6: Onkologi

2.8K 351 33
                                    

Tidak ada lagi luka terpedih, selain harus memilih antara darah daging atau tulang rusuk.

❤❤❤

AWALNYA Ali tidak berniat masuk ke dalam kamar Mama. Tapi, berhubung Mama dalam posisi yang tenang, tidak melakukan apa-apa selain melipat selimut, pada akhirnya Ali memutuskan untuk masuk.

Mama yang tahu kedatangan Ali secara mendadak, perempuan paruh baya itu meninggalkan kegiatannya, mengambil posisi ternyaman duduk di atas bibir kasur. "Kenapa, Nak? Duduk sini." ulas senyumnya mengurangi lekukan wajah yang mulai menua.

Ali canggung. Mengenang dia sama sekali tidak pernah mengobrol berdua bersama Mama, dan selalu menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan koleksi komik-komiknya, atau menonton DVD secara berangsur-angsur. Tapi cowok itu tidak merubah opsi awalnya untuk menemui Mama, sekarang.

"Ma," rengeknya. Respon piasnya memenuhi area sekitar wajahnya sejenak. Bibir kasur sebelah Mama sudah menjadi tumpuhan duduknya sekarang ini. "Ali masih enggak tau, kenapa Mama harus naruh Prilly di rumah ini."

Mama sedikit menyesal membiarkan Ali telah masuk. Sedang pertanyaan anak bungsunya ini sudah menjadi sebuah beban yang harus ia jawab. Ulasan senyum Mama sedikit mulai mengendur. "Tante Jihan itu sahabat Mama, lho!"

"Ya, terus?"

"Ya, apa salahnya Mama naroh Prilly di sini?"

"Ya, salah besar, dong, Ma!"

Mama melototkan matanya. Memandangi anak laki-lakinya yang ia besarkan susah payah, tapi ketika tumbuh besar, dia malah pandai berdebat dengan orang tuanya sendiri. Bukan masalah menyesal telah membesarkan Ali hingga saat ini, tapi seharusnya laki-laki tersebut harus bisa lebih santun lagi kepada orang tuanya. "Kenapa, Nak? Apa salahnya kita bantu orang yang lagi kesusahan?"

"Udah Ali duga, dia dari keluarga nggak mampu yang mau putus sekolah, terus Mama kasian, sekarang malah nyekolahin dia!" Argumen Ali berkembang bebas. Dia segera bangkit dari duduknya, tapi urung.

Mama mencengkram pelan pergelangan Ali dan menyuruhnya untuk singgah sejenak lagi. "Yang bilang dia anak nggak punya siapa? Dia bahkan lebih mampu buat sekolah di luar negeri, asal kamu tau."

Ali melotot. Mengingat kembali postur tubuh cewek itu yang sama sekali tidak meyakinkan kalau dia anak dari keluarga yang tercukupi. Begitu sederhana, bahkan tidak mencolok sama sekali. "Aduh, salah kali. Penampilan dia tuh kayak orang kam—"

"Nak, nggak boleh. Sini-sini, dengerin Mama." Perlahan, Mama merengkuh bahu anaknya. Mengusapnya dengan sabar. Sampai di mana, di teringat hal seperti ini sudah lama tidak lagi ia lakukan. Terakhir, waktu Ali masih berusia sepuluh tahun.

Di dalam rengkuhan Mama, Ali melepuskan napasnya kasar.

"Nggak boleh asal nilai orang dari penampilannya. Hidup sederhana itu pilihan dia. Kalau seandainya dia kurang mampu, itu karena keadaan." Mama berusaha bijak menuturi Ali. Ada senyum tipis sebelum wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya dan meninggalkan kata-kata lagi, "Jangan sering rendahin orang-orang yang belum kamu kenal seutuhnya, ya, Nak? Nggak baik. Kamu harus belajar hargai apa yang mereka punya, bukan mengumbar keburukan apa yang ada di dalam diri mereka."

"...." Ada rasa tercabik sedikit, ketika Mama berbicara seperti itu, walau dengan sebuah intonasi yang cukup menghangatkan. Ada bentuk rasa seperti; ngapain-sih-gue-nyeplos-bilang-gitu.

(NOT) Sweet Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang