Judul: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Genre: Fiksi Umum
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2019
Nilai: 3,9
Ceritanya saya tahun ini sedang giat-giatnya baca sastra Indonesia karena saya merasa kurang bahan untuk merapikan novel Seri Intelijen Nusantara, akibat terlalu lama baca buku berbahasa Inggris, fiksi dan akademik. Beberapa nama masuk jejeran buku yang saya borong, salah satunya Andrea Hirata. Sebenarnya saya berniat mengulas tentang Tetralogi Laskar Pelangi terlebih dahulu, tapi ada yang menarik dari buku ini.
Kebetulan, saya juga lagi banyak belajar materi psikiatri bersama dosen-dosen psikiater. Nah, ada salah satu tokoh pendamping yang menurut saya patut dicurigai mengidap gangguan jiwa. Siapa? Mari kita telaah sama-sama.
Sesuai judulnya, buku ini bertema tentang ayah. Bukan hanya satu ayah, namun peran tokoh utama sebagai ayah, hubungan dengan ayahnya, sosok ayah dari si tokoh pendamping, lalu ada juga perspektif ayah tiri dari anak si tokoh utama, yang mana tokoh utama juga merupakan ayah tiri dari anak itu. Bingung? Ya, memang fokusnya banyak dan alurnya melebar, seperti buku Andrea Hirata pada umumnya.
Kalau dibilang bagus, pesan moralnya bagus. Latarnya masih di Melayu, leluconnya juga khas Melayu. Alurnya didominasi romansa, seperti buku Andrea Hirata lainnya. Namun, yang membuat saya tahan baca buku Andrea Hirata, meski saya bukan penggemar romance, adalah cara berceritanya. Kearifan lokal, isu sosial budaya, humor penuh sindirian, serta nilai-nilai kehidupan selalu terselip di antara cerita Ikal-A Ling, Enong-Matarom (Tetralogi Laskar Pelangi), Syalimah-Zamzani (Cinta di Dalam Gelas), Tara-Tegar (Sirkus Pohon), Sabari-Lena (Ayah), dan lain-lain.
Dari bermacam-macam buku, saya menarik kesimpulan bahwa Andrea Hirata berusaha mempertahankan gaya kepenulisannya dalam 3 kata: Melayu, hiperbola, dan romantis, sehingga mungkin bagi beberapa pembaca terkesan monoton dan tidak berkembang dari seri pertamanya yang fenomenal. Terlihat di sini, tokoh utama bernama Sabari bin Insyafi, seorang Melayu asli, jatuh cinta pada perempuan begajulan bernama Marlena binti Markoni. Cinta pandangan pertama itu terjadi ketika Marlena terang-terangan merebut kertas ujian masuk SMA Sabari dan menyalinnya sesuka hati, lalu mengembalikan tanpa berterima kasih. Aneh? Memang. Mungkin di situ unsur humornya. Saya merasa buku ini penuh sindiran. Satire, satire, and satire.
Singkat cerita, perasaan Sabari terhadap Lena masuk ke dalam kategori obsesi. Kebetulan, Sabari orang yang sabar dan naif (dan bodoh) sehingga mau ditolak Lena jutaan kali pun, perasaan (dan obsesinya) tidak berubah. Sedangkan Lena hidup semaunya sendiri, tidak bisa dinasehati orang tua, hobi menyontek, ganti pacar setiap minggu, dan beberapa kali tidak pulang ke rumah.
Kebetulan, Lena digambarkan sebagai perempuan yang sangat cantik. Charming. Sekali senyum dengan lesung pipit sedalam sumur, semua orang bertekuk lutut. Kelebihannya itu sering digunakan untuk melakukan hal yang dipertanyakan secara moral. Di sini saya curiga Lena masuk dalam kategori conduct disorder (saat usianya di bawah 18 tahun) yang kemudian berkembang menjadi antisocial personality disorder (di atas usia 18 tahun). Ini saya lampirkan The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 5 (2013) dari American Psychiatric Association. Semua yang saya highlight itu dilakukan oleh Lena di sepanjang buku. Meski pada usia tertentu, perempuan itu akhirnya menjadi lebih mudah dikontrol dan bisa berperan sebagai seorang ibu dan istri yang baik.
Kemudian alurnya berubah secara signifikan ketika Lena hamil, entah oleh siapa, dan Sabari dengan besar hati menawarkan diri untuk menikahi Lena. Namun, saat menjadi istri Sabari, Lena pun tidak pernah pulang, tidak pernah mengurusi anaknya. Tapi Sabari tetap cinta. Begitu terus, bahkan lebih setia dari Severus Snape kepada Lily Potter.
Yang paling bagus dari cerita ini menurut saya adalah konflik-konflik tentang ayah. Sabari sosok ayah yang hebat (meski naif, bodoh, dan terobsesi dengan Lena), saya sampai tidak tega melihat penderitaannya. Semua nilai ayah-anak di buku ini diceritakan dengan cantik, dari berbagai perspektif, serta mencakup sosok ayah dengan beragam kepribadian.
Alurnya menarik, walaupun menurut saya terlalu meluas, dan seperti biasa membuat pembaca harus berpikir ulang untuk mengerti maksud dan peran tokoh di tiap-tiap bab. Secara umum, saya merekomendasikan buku ini untuk kalian yang sayang ayah, rindu ayah, atau mendambakan sosok seorang ayah. Pasti nangis melihat perjuangan Sabari. Hahaha.
Tidak saya beri bintang lima karena pertama, saya termasuk pembaca yang bosan dengan latar yang diangkat Andrea Hirata yang melulu di daerah Melayu, meski tokohnya berbeda. Lalu tokoh Sabari tidak masuk akal, walaupun saya paham di situ letak seninya. Kemudian, logika dan latar belakang pendidikan saya agak sulit untuk setuju dengan masalah internal tokoh-tokoh di buku ini (terutama di bagian gangguan jiwa) yang seolah tidak ditemani riset mendalam dan hanya disertakan sebagai unsur hiperbola untuk menarik simpati pembaca terhadap tokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
RandomPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...