8: Midnight with Ali

3.1K 348 7
                                    

Beranjaklah, biarlah aku menetap dengan sisa hati yang terlanjur patah.

❤❤❤

"SEBENERNYA, lo ngapain ngajak gue keluar malem-malem?" Sambil bertanya, cewek itu memastikan jarum jam pada arloji pergelangan tangannya.

Ali mengembuskan napasnya, terus saja berjalan kecil menikmati langit malam. Kedua tangannya dia sembunyikan dalam celana jin hitamnya. "Gue laper." katanya singkat. Memberikan sebuah alasan yang sebenarnya masuk akal untuknya, tapi belum tentu masuk ke logika milik gadis tersebut.

"Di rumah juga ada makanan, Bambang!"

"Bosen."

Cewek itu mencebik. Terus saja mengeratkan jaket navy yang ia gunakan saat ini. Tidak berbeda dengan Surabaya, nuansa malam di sini sama dinginnya. Bedanya, Jakarta seolah tidak pernah beristirahat. Kota ini terus saja menampilkan keramaian kendaraan yang berlalu lalang. Dan Prilly sama sekali tidak yakin, di kota kelahirannya di pukul yang sama juga mempersembahkan keadaan jalanan yang masih ramai kendaraan.

"Lo belum pernah jalan malem-malem, ya?"

Prilly langsung mengindahkan pandangannya ke Ali. "Nggak pernah. Di rumah, batas pulang gue itu jam lima sore. Kalau maghrib gue belum pulang, Papa bakalan jemput gue di sekolah."

"Mungkin karena lo cewek."

"Bisa jadi."

"Atau mungkin karena lo dimanja, jangan-jangan lo anak mami, ya?"

"Enak aja!" Prilly mencibir.

Ali mengulas senyum tipis. Sebelum Prilly menyadari cowok itu tersenyum karenanya, Ali buru-buru menyapu senyumannya, tandas tanpa sisa. "Lo seneng tinggal di Surabaya?"

"Lo seneng tinggal di Jakarta?"

Ali mengangkat alisnya satu. "Gue nanya elo, kenapa malah balik nanya?"

"Ladies first."

Cowok itu mendecak. "Ya iyalah, tanah kelahiran gue. Ya kali, nggak seneng. Ya walaupun di sini panas, macet, ya gimana lagi." katanya, panjang lebar. "Lo gimana? Seneng enggak?"

"Me too."

Sialnya, Ali menyesal telah menjawab pertanyaan kopi paste Prilly itu dengan panjang lebar. Seharusnya Ali juga tahu, bila jawaban darinya tadi akan dikopi paste juga oleh Prilly. "Bakat lo emang suka ngopas, ya? Gue salut!"

"Haduh! Ini masih jauh apa, ya? Kok nggak nyampe-nyampe?" kesal Prilly, sambil menghentikan langkahnya. Ia menyandarkan sisi punggungnya pada tiang lampu jalanan. "Gue capek, sumpah!"

Kalau boleh jujur, malam ini adalah kali pertamanya dia turun ke jalanan, menikmati lampu-lampu kota yang berkelip, apalagi sampai menghabiskan waktu berjalan kaki dengan seorang laki-laki. Tapi, yang Prilly tidak sangka-sangka hingga ini, kenapa harus Ali yang menemani masa pertamanya merasakan kejadian ini. Padahal, sejak awal kedatangannya di rumah Tante Mira, Ali menjadi satu-satunya orang yang menentang dirinya habis-habisan.

"Nggak, sih, bentar lagi juga udah sampe." Kata Ali santai, "Lagian gue nggak tau, kalau lo nggak kebiasaan jalan kaki."

"Ya elah, siapa bilang? Ya udah, ayo!" Sedikit Prilly merasa tersinggung dengan sindiran halus dari Ali. Lalu, cewek itu berjalan, menahan ngilu di kakinya yang mulai sedikit menggila.

(NOT) Sweet Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang