Negeri di Ujung Tanduk - Tere Liye

2.9K 256 16
                                    

Judul: Negeri di Ujung Tanduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul: Negeri di Ujung Tanduk

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Genre: Fiksi Umum


KOMENTAR PRIBADI

Tahun baca: 2019

Nilai: 3,8

Oke. Mari kita pendahuluan terlebih dahulu.

Karena saya banyak diprotes mengenai ulasan tentang Tere Liye, juga penasaran kenapa nilainya selalu bagus di internet, dan penasaran kenapa sebegitu banyaknya orang yang suka dengan tulisan beliau, akhirnya saya teruskan baca yang lain. Ada beberapa rekomendasi sih, tapi karena saya ngeyel, saya putuskan untuk baca yang memang saya tertarik. Bukan buku ini jelas. Buku ini saya baca karena sudah terlanjur beli hehe.

Negeri di Ujung Tanduk menurut saya lebih bagus daripada pendahulunya. Mungkin bias ya, karena saya lebih suka topiknya. Tapi pembelaan saya, di sini lebih Thomas terlihat lebih manusia, bukan sekadar pria kaya sukses rupawan serba bisa tapi tidak punya perasaan dan sebagainya.

"Apakah demokrasi sistem terbaik yang diberikan Tuhan? Difirmankan Tuhan dalam kitab suci? Jelas tidak. Demokrasi adalah hasil ciptaan manusia ... Apakah suara terbanyak adalah suara Tuhan? Omong kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accompli suara Tuhan. Coba kaubayangkan sebuah kota yang dipenuhi pemabuk, pemadat, mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang peredaran minuman keras dan ganja disahkan melalui referendum warga kota, otomatis menang sudah mereka. Bebas menjual minuman keras di mana-mana, mabuk-mabukan di mana pun. Juga masalah lain seperti pernikahan sesama jenis kebebasan melakukan aborsi bayi. Bahkan dalam kasus ekstrem, jika mayoritas pendudukan kota sepakat pembunuhan adalah tindakan legal, maka di mana suara Tuhan?"

Premis ceritanya hampir sama dengan pendahulunya. Thomas diburu penguasa dunia gelap karena memutuskan membantu orang lain. Thomas kejar-kejaran dengan otoritas. Thomas ditemani satu wartawan wanita yang harus selalu berperan sebagai damsel in distress, yang perannya tidak signifikan, yang hanya sebagai pencantik suasana. Thomas banyak beraksi dengan kemampuan tinju serta koneksi dengan orang-orang penting. Jangan lupakan kemampuan bicara Thomas yang luar biasa hebat, selalu bisa memukau audiens antar bangsa dan negara. Yada yada yada.

Ah, ya. Mungkin highlightnya istilah mafia hukum. Dua buku ini menekankan betapa hukum di Indonesia sudah tidak berintegritas, tokoh antagonisnya pun melulu polisi. Saya paling suka bahasan-bahasan tentang hukum dan politiknya sih; jaringan tak kasat mata yang memanipulasi hukum, idealisme Thomas dan klien politiknya, propaganda, moralitas dan politik sebagai komoditas.

Ada beberapa taktik Thomas yang sudah tertebak: meminta tolong orang, memanipulasi media, menciptakan istilah baru supaya booming, menyogok orang penting, dan lain-lain. Tapi beberapa faktor relatif baru seperti bantuan dari teman lama Opa dan bantuan dari kesatuan polisi yang ingin memberontak terhadap atasan mereka yang bobrok.

Saya agak berharap kali ini penjahatnya akan lebih hebat. Ternyata sama saja. Selalu kalah dengan kecerdikan Thomas. Itu pun mastermind dari para penjahat hanya ditampakkan sekilas, seolah-olah diciptakan hanya untuk menghubungkan kedua buku. Serius, deh, kalau tidak ada Shinpei, saya rasa buku ini bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa harus dibilang dwilogi. Karena ya, ceritanya tidak bersambung. Tokohnya saja yang sama.

Hehe. Semoga tidak makin panas ya membaca kritik saya, tapi ada satu lagi yang benar-benar mengganjal buat saya. Di epilog, narasi tiba-tiba menjelaskan kondisi lingkungan yang ditelepon Thomas, tanpa menjelaskan apakah telepon itu video call atau bukan: "Maggie menangis, membuat orang-orang di ruang kerja Kris menoleh, termasuk Maryam dan Tante Liem yang menunggu cemas sejak tadi malam." Canggih juga, bisa lihat sekeliling hanya dari layar video call. Lebih canggih lagi, buku ini bercerita dari sudut pandang aku. Tiba-tiba si aku bisa menarasikan kondisi ruangan dan perasaan tokoh-tokoh yang mana dia tidak berada di sana dan si tokoh tidak memberi tahu dia. Bagian yang itu cukup mengganggu buat saya, apalagi ditaruh di epilog.

Namun terlepas dari itu, saya suka topiknya, pengembangan karakter Thomas, hubungan Thomas-Opa, dan sindiran-sindiran terhadap kondisi Indonesia saat itu (dan saat ini). Tenang saja, saya tidak suka dua buku ini bukan berarti saya anti. Saya sedang baca Ayahku (bukan) Pembohong dan kemungkinan besar saya akan beralih menjadi penggemar tulisan Tere Liye.

Apakah di dunia ini ada seorang politikus dengan hati mulia dan niat lurus? Apakah masih ada seorang Gandhi? Seorang Nelson Mandela? Yang berteriak tentang moralitas di depan banyak orang, lantas semua orang berdiri rapat di belakangnya, rela mati mendukung semua prinsip itu terwujud? Apakah masih ada? Maka jawabannya: selalu ada.

Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir KritisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang