11: Gloomy Grief

2.6K 307 12
                                    

Hujan menyapa manis.
Kita bertemu lewat sepasang iris.
Tatapanmu berubah sinis.
Aku menelan miris.

❤❤❤

TIDAK ada sapaan, ungkapan, pernyataan dan pertanyaan yang sama-sama mereka torehkan sejak kejadian sore hari itu ketika Prilly berada di tengah-tengah kawanan Varo. Ali lebih kewalahan sendiri dengan pemikiran-pemikiran dalam otaknya yang belum bisa ia simpulkan sendiri jawabannya.

Prilly diterkam kesunyian, sedari tadi bibirnya terkatup rapat. Seolah ada yang lebih unik dari jalanan malam yang ia amati dari balik kaca jendela. Hal itu sudah menjadi hobi Prilly sepertinya. Masuk mobil, bungkam, melamun, mengamati jalanan lewat balik kaca jendela. Ali jadi geram sendiri. Kenapa Prilly tidak ada itikat untuk menceritakan hubungan pertemanannya dengan Varo itu, dia hanya berlaku biasa saja, seperti tidak ada apa-apa. Padahal, ini menyangkut Varo, cowok dengan senyuman liar yang suka menantangnya di area sirkuit.

Kesal sendiri, Ali mulai menepikan mobilnya, namun sama sekali tidak mengurangi kecepatannya. Sengaja, Ali mengerem mobilnya mendadak. Semua terhuyung ke depan, tak terkecuali Prilly. Berjaga-jaga Prilly akan keluar dari mobil, ia memencet tombol kunci pada central, agar pintu mana pun tidak bisa terbuka.

"Kenapa, sih?" Prilly mendadak cemas, melempar kedua bola matanya mengamati Ali. Rambut yang mulai memanjang, acak-acakan, kulit yang bersih walau Prilly tahu pria itu suka kelayapan, hidung yang begitu mancung, mata yang begitu tajam dipadu dengan kedua alis yang terbal tertata rapi sangat tajam layaknya elang, terlihat sangat pas pada wajah cowok itu. Manis.

Walau dalam hati, dia buru-buru meralatnya. Terlanjur kesal dengan pembawaan cowok itu yang terlalu aneh. Terkadang bersikap baik, manis, peduli, arogan, jahat, dan nyaris sama sekali tidak peduli. Lalu, ada angin apa sekarang ia menyusulnya untuk pulang bersama, sedangkan tadi cowok itu sendiri yang meninggalkannya tanpa peduli.

Ali memukul setir mobilnya. Memcengkram lingkaran pengemudinya erat-erat, mencoba menumpahkan amarahnya di sana, jangan sampai terlepas pada Prilly. Tarikan serta embusan napas ia atur dengan rasa kesal yang menggebu. Kenapa Prilly tidak memulai pembicaraan terlebih dahulu, soal klarifikasinya dengan Varo. Kenapa juga Ali sepeduli ini kepada gadis yang sudah terhitung satu semester singgah di rumahnya ini?

Oke. Ali mengulum bibirnya, membasahi bibirnya yang mengering secara merata. Matanya berpindah menatap Prilly secara seksama. Mata sayu milik perempuan itu lagi-lagi berhasil membuat sekujur tubuhnya mati rasa. Wajah melankolis yang tercipta pada garis wajahnya seolah membuat hal-hal yang Ali kesalkan padanya hilang begitu saja, seperti tertepis angin. Bagaimana bisa seluruh tubuh Ali terkendali begitu saja, hanya karena wajah perempuan ini.

"Prill," Ali memberanikan diri, menentang egonya untuk bertanya lebih dulu. Oke, ia lebih mengalah.

Prilly tidak memberikan respon apa-apa, selain mengangkat satu alisnya. Kesal dengan responnya, rasanya Ali ingin mencubitnya kesal. Saking saja Ali tak seberani itu. "Kalau ada musuh lo, tiba-tiba deketin orang yang lo suka, lo marah enggak?"

Eh, tunggu dulu. Kenapa harus reflek menggunakan kata 'suka'? Ali jadi geli sendiri. Meralat ucapannya berkali-kali, tanpa dia meralat ucapan yang sudah terlanjur ia lontarkan pada Prilly.

"Ya terserah. Hidup-hidup dia. Peduli apa gue ikut campur urusan orang?" katanya, tanpa memberikan gestur wajah yang berlebih, selain kesan sinis yang terukir di sana.

Ali mengangkat sedikit bibirnya, merasakan ada yang salah dari ucapannya. Lalu, ia menambahkan, "Lo nggak takut orang yang lo suka itu terancam, sama keberadaan musuh lo itu?"

(NOT) Sweet Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang