rima yang merupakan orangtua dari Kanaya. “Apa Abi berniat membantu Mbak Kanaya untuk kembali akur? Makanya dia menemani mbak Kanaya kemari?” gumam Rima.
T“Bagaimana Bu,  apa Ibu mau turun di sini?” pertanyaan sopir taxi online tadi menyadarkan Rima dari lamunannya. Ia melihat cuaca mendadak berubah menjadi mendung,  seakan turun hujan. Padahal sebelumnya begitu cerah dan sangat panas.
“Kita ke tempat tujuan utama saya,  Pak.”
“Baik Mbak, “ jawab sang sopir dan melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
‘Astagfirulloh,  tidak Rima jangan suudzon pada suamimu. Ini pasti karena Abi ingin membantu Kanaya kembali akur bersama keluarganya.’ Batin Rima.
Tak lama mereka sampai di sekolah Hulya dengan hujan sudah turun begitu deras. “Astaga Hulya.” Rima bergegas turun setelah membayar sopir taxi tadi. Ia sedikit berlari menuju ke gerbang sekolah yang tampak sudah sepi.
“Ya Allah Hulya!” Rima memekik kaget melihat putrinya berdiri di bawah guyuran hujan dan tampak memggigil.
“Umi,” Hulya menoleh ke arah Rima dengan tatapan sendu.
“Maaf karena Umi telat jemput kamu,” ucap Rima segera menggendong Hulya dan memeluk tubuhnya. Ia membawa Hulya ke tempat yang teduh seraya kembali memesan taxi online.
***
Selesai salat isya,  Rima berjalan ke ruang tamu dan mengintip dari balik jendela. “Abi belum pulang juga, “ gumamnya.
Ia merasa kepalanya sedikit pening,  ia memilih duduk di kursi ruang tamu. Dua hari ini dia selalu melupakan makan malamnya karena ketiduran menunggu suaminya datang. Tetapi malam ini sepertinya dia harus makan terlebih dahulu meninggalkan suaminya karena menurut dokter tadi kondisi kehamilannya begitu lemah.
Rima beranjak dari duduknya walau kepalanya terasa begitu pening dan rasa mual selalu saja menghujaninya setiap saat,  buka  hanya di pagi hari,  tetapi juga di siang dan malam hari. Rasa sesak di dada dan kondisi tak nyaman itu membuat tidurnya selalu terganggu.
Rima kini sudah duduk di kursi meja makan,  menatap sekeliling rumah yang cukup besar itu tetapi begitu terasa gersang dan sunyi. Ia mengingat kenangan beberapa tahun yang lalu,  saat awal dirinya mengandung Hulya. Akbar begitu perhatian dan perduli padanya. Walau bukan perhatian berupa kata-kata mesra atau memanjakan dirinya layaknya pasangan di dalam cerita novel. Tetapi dengan Akbar yang selalu ada di sisi Rima,  menemani Rima periksa kandungan setiap bulannya,  selalu menemani Rima makan malam walau tak ada pembahasan yang harus di katakan. Walau hanya terdiam,  dan fokus pada makanan masing-masing,  tetapi kehadirannya sudah termasuk perhatian istimewa yang di berikan Akbar untuk dirinya.
Ingatan Rima kembali berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Akbar dan Kanaya pergi ke rumah ibu dari Kanaya. Kenapa Akbar tidak bercerita kepadanya,  kenapa Akbar sama sekali tidak membicarakan ini dulu dengannya kalau dia ingin membantu Kanaya. Kanaya memang sahabat dekat Akbar,  atau mungkin lebih. Entahlah,  Rima sama sekali tidak mengetahui hubungan mereka di masalalu. Tetapi Rima adalah sepupu dari Kanaya,  dan yang lebih penting Rima adalah istri dari Akbar. Apa pendapat seorang istri kini tak berarti lagi? Apa menyembunyikan semua ini pada istri merupakan sesuatu yang wajar?
Tanpa sadar air matanya luruh membasahi pipi,  kalian bisa saja menyebut Rima berlebihan,  mendrama atau lebay. Yang jelas hatinya terasa begitu sensitive dan rasanya sakit melihat mereka berdua bersama tanpa sepengetahuan dirinya. Lalu apa gunanya dia sebagai istri?
Memang benar izin istri tak sepenting izin suami yang merupakan ridha dari Allah. Tetapi apa harus dengan menyepelekan seperti ini?
Kenapa rasanya rumah tangga Rima sekarang terasa begitu hampa,  dan kosong? Rima begitu merindukan suaminya,  Abi nya. Dia membutuhkan Akbar di saat saat seperti ini,  di saat ia sedang hamil muda. Dukungan dan kehadiran suami sangatlah berguna untuk kesehatan janinnya.
***

Tbc...
Sudah tersedia versi PDF nya. Yang mau versi pdf nya bisa chat via wa 081321079375

Jangan Duakan Aku, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang