Part 8

20 1 0
                                    

Di tengah kesibukan ibu menyuruhku untuk pulang ke rumah, ada hal penting yang mau ia bicarakan.

"Nak, pulang besok kereta subuh, ibu kangen kamu, juga mau bercerita sesuatu hal penting" isi pesan ibu di handphone yang masuk pda pukul baada magrib. Aku tidak tahu hal penting apa yang mau ibu bicarakan, dan sebagai anak, jika ibu sudah bicara demikian aku tidak bisa membandingkan dengan kepentingan lain.

Aku meninggalkan segala keisbukan kampus, dan pulang dengan kereta subuh dari padang menuju pariaman. Di tengah perjalanan kalimat penting di pesan ibu menjadi pertanyaan yang berulang - ulang masuk kepikiran. Pertanyaan yanh tidak bisa ku jawab dan itu terus - terusan menyumpal telingaku dan mengiang.

Sesampai di rumah, aku ucapkan salam dan mencium tangan ibu. Ayah tidak di rumah dan sudah pergi bekerja. Aku memilih ke kamar dulu untuk meletakan barang yang dibawa sekaligus menyiapkan segala tenaga untuk mendengar segala ucapan dari hal penting yang mau ibu bicarakan. Satu - satunya dugaanku yang ada adalah perihal menikah. Dan aku tidak bisa menjawab soal itu untuk saat ini.

Ibu memanggil dan menyuruhku duduk di meja makan. Sembari menyiapkan teh hangat dan roti, aku mendadak merasa sebagai tersangka di dalam persidangan.

"Nak, ibu mau bicara sesuatu kepadamu, sebelumnya hal ini sudah ibu bicarakan pada ayah dan ke dua kakak lelakimu" ujar ibu dengan nada lembut padaku sembari menyodorkan teh hangat dan roti dipiring kecil.

"Iya bu" jawabku sambil mengenggam gelas teh dan menyeruputnya setelah menjawab.

"Kau sudah besar" sembari mengelap meja ibu berkata dan ketika perkataan "kau sudah besar" itu aku langsung menuju kepada dugaan tadi.

"Iya bu" jawabku sambil mendunduk.

"Kami sepakat ingin menjodohkanmu, mungkin ini pernyataan yang berat untukmu, tapi ini juga pertimbangan yang banyak setelah mendiskusikan dengan kelurga kecil kita; ayah, ibu dan dua kakakmu. Keputusan tetap ada padamu, tapi harapan kami adalah kau menerima keputusan ini.

Aku diam, dan menatap ibu dengan tercengang, tak banyak yang bisa kulakukan selain itu. Aku kaku sekaku - kakunya. Dugaan kecil tadi ternyata benar adanya. Aku sekarang menjadi manusia paling meragu di dunia untuk saat ini, manusia yang memiliki pertanyaan besar menggelayut di kepalanya. Sebuah beban yang berasal dari pertanyaan dan aku tak punya jawaban pembelaan untuk di utarakan.

Suasana hening, ibu dan aku hanya saling diam untuk sementara. Ingin menjawab tapi tidak tahu ku mulai dengan kalimat apa. Membantah adalah melukai ibu, meski ibu menyatakan akulah yang tetap memutuskan. Namun kalimat - kalimat harapan itu menjadi penyandung bagiku untuk membantah tadi.

"Bu, perutku sakit, sepetinya datang bulanku tiba. Izin ya bu untuk istirahat. Ira juga capek bu." Aku membalas dengan serobot dan tanpa sadar. Terpenting bagiku adalah menghindar. Aku tidak mau ada yang terluka untuk saat ini, atau setidaknya tidak mengecwakan ibu.

Di kamar, aku menghabiskan waktu mencatat di buku diari. Setelah mencatat berbagai pristiwa hari ini, catatanku sampai untuk mencatat si pria kopi.

"Aku rindu kamu, semoga imajiku yang membayang pada dirimu dapat meredam hari burukku hari ini. Kamu di mana ? Masihkah ingat dengan pertemuan singkat kita ? Tidak bertemu denganmu makin menjadikanmu tamu yang terus datang menghampiriku.

Sepasang PemaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang