The Whole-Brain Child: Spiegel & Bryson

1.9K 171 10
                                    

Judul: The Whole-Brain Child

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul: The Whole-Brain Child

Penulis: Daniel J. Spiegel, Tina Payne Bryson

Penerbit: Penguin Random House

Genre: Self-help

KOMENTAR PRIBADI

Tahun baca: 2018

Nilai: -

Karena bukan psikolog dan psikiater, anggaplah penilaian saya berasal dari penilaian orang awam, walaupun saya juga belajar sedikit-sedikit tentang neuroscience. Buku ini berhasil bikin saya tertarik sama genre self-help, karena isinya ringan banget padahal dasar teori sainsnya kuat, terus banyak gambarnya (yay!), dan sangat practical.

Isinya tentang kondisi psikologis dan psikis dari anak, gimana cara mendidik mereka dan dampaknya buat mereka di masa depan. Lebih cocok buat orang yang udah punya anak sih, tapi di sini saya juga banyak belajar 'kenapa?' dan 'kok bisa?' tentang diri saya sendiri; kilas balik ke banyak hal yang bikin saya sadar kenapa kepribadian, defense mechanism, dan coping mechanism saya jadi kayak gini.

Ada 12 strategi yang dipaparkan, semuanya didahului konsep dasar neuroscience dan psikologis plus contoh nyata di kehidupan dua psikiater yang menulis buku ini. Kalau mau cepat, intisari bukunya ada di Refrigator Sheet, berisi semua strategi di bawah ini:

1.       Connect and Redirect: Surfing Emotional Waves
2.       Name It to Tame It: Telling Stories to Calm Big Emotions
3.       Engage, Don't Enrage: Appealing to the Upstairs Brain
4.       Use It or Lose It: Exercising the Upstairs Brain
5.       Move It or Lose It: Moving the Body to Avoid Losing the Mind,
6.       Use the Remote of the Mind: Replaying Memories
7.       Remember to Remember: Making Recollection a Part of Your Family's Daily Life
8.       Let the Clouds of Emotion Roll By: Teaching That Feelings Come and Go
9.       SIFT: Playing Attention to What's Going On Inside
10.   Exercise Mindsight: Getting Back to the Hub
11.   Increasing the Family Fun Factor: Making a Point to Enjoy Each Other
12.   Connect Through Conflict: Teach Kids to Argue with a "We" in Mind

Sepenangkapan saya, prinsip aslinya ada enam: (1) integrasi otak kanan dan otak kiri, (2) integrasi cortex cerebri (higher function of the brain) dengan bagian otak yang lain, (3) integrasi memori, (4) mengatur emosi, (5) empati dan kerja sama. Saya mau highlight yang memori.

When we don't offer a place for children to express their feeling and recall what happened after an overwhelming event, their implicit-only memories remain in disintegrated form, leaving the children with no way to make sense of their experience. But when we help our kids integrate their past into their present, they can make sense of what's going on inside them and gain control over how they think and behave.

Intinya gini, kita punya otak kanan dan otak kiri. Otak kiri dominan di logika. Otak kanan dominan di seni, perasaan, empati, bahasa non-verbal. Terus, dari otak kanan dan kiri itu masih dibagi-bagi lagi. Intinya lagi, bagian dari otak kita yang mengatur segala macam keputusan (mau makan apa, mau marah apa enggak, bangun terus mandi atau tidur lagi, sampai keputusan mau pilih jurusan apa, dsb) itu bagian korteks. Di buku ini disebutnya upstairs brain. Antara korteks dan bagian lain (yang mengatur insting, firasat, reaksi fight or flight, dsb disebut downstairs brain sama penulisnya) harus terintegrasi, biar tidak ada yang lebih dominan.

Dari semuanya, yang paling relatable menurut saya bagian memori. Entah pengamatan saya saja atau bagaimana, tapi orang tua di lingkungan saya cenderung menenangkan kita (saat takut) dengan menyederhanakan/meremehkan masalah kita atau menenangkan dengan "Iya, enggak apa-apa, kok!" seolah-olah masalahnya tidak ada. Di sini, dijelaskan kalau memahami ketakutan kita itu penting, nah sehabis itu bukan pura-pura kejadian/objek/dll tidak ada, tapi harus dipahami kalau kondisi kita sekarang sudah berbeda, sudah aman, sudah tidak perlu takut lagi. Kalau pura-pura tidak ada, memori kita jadi tidak utuh. Nah, akibatnya nanti memori itu bakal balik lagi dengan manifestasi berbeda, misal: fobia, trauma, mimpi buruk, sampai gangguan mental.

Kalau mau belajar tentang teori higher function of the brain, buku ini sangat bersahabat. Bahkan menurut saya teorinya oversimplified, benar-benar bisa dipahami oleh orang yang belum pernah baca tentang itu sama sekali. Direkomendasikan untuk semua orang yang tertarik dengan teori psikologi dan neuroscience yang aplikatif atau mau sedikit lebih mengenali dirinya sendiri :)

Our life narrative determine our feelings about our past, our understanding of why people behaved as they did, and our awareness of the way those events have impacted our development into adulthood. When we have a coherent life narrative, we have made sense of how the past has contributed to who we are and what we do.

Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir KritisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang