Judul: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre: Fiksi Umum
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2019
Catatan: kalau mau baca, lebih baik tunggu usia 18+
Nilai: 4,5
Banyak yang bilang, Eka Kurniawan adalah bibit unggul yang suatu hari nanti bisa menyaingi Pramoedya Ananta Toer. Um, tapi kalau hanya melihat dari buku ini, kok saya belum setuju, ya? Novelnya bagus, banyak latar sosial yang diangkat, sarkasmenya kental, tapi konflik yang muncul rasa-rasanya tidak sekompleks yang diangkat Kakek Pram. Mungkin saya salah menilai. Saya belum pernah baca Lelaki Harimau, novel Eka Kurniawan yang juga ramai dibaca. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga saya belum tamat.
Tapi cerita ini memang berhak meraih segala macam penghargaan yang sudah didapatkan. Seandainya alur dan konfliknya tidak melulu selangkangan-perkosaan-selingkuhan-incest-selangkangan, pasti saya berikan bintang lima.
Paragraf pertamanya membuat penasaran setengah mati: Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi laut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun, hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya.
Bagi manusia yang hobi baca cerita fantasi seperti saya, konsep magic realism kayak gini merupakan angin segar. Dunianya bukan dunia khayalan, tidak ada makhluk-makhluk ajaib, tapi tetap ada sihir ala perdukunan dan hal-hal gaib yang dipercayai orang Indonesia. Ceritanya bikin geleng-geleng. Beberapa hal seperti: bangkit dari kubur, tidak bisa mati, bayi di kandungan tiba-tiba hilang jadi angin, manusia bisa terbang ke langit, sampai hantu penasaran yang berniat jahat, sebaiknya ditelan mentah-mentah tanpa diprotes. Itu, dibarengi penjajahan kolonial Belanda, pergantian kekuasaan Jepang, agresi militer Belanda, larisnya paham komunisme, hingga paham itu tumbang dan dilarang sama sekali oleh pemerintah, merupakan kombinasi yang ajaib dan agak abstrak. Menurut saya, di situ letak seninya.
Sengaja tidak saya jelaskan terlalu banyak inti ceritanya, supaya kalian penasaran. Hehe. Buku ini banyak digandrungi di luar Indonesia, semoga saja teman-teman pribumi juga tertarik lihat sindiran, lelucon getir, tragedi yang dituliskan Eka Kurniawan di buku ini. Bahasanya khas Eka Kurniawan. Vulgar, tidak bertele-tele, tapi berisi dan enak dibaca. Jangan kaget lihat banyak kata *entot dan sebagainya. Adegannya memang banyak yang 18+ meski nyatanya tokohnya belum sampai umur segitu. Hahaha.
Tokoh utamanya bernama Dewi Ayu Stammler, lebih dikenal sebagai Dewi Ayu setelah menikah. Saya kagum setengah mati dengan tokoh ini. Cerdas, sarkas, berpendirian teguh, dan selalu tenang di setiap situasi meski takdir memaksanya jadi pelacur Jepang, dan habis itu masih diperkosa pribumi juga. Dia punya tiga anak yang cantik-cantik, entah siapa bapaknya. Yang pertama mewarisi mata Jepang ayahnya, yang kedua anak dari pahlawan revolusi yang memperkosanya ketika sedang melakukan perlawanan terhadap Belanda (karena Dewi Ayu berwajah Belanda), yang ketiga entah anak siapa. Ketiga anaknya disekolahkan di sekolah terbaik, diajari ngaji di surau Kyai Jahro, dan diwarisi rumah milik keluarga besar mereka di zaman kolonial Belanda.
Tapi masalah bermunculan karena anak-anaknya terlalu cantik, selalu diburu lelaki seperti laron memburu cahaya. Ketika Dewi Ayu akhirnya hamil lagi di usia ke 50-an, dia bilang dia capek. Dia berdoa supaya anaknya buruk rupa: punya lubang hidung seperti colokan, telinga seperti panci, dan kulit gosong seperti tai. Doanya dikabulkan. Habis itu dia mati. Bukan, bukan karena perdarahan. Karena Dewi Ayu pingin mati, maka dibantu jongosnya, dia mandi air kembang, dan membeli kafannya sendiri, lalu membungkus dirinya di kafan dan mati. Nah, karena belum pernah melihat anak bungsunya, Dewi Ayu pun menamakannya Si Cantik, berasumsi dengan kecewa bahwa anaknya cantik.
Saya pertama kali jatuh cinta pada Dewi Ayu di adegan ini:
"Berapa lama aku mati?"
"Dua puluh satu tahun," kata si Cantik.
"Maaf terlalu lama," katanya penuh penyesalan, "tak ada jam weker di dalam kubur."Direkomendasikan untuk semua orang yang penasaran seperti apa bentuk novel sastra Indonesia! Harus tahan mental tapi, jangan dibawa perasaan. Latarnya juga bisa buat belajar kalau mau perspektif lain dari perang Indonesia-Belanda-Jepang hingga era akhir Orde Lama. Untuk barisan pecinta satire garis keras seperti saya, buku ini juara.
Orang-orang tertindas hanya memiliki satu alat untuk melawan: amuk, dan jika aku harus memberitahumu, revolusi tak lebih amuk bersama-sama, diorganisir oleh sebuah partai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
AcakPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...