Rima kembali ke Jakarta di antarkan oleh Papanya, di rumahnya tampak Akbar sudah pulang dari rumah sakit dan ia menghampiri Ayah Rima.
Rima tak banyak berbicara, ia membawa Hulya masuk ke dalam kamar meninggalkan Papa dan Akbar di ruang tamu.
"Tadinya sore ini saya hendak menjemput Rima dan Hulya ke Bogor, Pak," seru Akbar saat mereka duduk di sofa ruang tamu.
"Bapak minta maaf karena sikap Rima yang tidak baik, dia pulang ke rumah orangtuanya tanpa meminta ijin padamu," ucap Papa Rima yang bernama Pak Sulaiman.
"Tidak apa-apa, saya menyadari kesalahan saya. Mungkin Rima terluka karena sikap saya," ucap Akbar.
"Nak Akbar, Bapak tidak ingin ikut campur sedikitpun mengenai permasalahan yang melanda rumah tangga kalian. Kalian sudah sama-sama dewasa dan Bapak yakin kalian mampu menyelesaikan permasalahan ini dengan baik," ucap pak Sulaiman. "Hanya saja Bapak titip, jangan keras dan kasar pada Rima. Hati seorang wanita itu seperti kaca, kalau terlalu keras maka akan pecah berkeping-keping, apalagi RIma sedang hamil. Bapak hanya minta berbicaralah perlahan dan dengan nada pelan kepada Rima."
"Baik Pak, insa allah saya akan mengikuti arahan Bapak," ucap Akbar. "Saya meminta maaf karena masalah ini dan membebani Bapak dan Mama."
"Tidak apa-apa, tangan orangtua selalu terbuka untuk anak-anaknya," ucap pak Sulaiman.
Setelah itu percakapan mereka berlanjut ke hal lain.
###
Rima baru saja keluar dari kamar Hulya yang sudah terlelap. Hari sudah larut, dan Rima belum bertatap muka lagi dengan Akbar setelah kepergian pak Sulaiman. Rima masuk ke kamarnya dan ia melihat suaminya tengah duduk di sisi ranjang tampak sedang menunggunya. Rima masih berdiri tak jauh dari Akbar, keduanya sama-sama terdiam hingga suasana di dalam kamar itu begitu hening.
"Aku minta maaf karena pulang tanpa meminta ijin, " seru Rima setelah cukup lama mereka terdiam.
"Kamu marah karena Kanaya menyuapiku?" ttanya Akbar memandang mata Rima yang kini tampak berkaca-kaca. Rima memalingkan wajahnya karena tidak sanggup menatap mata tajam itu, mata yang tak terlihat ada cinta di sana, cinta itu bukan untuk dirinya.
"Kamu tau kan aku dan Kanaya itu sudah bersahabat dari sejak kuliah, apa kamu merasa cemburu?" tanya Akbar.
"Kamu mencintainya, Abi?"
Pertanyaan Rima jelas membuat Akbar mematung di tempatnya dengan tubuh yang tegang.
"Apa maksud kamu, aku-?"
Kini Rima kembali menatap mata tajam itu dengan berani dan Akbar tampak kaget melihat tatapan kehancuran di mata istrinya yang kini di penuhi air mata yanag sudah merembes keluar dari pelupuk matanya. Ini untutk pertama kalinya Akbar melihat betapa hancurnya Rima dari matanya yang menyiratkan kepedihan dan rasa sakit yang teramat sakit.
"Aku mohon jangan ada kebohongan lagi, aku sudah mendengar semuanya saat kamu berbicara kepada mbak Kanaya di kantormu saat hari jadi pernikahan kita. Sejujurnya itu adalah kado paling menyakitkan dari enam tahun pernikahan kita. Itu lebih menyakitkan dari saat kamu melupakan tanggal itu dan tak memberikan hadiah atau kata-kata apapun padaku. Itu bagaikan cambuk panas yang kau cambukkan ke hatiku, Abi." Akbar semakin mematung kaku di tempatnya.
"Kamu ingat saat kita menikah, kamu mengatakan akan berusaha menjadi suami yang terbaik untukku. Tetapi kenapa sekarang kamu mengingkarinya, kamu berkata akan menjaga hubungan rumah tangga kita hingga Allah menakdirkan untuk memisahkan kita dengan kematiannya. Lalu kenapa kamu mengatakan cinta kepada wanita lain?" tanya Rima dengan isakan kecilnya.
"Kenapa Abi? Kenapa kamu membohongiku, kenapa kamu melakukan ini padaku? Kalau... kalau memang aku memiliki kesalahan atau kekurangan yang tidak kamu sukai, kenapa tidak kamu katakan kepadaku secara langsung supaya aku bisa memperbaikinya. Kenapa malah lakukan hal seperti ini?" isak Rima tak mampu lagi ia berusaha tegar di hadapan Akbar, akhirnya semua pertahannya runtuh dan ia terisak penuh kesakitan.
"Apa kamu mencintaiku, Abi?" Kali ini tatapan mereka beradu satu sama lain. "Apa cinta dan hati kamu pernah untuk aku?" walau sakit, Rima tetap menanyakan hal itu pada Akbar.
Akbar tampak tak bisa menjawabnya dan hanya memilih diam membisu. Rima semakin terisak karena tatapan itu tetap sama tanpa ada rasa.
'Kenapa ya Allah...'
"Ah!" Rima memekik kesakitan seraya memegang perutnya.
"Umi!" Akbar beranjak dari duduknya dan mendekati Rima yang kesakitan.
"Ah!"
"Sebaiknya kamu merebahkan tubuh dulu," ucap Akbar membantu Rima merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Beristirahatlah, kamu pasti kelelahan karena baru melakukan perjalanan jauh." Akbar menyelimuti tubuh Rima.
"Jawab pertanyaanku, Abi. Apa kamu mencintaiku?" tanya Rima dan Akbar kembali terdiam.
"Aku-" Akbar begitu saja berlalu pergi meninggalkan Rima tanpa menjawab pertanyaan Rima. Rima hanya mampu menangis melihat sikap Akbar yang tampak menghindar.
"Apa begitu sulit menjawab kalau kamu mencintaiku, Bi? Aku ini istrimu, hikzz...."
Akbar berjalan ke taman belakang rumahnya. Ia berdiri di teras dengan berpegangan pada pagar pembatas. Tatapannya menatap lurus ke depan dimana terdapat hamparan taman dengan berbagai tanaman, kursi taman, kolam ikan kecil dan lampu taman yang indah.
Pikirannya terus tertuju dan hanya terfokus pada pertanyaan Rima.
Apa Akbar mencintai Rima...?
Aku menyayangi Rima karena dia Istriku dan Ibu dari anak-anakku...
Otaknya hanya berpusat pada dua pernyataan itu.
###
Rima tak bertemu Akbar sejak semalam, saat ia bangun, AKbar sudah berangkat bekerja. Jelas sekali kalau AKbar menghindarinya.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam," sahut Rima dan terlihat Amierra datang bersama Aisyah adik dari Akbar.
"Umi? Ais," sapa Rima dan mencium tangan Amierra dan berpelukan dengan Ais.
"Kalian datang tidak memberi kabar dulu, ayo-ayo duduk."Rima mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa ruang tengah.
"Mbak, Hulya dimana?" tanya Aisyah.
"Ada di dalam kamarnya," seru Rima.
"Aku pergi ke Hulya dulu yah," seru Aisyah yang di angguki kedua orang disana. Dan tak butuh waktu lama, Aisyah sudah berlalu pergi ke kamar Hulya.
"Apa yang terjadi, Nak?" tanya Amierra tampak begitu penasaran dengan apa yang terjadi. Ini pertama kalinya Rima memutuskan pulang ke rumahnya saat ada masalah dengan Akbar.
"Maafkan Rima, Umi. Karena kemarin Rima melakukan hal yang tidak baik dan di larang agama. Rima hanya merasa putus asa kemarin dan merasa begitu terluka," ucap Rima dengan air mata yang tanpa sadar jatuh membasahi pipinya.
"Apa yang telah Akbar lakukan kepadamu?"
Dan mengalirlah cerita Rima dengan apa yang sempat terjadi dan pertanyaannya semalam yang tak di jawab Akbar. "Mas Akbar tidak mencintai aku, Umi."
Amierra tampak kaget mendengar penjelasan dari Rima barusan. Ya, ia memang mengetahui dulu saat kuliah Akbar memang dekat dengan Kanaya, bahkan tanpa Rima tau, Akbar sempat ingin melamar Kanaya tetapi jarak satu bulan Kanaya malah menikah dengan pria lain dan Akbar memutuskan melamar Rima yang merupakan sepupu dari Kanaya. Amierra sebenarnya tidak paham dengan apa yang dulu terjadi pada Kanaya dan Akbar.
"Rima, kamu jangan suudzon dulu pada suamimu. Percayalah, tidak mungkin suamimu tidak mencintaimu. Mungkin ini hanya perasaan semu yang di rasakan Akbar pada Kanaya. Kamu adalah istrinya Akbar, kamu sudah seharusnya memiliki segalanya dari Akbar termasuk cintanya. Ini ujian dari Allah untuk kamu juga Akbar untuk mempertahankankeutuhan rumah tangga kalian." Amierra tampak menghela nafasnya. "Berdoalah dan meminta pertolongan pada Allah untuk jalan keluar dari masalah ini."
Rima hanya diam membisu mendengar penuturan Amierra barusan. Mungkin benar ini adalah ujian untuk dirinya dan Akbar.
###Tbc...
17-05-2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Duakan Aku, Mas!
SpiritualRima harus menanggung beban cukup berat di kala dirinya tengah mengandung. Dimana suaminya yang mulai mengkhianati pernikahan mereka dan berencana untuk menikah lagi. Apakah Rima sanggup mempertahankan pernikahannya atau memilih menyerah?