Gadis Pantai - Pramoedya Anata Toer

3.1K 359 20
                                    

Judul: Gadis Pantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul: Gadis Pantai

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Lentera Dipantara

Genre: Fiksi Sejarah

KOMENTAR PRIBADI

Tahun baca: 2013

Nilai: 5

Saya dari kemarin takut mengulas buku-buku Kakek Pram. Beliau sehebat itu. Kalau baca cerita hidupnya, mendadak saya merasa hina. Bukan masalah karyanya diterjemahkan dalam kurang lebih 42 bahasa asing, atau satu-satunya orang Indonesia yang pernah dinominasikan dalam Nobel Sastra, dan bukan karena daftar penghargaan yang tidak habis-habis untuk karyanya. Perasaan inferior itu muncul tiap kali saya sadar bahwa Kakek Pram berhasil konsisten dan produktif menulis meski tulisan itu membuatnya jadi tahanan, lalu tulisannya dilarang beredar oleh pemerintah, ditambah sebagian besar buku dan karyanya dirampas dan dibakar habis sampai tidak bersisa. Sebagian bukunya selamat karena diselundupkan ke luar negeri, diterbitkan di sana agar tidak bisa diotak-atik oleh pemerintah. Coba manusia zaman sekarang, karyanya diplagiat sedikit saja sudah ngamuk dan demotivasi luar biasa. Apa kabar kalau dibakar?

Sedangkan Pramoedya Ananta Toer tetap menulis sampai akhir hayatnya.

Gadis Pantai merupakan karya Kakek Pram yang diadaptasi dari kisah hidup neneknya. Cerita ini seharusnya menjadi cerita pertama dari trilogi. Sayangnya dua buku lanjutannya hilang dibakar rezim Soeharto.

Kalau sudah lama dengar nama beliau, atau lihat bukunya bertebaran, buku ini bisa jadi batu loncatan. Terutama kalau kalian minder lihat Tetralogi Buru yang sebegitu tebalnya. Halamannya tidak banyak, isunya pun tidak kompleks, tapi ngena banget.

Gadis Pantai menceritakan kisah gadis 14 tahun yang terpaksa menikahi seorang priayi. Pernikahan itu diwakilkan oleh sebilah keris. Dari sana, kita akan masuk dalam perjuangan gadis pantai yang polos, teguh, dan berasal dari golongan orang kebanyakan, beradaptasi di dalam lingkungan priayi.

Mungkin karena saya perempuan, saya jadi merasa kritik sosial di buku ini sangat menusuk. Membaca cerita dengan latar feodalisme Jawa membuat saya bersyukur terlahir di zaman yang berbeda. Priayi yang menikahi gadis pantai adalah pembesar santri setempat yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Sebutannya Bendoro. Bisa dibilang, gadis pantai hanyalah teman seranjang, bukan teman hidup Bendoro.

Bendoro sendiri digambarkan sebagai muslim yang taat, rajin sembahyang, lancar mengaji, dan sebagainya. "Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur'an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?" Tapi toh Bendoro tetap menjalankan budaya feodal; menikahi perempuan untuk memenuhi kebutuhan seksnya, tanpa menganggap bahwa ia sudah menikah.

Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan-itu penghinaan bila menerimanya.

Saya capek mental baca cerita ini, tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya kalau saya yang jadi gadis pantai. Tidak bisa komentar banyak juga, karena novel fiksi sejarah yang saya baca sejauh ini baru karya-karyanya Pramoedya Ananta Toer. Intinya, saya merekomendasikan Gadis Pantai kalau mau mencoba sadar diri, bersyukur, dan belajar lebih. Potret sosial-budaya; terutama antara bangsawan dan perempuan miskin kebanyakan, dipaparkan dengan apik. Saya selalu kagum dengan gaya menulis Kakek Pram, tidak pernah berlebihan, tapi bisa menciptakan suasana yang sesuai.

Dia akan jadi priayi. Dia anakku. Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak suka pada priayi. Gedung-gedung berndinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangisnya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengarkan keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti orang dusun, seperti abdi. Dia akan perlakukan aku seperti bapaknya memperlakukan aku kini dan selama ini. Ya Allah, pergunakanlah kekuasaanMu, buatlah dia tidak mengenal emaknya. Tapi lindungilah dia. Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu emaknya.

Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir KritisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang