Judul: 1984
Penulis: George Orwell
Penerbit: Harvil Secker
Genre: Dystopian/Fiksi Ilmiah
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2016
Nilai: 5
Setelah membaca berbagai buku yang diakui bagus secara internasional, saya mengambil kesimpulan bahwa buku yang bagus haruslah buku yang membuat saya kesal. Kenapa? Karena, kalau rating-nya sangat tinggi di media sosial, pasti buku itu membuat saya kesal. Terutama buku klasik. Untuk buku karya penulis Indonesia, karangan Pramoedya Ananta Toer selalu langganan membuat saya kesal. Penggambarannya terlalu riil, membuat saya ikut emosi seolah berdiri di samping pemeran utamanya.
Buku 1984 ini sangat terkenal. Wajar, karena penulisnya berhasil menciptakan dunia yang amat kejam, out-of-box, tapi terasa begitu dekat dengan realita. Secara singkat, buku ini menceritakan tentang socialism gone wrong. Sebagian paham komunisme, dan sosialisme, yang awalnya ditujukan untuk menolong rakyat kelas bawah, berujung menjadi alat bagi pemerintah untuk mengeksploitasi hak setiap elemen masyarakat. Di semua tempat ada mata, di setiap waktu ada yang mengawasi dan mengontrol. Propaganda seolah menggantikan oksigen, sumber energi serta kebutuhan paling mendasar untuk hidup. Sejarah direka ulang setiap hari, diedit dan diralat sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Kenyataan adalah apa yang diucapkan pemerintah. Misal, doublethink, thoughtcrime, Newspeak, telescreen, 2 + 2 = 5, dan memory hole.
Satu kata yang bisa saya berikan untuk cerita ini: gila. Sebagai makhluk yang hidup di era demokrasi, saya sama sekali tidak bisa membayangkan keadaan otoriter yang penuh tekanan dari pemerintah; propaganda, tidak ada kebebasan bersuara, bahkan tidak bebas untuk berpikir! Doublethink sendiri berarti kewajiban untuk menerima dua hal yang kontradiktif, selama pemerintah mengatakan A, yang meski berlawanan dengan pernyataan B, masyarakat harus percaya. Thoughtcrime adalah kejahatan dalam berpikir; berpikir kritis, kreatif, memprotes, ingin kebebasan, ide untuk melawan, dan sebagainya. Lalu 2 + 2 = 5 sendiri lebih menggambarkan cuci otak, artinya selama pemerintah menyatakan sesuatu, meski masyarakat tahu itu salah, maka pernyataan itu otomatis benar.
Saya paling suka nama kementrian mereka.
The Ministry of Peace untuk urusan perang negara; Ministry of Truth untuk menciptakan kebohongan, merevisi sejarah, menghapus ingatan, menyensor kebenaran, dan menghilangkan orang ("unperson") seolah-olah orang itu tidak pernah ada; the Ministry of Love untuk menghukum dan menyiksa kriminal negara, orang-orang yang berpikir kritis ("thoughtcriminal"), yang berniat menghancurkan kekuasaan negara, dan yang melanggar peraturan; dan the Ministry of Plenty yang mengurusi sandang dan pangan, sengaja membiarkan warga negaranya kelaparan dengan alasan sedang berperang.War is peace.
Freedom is slavery.
Ignorance is strength.Bukunya bikin depresi. Sepanjang cerita, tidak ada harapan untuk protagonis. Tidak ada titik terang. Seram, tapi membuat penasaran. Bahkan di akhir cerita, nasib juga belum berpihak kepada tokoh utama. Seriously, the book is gonna haunt you weeks after you've finished it. Recommended to anyone who likes dystopian background, or simply wants to try to read a classic.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
RandomPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...