Robohnya Surau Kami - A. A. Navis

2.6K 246 15
                                    

Judul: Robohnya Surau Kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul: Robohnya Surau Kami

Penulis: A. A. Navis

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Genre: Fiksi/Kumpulan Cerpen

KOMENTAR PRIBADI

Tahun baca: 2019

Nilai: 4,5

Jarang saya suka dengan kumpulan cerpen. Yang ini pengecualian. Robohnya Surau Kami merupakan cerpen klasik yang sering muncul di soal Bahasa Indonesia, terutama di Ujian Nasional. Payahnya saya baru baca versi utuhnya sekarang.

(Alm.) penulisnya orang Padang, jadi sebagian besar cerpennya berlatar di Padang. Isu yang diangkat kebanyakan isu sosial berbau Islami dibumbui adat Minangkabau. Jujur saja, saya selalu suka dengan cerita yang pintar mengangkat isu budaya. Andrea Hirata identik dengan budaya Melayu. Pramoedya Ananta Toer sebagian besar mengangkat budaya Jawa. Putu Wijaya dengan budaya Bali. Dan, baru kali ini saya baca yang Minangkabau!

Seperti biasa, cerita bagus isinya melulu sindiran terhadap kondisi masyarakat. Hampir semua menyindir budaya senioritas (kolot) — entah usia, pengalaman, jabatan, kewibawaan, ketakwaan, ataupun nilai adat. Cerpen kesukaan saya di sini adalah Robohnya Surau Kami dan Nasihat-nasihat. Di bab paling akhir, ada cerpen semi non-fiksi yang menceritakan curhatan A. A. Navis (beliau jadi tokoh utamanya) mengenai generasi muda dalam judul Dari Masa ke Masa.

'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan Kami. Itulah negeri kami.
Di negeri di mana tanahnya begitu subur hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'

Untuk ukuran cerpen lumayan jadul, cerita yang diangkat sangat melampaui zamannya. Padahal cetakan pertamanya saja tahun 1986, jauh sebelum kelahiran saya. Coba, masa ada kritik tentang agama, kritik tentang ego, tentang incest, tentang veteran perang, sindiran mengenai kemanusiaan orang sehat dibanding orang gila. Wah, pokoknya asik deh, tidak seperti kumpulan cerpen yang sering terbit zaman sekarang: temanya itu-itu saja.

Struktur bahasanya sedikit kurang konsisten antar cerpen, mungkin karena ditulis di tahun yang berbeda. Tidak saya beri bintang lima karena semua cerpennya bertema kritik dan um, berdiri sendiri-sendiri (dan wajar karena ini kumpulan cerpen) tapi ya, begitulah pendapat subjektif saya.

Saya suka sekali karena temanya sederhana. Kritis dan sinis tapi penuh nasihat. Di Wattpad, mungkin yang temanya agak mirip adalah kumpulen cerpen berjudul Sajadah Sombong dan Seperangkat Kisah-kisah Lainnya.

Oh, ya. Lain kali saya mau baca tulisannya Ahmad Tohari, ah. Ada rekomendasi selain Ronggeng Dukuh Paruk?

Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir KritisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang