Part 10

27 1 0
                                    

Sudah lama aku tidak menulis di buku catatanku. Seperti biasa aku kembali di sibukkan oleh kegiatan kampus, ditelan oleh tugas tugas kuliah dan kewajiban sebagai pengurus sebuah organisasi kampus.

Seminggu setelah ibu menanyakan perihal peejodohan, aku memilih untuk memakai cadar. Sebelumnya ibu memahami aku sebagai anak yang sejak kecil di didik taat beragama. Sejak SMP aku sudah di masukkan ke pesantren wanita, dan menurutku alasannya adalah pekerjaan ayah dan ibu yang memang sama - sama berstatus ASN. Sementara dua kakaku sudah dulu bekerja dan merantau bagaimana sejatinya pemuda minang. Pekatnya ilmu agama dalam diriku membuat waktu ke waktu semakin memperdalam apapun yang agama ajarkan, termasuk dalam
berpakaian. Alasanku untuk menggunakan cadar adalah karen Allah dan ibadah semata, dan pengajian - pengajian yang banyak ku hadirilah yang telah membuka mataku sebagai wanita muslim untuk menggunakan cadar.

Pilihan yang sulit sebenarnya, ketakutanku adalah ketaatan untuk tetap memakai ini selamanya. Resiko - resiko untuk dipandang sinis akan sering juga kita dapatkan, faktanya juga bahwa masih banyak masyrakat yang belum memahami cadar, dan kebanyakan mereka terlalu dini mengakaitkan cadar dengan terorisme. Tidak nampak memang mereka melihatkan tudingan itu, tapi caranya menatap orang - orang bercadar seperti sebuah keanehan, padahal sebagai muslim ia harusnya menyadari ini adalah bagian dari ibadah menjaga aurat sebagai muslimah. Bukan masalah budaya arab, ini adalah untuk menjaga.

Sudah hampir satu bulan aku tidak menaiki kereta api, terakhir aku lebih sering menggunakan kendaraan pribadi untuk ke kampus. Akhir - akhir ini ibu sering memintaku pulang, ketakutanku adalah ibu memiliki riwayat jantung. Pernah sewaktu SMA di pesantren aku mendapati ibu sudah dirawat dengan puluhan kabel di dadanya. Ketakutan akan datangnya hari itu lagi membuatku selalu menuruti pinta ibu. Lagian ibu juga sering merasakan kesepian akhir - akhir ini katanya. Sebab ayah semakin sibuk berkerja ketika di angkat menjadi kepala dinas. Hanya aku anak yang ada di rumah, kewajibanku sudah untuk mengurus ibu yang sudah memilih untuk pensiun dengan alasan kesehatan.

Aku menaiki kereta di stasiun biasa, hanya saja kali ini aku menggunakan cadar tidak seperti menaiki kereta sebelumnya. Karena ini transportasi umum, maka menggunakan cadar akan menjadi pusat perhatian, tidak terang - terangan, tapi lirikkan ada pada dirikku setiap melintasi mereka. Aku merasakannya. Saat - saat ini yang ku lakukan menghiraukan mereka, aku yakin suatu saat mereka akan paham posisi muslimah bagaimana. Hanya perihal ilmu saja menurutku.

Setelah kereta tiba, aku bergegas langsung menaiki kereta. Mematut nomor bangku dan duduk sesuai apa yang tertanda di tiket. Gerbong 5 kursi 14c.

Sebuah gerbong paling buncit yang tidak ku sukai, sebab di gerbong ini getaran akan sangat keras dan tidak nyaman untuk beristirahat seperti tidur sejenak.

Tidak ada perasaan apa - apa, sama seperti pertemuan pertama dan kedua. Aku sering memang merindukan sosoknya yang masih asing itu, berharap bertemu lagi. Tapi malah ketika aku tidak meminta untuk dipertemukan malah dipertemukan. Kadang aku berpikir apakah ini cara tuhan menjamu sepasang orang untuk saling bertemu, meski tidak banyak yang bisa aku dan dia lakukan.

Tepat di kolom bangku depanku, ia ku lihat sedang melihat lamat - lamat ke arah luar jendela, entah apa yang ia lihat setajam itu, namun kosong ku lihat matanya.

Kita sama - sama duduk di tepi dekat jendela, dan ada celah besar untuk bisa menatap ke kolom bangku miliknya. Aku menatapnya, tanpa ia tahu ada seseorang yang menatap, cukup lama dan beberapa kali tanpa ia sadari ada aku di depannya yang bisa ia lihat di celah antara kolom bangku kita. Jujur saja aku suka caranya menatap, meski sayu matanya namun tajamnya tak bisa di elakkan. Bagiku ia pria yang memiliki kharisma, mungkin itu juga di dukung oleh aroma tubuhnya yang selalu menyengat aroma kopi. Aroma parfum yang tidak pernah ku temui di toko parfum manapun.

Satu jam berlalu, tanpa ia tahu ada di depanku. Satu jam yang singkat bagiku. Dosisku untuk menatapnya semakin meningkat rasanya. Aku telah jauh menerka perasaanku kali ini. Aku merasa ada dia semenjak pertemuan - pertemuan yang semakin menjerumuskanku ke dalam sebuah pusaran perasaan. Aku di gulung pelan - pelan untum diselimuti rindu akan dirinya. Aku jatuh kali ini, dan tidak tahu bagaimana caranya untuk membilang.

Satu hal lain yang kupikirkan di atas kereta saat itu, adalah perasaan untuk dijodohkan ibu. Aku belum siap, sedikitpun tidak. Aku tidak pernah tahu sosok pria yang dijodohkan itu seperti apa, aku tidak memiliki perasaan apa - apa. Aku takut tidak ada yang tumbuh ketika kamu memilih untuk memiliki bahtera rumah tangga. Apa lagi aku masih seorang mahasiwa yang sibuk dengan aktivitas kampus. Aku takut, dan pria kopi itu turut ikut mengutukku untuk ikut dengannya. Aku bimbang, ada yang tumbuh pelan - pelan dan aku takut untuk memaksanya dimatikan. Aku menyukainya, dan berharap ada pertemuan selanjutanya.

*dia tidak akan mengetahuiku lagi mungkin, setelah bercadar, kesulitanku adalah  tidak pernah bisa tahu cara mengenalnya lebih dalam. Tidak ada teman dekatnya yang ku kenal. Dan cadar  telah melindungiku sebagai muslimah, namun cadar ini juga menutup kemungkinanku untuk mengenalnya lebih dalam. Tidak apa, aku percaya skenario Tuhan. Ini hanya ujian perasaan, dan Tuhan tentu sudah tahu nama siapa yang kelak nanti jadi jawaban. Tapi tetap harapku dia, yang ku hirup lewat - lewat doa. Selalu.

Sepasang PemaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang