Judul: Negeri Para Bedebah
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Fiksi Umum
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2019
Nilai: 4,0
Jadi, saya baca buku ini karena seumur hidup, saya belum pernah baca tulisan Tere Liye. Dengan penilaian yang tinggi di internet, ekspektasi saya untuk buku ini terlanjur tinggi. Ternyata oh ternyata, saya tidak suka gaya kepenulisannya. Tapi, karena cerita ini tidak kopong, menyiratkan riset yang cukup mendalam di bidang ekonomi dan politik, saya pun urung memberikan nilai 3. Walau begitu, Negeri di Ujung Tanduk (buku keduanya) sepertinya akan jadi buku Tere Liye terakhir yang saya baca.
Saya berusaha tetap netral, tapi saya yakin ulasan ini akan bias karena saya sangat tidak suka gaya bahasa terjemahan. Dari kecil, saya selalu lebih suka buku fantasi dan fiksi ilmiah, otomatis membuat koleksi buku saya didominasi buku terjemahan. Setelah beberapa tahun, saya jadi capek dengan bahasanya karena (1) orang Indonesia tidak berbicara seperti itu, (2) membaca buku versi bahasa aslinya jauh lebih nyaman (dan nyambung, dan lucu, dan enak dibaca), (3) novel Bahasa Indonesia menurut saya punya seni lebih kalau bisa menggunakan gaya bahasa seperti novel sastra pada umumnya. Ini opini pribadi, bukan untuk dibenarkan atau didebatkan.
Terlepas dari itu, blurb-nya sangat menarik. Di Negeri Para Bedebah, kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata. Di Negeri Para Bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah. Tetapi setidaknya, Kawan, Di Negeri Para Bedebah, petarung sejati tidak akan pernah berkhianat. Lagi-lagi, saya berekspektasi. Dugaan awal saya, cerita ini akan penuh sindiran dengan tema nasionalisme atau patriotisme. Sindirannya memang banyak, tetapi tokoh utamanya lebih masuk kategori anti-hero dibanding nasionalis atau patriot.
Pertama kali baca, saya langsung teringat buku karya Stieg Larsson berjudul The Girl with the Dragon Tattoo. Nuansa perbankannya kental, tokohnya sama-sama familiar dengan transaksi kotor. Banyak ilmu baru yang didapatkan; cara pencucian uang, permainan saham, perkreditan, sistem keuangan dan keamanan di bank, serta sekilas cara perputaran uang di partai politik. Alurnya klasik, bertemakan kejar-kejaran kucing dan tikus. Cat and mouse, dalam idiom Bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai actions involving constant pursuit, near captures, and repeated escapes (Merriam-Webster, 1928). A phrase used to describe the suspenseful relationship between one being pursued and the pursuer (Farlex, 2015). Kejar-kejaran antara tokoh utama dan tokoh antagonis mewarnai setiap bab, lalu si tokoh utama selalu bisa melarikan diri, persis adegan kucing dan tikus.
Thomas, tokoh utama selaku konsultan keuangan, setengah mati berusaha mempertahankan sebuah bank yang didirikan keluarganya. Thomas sendiri, menurut saya, masuk kategori anti-hero, meski sejatinya adalah tokoh protagonis di cerita ini. Kemudian, dengan ilmu cocoklogi dan sok tahu luar biasa, saya menyimpulkan bahwa Bank Semesta, yang menjadi konflik utama di cerita ini, mencerminkan sebuah bank bermasalah yang sempat ramai tahun 2008-2014. Sebut saja namanya Bank Seabad.
Saya jadi tertarik mengutip argumentasi ilmiah yang ditulis salah satu jurnalis kawakan Indonesia. Dulu, pak presiden pernah berpidato begini: Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan (Kompas, 2009). Lalu, di dalam buku Membongkar Gurita Cikeas, Pak George Aditjondro berargumen sebagai berikut:
Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara, memainkan peranan yang besar dalam melonjaknya angka pemilih Partai *krat dan calon presidennya. Resistensi Partai *krat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank (Seabad), walaupun akhirnya ikut mendukung prakarsa sebagian anggota DPR dari Fraksi (Banteng), menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi kesepakatan parlemen. Walaupun sejumlah individu Partai *krat berusaha menangkis tuduhan bahwa mereka menerima sejumlah dana dari Bank (Seabad), toh masih ada tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan "pihak ketiga" dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 - Juni 2009) (Aditjondro, 2010)
Saya suka sekali dengan isu yang diangkat. Sebuah bank bermasalah, yang sejak awal rekam jejaknya mencurigakan, terus-terusan melanggar berbagai aturan dari bank sentral hingga terancam pailit, akhirnya diselamatkan oleh negara untuk melindungi berbagai pihak dan kepentingan (orang besar) di dalamnya. Hehe. Silakan Anda bandingkan dengan Bank Seabad. Mungkin akan terkena virus cocoklogi saya. Selain isu itu, saya juga suka dinamika antara tokoh utama dan kakeknya yang bekas imigran gelap.
Namun, sejujur-jujurnya, hanya itu yang saya suka. Masalah kejar-kejarannya menurut saya membosankan karena tokoh utama terlalu pintar (atau pihak antagonis terlalu bodoh). Tidak ada perasaan tegang yang berarti karena si tokoh utama sudah pasti akan lolos. Identitas penjahat utama juga petunjuknya kurang banyak, sehingga bukannya memberikan efek terkejut, mindblown, marah, dan sebagainya, malah membuat saya lempeng, "Ooh" saja. Akan lebih seru kalau dari awal pembaca dibuat tebak-tebakan, siapa sebenarnya dalang di balik semua kejahatan yang membuat tokoh utama memiliki dendam pribadi hingga mau repot-repot menyelamatkan bank yang kotor.
Yang saya tidak suka lagi, hubungan antara tokoh utama dengan side kick/love interest perempuannya. Pintar, cantik, sok jual mahal, jutek, tapi di tengah cerita tiba-tiba sangat perhatian dan khawatir dengan keselamatan tokoh utama. Padahal baru kenal satu-dua hari. Tipikal. Apakah semua perempuan pendamping harus digambarkan segampang itu jatuh cinta? Atau tokoh utama laki-laki harus selalu digambarkan sekarismatik itu?
Tapi sekali lagi, ini pendapat pribadi saya. Bukan untuk dibenarkan atau didebatkan. Saya lihat memang mayoritas pembaca suka sekali dengan buku ini. Sayang sekali saya bukan bagian dari mayoritas itu. Saya berikan bintang 4 karena kagum dengan risetnya yang niat. Sisanya, yah, mungkin saya akan baca buku yang lain dulu.
Kau tahu, dari seribu triliun anggaran negara, menurut ekonom senior, hampir dua puluh persen dikorup dan disalahgunakan. Siapa yang menampung uang itu? Perbankan nasional! Uang suap, sogok, pelicin, bahkan uang pajak yang tidak masuk ke kas negara, puluhan triliun nilainya. Ke mana uang itu berlabuh? Perbankan nasional! Kebanyakan orang hanya melihat money laundering dari kegiatan mafia, kegiatan bersenjata. Padahal di luar itu ada banyak sekali kasusnya. Kami membuka rekening untuk petugas korup, pejabat negara jahat, membuat rekening giro perusahaan fiktif, semua yang mungkin dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
RandomPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...