Judul: Kiai Hologram
Penulis: Emha Ainun Najib
Penerbit: Bentang Pustaka
Genre: Sosial Budaya
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2019
Nilai: -
Saya tidak berikan nilai karena sudah pasti penilaian saya bias sebagai pemeluk salah satu agama. Namun kalau boleh jujur, saya mau kasih nilai lima. Hahaha.
Mungkin nama Emha Ainun Najib kurang familiar, ya? Beliau lebih dikenal sebagai Cak Nun. Dan bukan terkenal sebagai penulis, lebih dikenal sebagai budayawan dan aktivis Islam yang anti-kedudukan. Seperti semua bukunya, Kiai Hologram berisi esai-esai tentang pemikiran dan kegelisahannya. Tapi dari semua bukunya, saya paling suka yang ini. Saya tidak akan jelaskan kelebihan dan kekurangannya karena ya apa juga yang mau dikomentari dari esai naratif—yang tak lebih dari opini pribadi si penulis. Saya cuma mau mengutip beberapa bagian kesukaan saya sebagai bentuk apresiasi untuk beliau yang sudah menuliskan pemikiran-pemikiran kritis, religius, nan nyeleneh ala Cak Nun.
Ini blurb-nya:
Mudah mengagumi, mudah menjatuhkan. Cepat mencintai dan dengan segera membenci. Viral secara instan, lalu menghilang dengan tiba-tiba. Entah mengapa, menebak isi hati manusia belakangan ini begitu sulit. Padahal, orang-orang dengan gegap gempita membagikan cerita kesehariannya pada ruang ruang publik. Semua yang kita kira transparan dan nyata, bisa jadi semu belaka. Begitu sebaliknya.Mengantar Anak-anakku ke Gerbang Peradaban Baru
... Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak untuk memeluk agama globalisasi. Tuhannya Maha Berkuasa, tidak bisa dilihat dan ditemukan secara pancaindra. Mungkin segerombolan makhluk hebat internasional atau entah apa pun yang mengatur keuangan, peta kekuasaan, dan muatan pikiran manusia. Malaikat dan iblisnya mungkin beberapa mesin kekuatan politik di sejumlah titik.
Tuhan globalisasi tak terlihat, tetapi mengabarkan kitab-kitab suci kepada kami. Ada kitab suci kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, kemudian gabungan-gabungan seperti kapitalisme-liberal, komunisme-kapitalis, sosialisme-liberal, dan berbagai ramuan lainnya. Termasuk pendirian agama-agama baru seperti radikal, fundamental, moderat dll.
Pertapaan Ramadan
"Indonesia adalah wahana segala energi kehidupan yang serba-melebihi ukuran. Indonesia adalah ruang segala yang gaib-gaib dan segala yang serba-berlebihan. Komplikasi masalahnya melebihi ukuran ilmu pasien dan dokternya. Ketahanannya melawan sakit dan penyakit juga melebihi ukuran makhluk normal siapa pun dan apap pun di bumi. Kehebatannya berlebihan, sehingga mengancam dirinya sendiri. Kepandaiannya berlebihan sehingga serabutan tempat dan aplikasinya."
"Kamu tadi bilang Indonesia adalah ruang segala yang gaib-gaib. Maksudnya apa itu? Santet atau tenung selama Pilkada? Hantu sakti sejak BLBI, saham Papa, hingga E-KTP? Mobilitas segala komponen 2017-2018 yang dikonsentrasikan untuk perebutan 2019?"
"Aduuuh ...."
"Pertemuan Nasional para mawali, masayikh, para Ki Ageng dan Ki Gede, kaum begawan dan panembahan, beliau-beliau sukma yang moksa sejak zaman sebelum Yesus? Rapat para roh Nusantara dari 18 titik penjagaan pusaka sejarah? Keris-keris yang meloloskan diri dari warangkanya, minggat dari bilik penyimpanannya?"
"Kok, indikasinya klenik begitu. Mohon tidak mendramatisasi. Yang saya maksud dengan gaib itu semacam turunnya azab dari langit berupa suatu jenis kegelapan yang membuat pikiran menjadi buta, ilmu jadi lumpuh, dan pengetahuan hilang arah. Indonesia berjalan dengan cacat. Salah meletakkan orang di kursi. Lapangannya kehilangan gawang. Shalatnya salah kiblat. Orang-orang makan tinja karena packaging-nya mirip roti ...."
Andalan dan Harapan Rakyat (saya mau kutip satu esai penuh tapi nanti jadi plagiarisme penuh, jadi saya kutip beberapa paragraf saja)
Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang punya Negara. Padahal, negara yang mereka maksud adalah perusahaan yang memperniagakan kedaulatan mereka, menjual tanah dan air dan harta benda mereka. Itu untuk kepentingan kumpulan orang yang mereka mandati untuk mengurusi negara yang kemudian dijadikan perusahaan.
Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang tiap hari, tiap minggu, bulan, dan tahun selalu menitipkan harapan kepada kumpulan orang yang tidak pernah bisa diharapkan. Sepanjang masa rakyat mengandalkan kelompok orang yang terbukti tak pernah bisa diandalkan. Rakyat menghabiskan waktu untuk memercayai gerombolan orang yang tidak pernah membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya.
Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang tidak punya pertahanan pengetahuan tentang urusan mereka. Mereka tidak punya kedaulatan ilmu tentang hak dan kewajiban. Tidak punya resistensi akal dan nalar atas bahaya yang menindih mereka. Tidak punya saringan apa pun yang memadai untuk membedakan antara arus yang menyejahterakan atau memiskinkan mereka. Yang menyelamatkan atau menghancurkan mereka. Yang membawa mereka ke gunung tinggi kemaslahatan atau yang menyorong mereka ke jurang kehancuran.
Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang bersedia bermusuhan satu sama lain demi membela organisasi atau tokoh-tokoh yang menipu mereka. Rakyat yang siap bertengkar siang-malam mempertahankan kepentingan lembaga atau idola-idola yang memanfaatkan mereka, menginjak pundak bahkan kepala mereka, demi mencapai kepentingannya. Rakyat yang siaga bertempur dan berani mati membela sesuatu yang mereka tidak pahami, mempertahankan nilai yang mereka tidak mengerti, bahkan membarikade pertahanan bagi orang-orang yang mereka sangka pemimpin, padahal penghancur nasib mereka.
Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang dikuasai sehingga mereka pun ingin bergabung dalam kekuasaan. Yang karena hartanya dicuri, mereka pun ingin turut mencuri. Yang karena hak miliknya diserobot, mereka pun mencari peluang untuk bisa menyerobot juga. Yang karena jalannya dipotong, mereka pun belajar memotong. Yang karena hidupnya dicurangi, mereka pun melatih naluri dan spontanitas untuk berbuat curang juga, sejak keluar dari pintu rumah, di jalanan, kantor, gedung-gedung, di segala urusan, termasuk rumah-rumah ibadah, bahkan menyelipkan kecurangan di dalam doa-doa mereka.
KOMENTAR TAMBAHAN
Saya senang sekali melihat perkembangan pola pikir Cak Nun dari awal reformasi hingga sekarang. Di buku-buku yang lama, beliau sangat semangat mengubah Indonesia, membantu mengembalikan Indonesia ke falsafah dasarnya. Di buku ini, berkali-kali beliau bilang kalau beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada harapan untuk Indonesia.
Sejujurnya saya juga masuk aliran skeptis Cak Nun. Saya tidak melihat adanya akhir dari gelombang korupsi-kebohongan-kemunafikan-sandiwara pemimpin dan rakyat Indonesia. Apa yang saya rasakan sama persis: dulu saya sedih, miris, ingin membuat perubahan. Kemudian ada satu fase di mana saya mau pura-pura tidak peduli. Biarkan saja. Apatis lebih enak. Sekarang, yah sudah. Cak Nun sadar tidak bisa mengubah apa-apa, tetapi dia tidak menyerah. Dia tetap menulis, berkeliling Indonesia menghadiri undangan untuk 'ceramah' dan mendidik siapa saja yang mau dididik. Padahal, dia sadar, kemungkinan perubahan hanya sedikit.
Sekarang ya, ya sudah. Yang paling susah adalah peduli. Kemudian dari peduli akan timbul rasa sakit hati, marah, ingin apatis. Tahap yang sudah dicapai Cak Nun, saya bercita-cita bisa sampai di sana: kerjakan saja, apa pun hasilnya. Kerjakan saja, yang penting tetap berusaha. Kalau kata Leon di Kamuflase: kerjakan saja, asal perjuangannya tidak berhenti di kamu.
Makanya, saya masih berusaha belajar menulis dan membaca. Doakan suatu hari nanti bisa menulis kritik sosial yang membangun dan menginspirasi seperti esai, novel, dan roman sesepuh yang ada di luar sana ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
RandomPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...