Judul: The Fourth Industrial Revolution
Penulis: Klaus Schwab
Penerbit: Crown Business
Genre: Non-fiksi
KOMENTAR PRIBADI
Tahun baca: 2019
Nilai: -
Catatan: Klaus Schwab adalah pendiri World Economic Forum
Mungkin ke depannya kalian akan sering lihat saya tidak memberikan nilai, terutama untuk buku-buku yang saya merasa bukan kapasitas saya untuk menilai. Termasuk buku ini. Mohon dimaklumi ya, saya sedang malas menulis ulasan tentang novel fiksi karena harus berpikir keras untuk mengorek ingatan lama.
Jadi, kalau kalian suka baca atau nonton berita, mungkin sudah beberapa kali bertemu kata Revolusi Industri 4.0 atau Industri 4.0. Pemerintah cukup heboh menanggapi isu ini, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Kalau belum pernah bertemu, saya coba jelaskan sedikit. Gambaran kasarnya, revolusi industri merupakan nama untuk perubahan besar-besaran di semua aspek kehidupan akibat perubahan dari pola industri. Contohnya, dari hidup nomaden, kita jadi hidup menetap setelah ditemukan cara beternak dan bertani. Dari 100% mengandalkan tenaga manusia, tahun 1800-an Eropa mulai mengggunakan mesin untuk industri, sehingga produksi menjadi lebih cepat dan lebih banyak. Dari kuantitas produksi yang hanya cukup memenuhi permintaan di kota-kota terdekat, terjadi krisis overproduksi setelah ditemukan kereta.
Nah dalam konteks ini, Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi yang ditandai dengan digitalisasi besar-besaran: artifical intelligence (AI), robot, the internet of things (IoT), kendaraan otomatis, 3D printing, teknologi nano, bioteknologi, dan lain-lain. Kalau masih bingung, bayangkan kita sedang dalam transisi untuk hidup di dunia yang kita lihat di cerita-cerita fiksi ilmiah.
Kenapa penting untuk paham isu ini? Karena jelas, semua makhluk hidup pasti akan terkena dampaknya. Ada banyak sekali pekerjaan yang diprediksi akan hilang. Mindset juga seharusnya ikut berubah, karena nyatanya perusahaan seperti Whatsapp dan Instagram tidak memerlukan modal terlalu besar untuk mengubah perilaku manusia. Kata Schwab, "The question is no longer, 'Am I going to be disrupted?' but 'When is disruption coming, what form will it take and how will it affect me and my organization?'"
Untuk menggambarkan hebatnya dampak Revolusi Industri 4.0, buku ini mengutip beberapa opini dan penelitian orang lain:
"Uber, the world's largest taxi company, owns no vehicles. Facebook, the world's most popular media owner, creates no content. Alibaba, the most valuable retailer, has no inventory. And Airbnb, the world's largest accomodation provider, owns no real estate."
Penelitian tentang profesi mana yang diprediksi akan hilang:
"Organization such as Da' esh, or ISIS, operate principally in defined areas in The Middle East but they also recruit fighters from more than 100 countries, largely through social media,''
"While neurotechnologies such as neuroprosthetics are already employed to solve medical problems, in the future they could be applied to military purposes. Computer systems attached to brain tissue could enable a paralysed patiet to control a robotic arm or leg. The same technology could be used to direct a bionic pilot or solider. Brain device designe to treat the condition of Alzheimer's disease could be implanted in soldiers to erase memories or create new ones. 'It's not a question of if non-state actors will use some form of neuroscientific techniques or technologies, but when, and which ones they'll use,' reckons James Giordano, a neuroethicist at Georgetown University Medical enter, 'The Brian is the next battlespace.'"
"... refugees fleeing Syria use Google Maps and Faceboook groups not only to plan travel routes but also to avoid being exploited by human traffickers."
"Amazon and Netflix already possess algorithms that predict which films and books we may wish to watch and read. Dating and job placement sites suggest partners and jobs — in our neighborhood or anywhere in the world — that their systems figure might suit us best. What do we do? Trust the advice provided by an algorithm or that offered by family, friends, colleagues? Would we consult an Ai-driven robot doctor with a perfet or near-perfect diagnostic success rate — or stick with the human physician with the assuring bedside manner who has known us for years?"
Pemaparannya seru. Holistik, tidak bertele-tele dan dijelaskan dengan bahasa yang ringan. Saya mungkin anomali karena sudah lama terganggu dengan isu ini, padahal masih duduk di bangku kuliah juga. Entah ya, saya kok rasanya miris lihat orang di sekeliling saya tidak bisa lepas dari hapenya, dari Instagram, dari Line, dari Youtube, dan sebagainya. Bukan masalah teknologinya, saya suka kok dengan ide pengembangan teknologi sampai tahap yang tidak terbayangkan. Intermezzo aja, di Cina bahkan ada ilmuwan yang (tidak dengan persetujuan pemerintah dan institusi sejenis) merekayasa kode genetik bayi kembar untuk menghilangkan gen tertentu (CCR5) agar si bayi tersebut tidak bisa terinfeksi virus HIV. Bayinya masih hidup, btw. Menarik ya, manusia berlagak jadi Tuhan. Hehe.
Intinya, saya merasa miris dengan kontrol di masyarakat. Kelihatan sekali kalau generasi kita tidak bisa mengontrol, memilah, menganalisis, dan membatasi fasilitas yang disediakan Industri 4.0. Kalau dosen mengajar, malah buka online shop. Kalau sedang duduk sama teman, bukanya Instagram. Kalau tidak ada kerjaan, ya mencari apa saja yang bisa dikerjakan di dalam hape. Kalau ada kerjaan pun, pasti masih ketagihan sama media sosial. Dan bodohnya, saya juga pernah masuk jadi bagian itu dua tahun belakangan. Sekarang saya taubat. Ternyata kalau saya tidak bodoh-bodoh amat, waktu nge-scroll saya bisa dipakai untuk baca buku, mengobrol berfaedah, menulis, dan lainnya yang lebih bermanfaat.
Serius deh, bahkan sekarang kalian tidak peduli kan kalau ada orang kecelakaan sampai mati gara-gara sibuk dengan ponsel? Sudah sering, ngapain peduli. Padahal kita bisa aja kayak gitu juga.
Di buku ini, dijelaskan kalau banyak dari generasi sekarang punya tingkat empati yang lebih rendah, diduga karena paparan digitalisasi berlebihan. Saya curiga, lama-lama bukan kemampuan bersosialisasi saja yang menurun, tapi bisa jadi kemampuan berpikir juga menurun karena terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menikmati konten yang kurang mendidik. Apalagi, kalau ditambah dominasi artificial intelligence yang mempermudah kehidupan kita.
Technology is not an exogenous force over which we have no control. We are not constrained by a binary choice between "accept and live with it" and "reject and live without it". Instead, take dramatic technological change as an invitation to reflect about who we are and how we see the world.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir Kritis
RandomPernah orang bijak bilang, "Kamu hari ini sama seperti kamu lima tahun lagi, kecuali dalam dua hal: buku yang kamu baca dan orang yang kamu jumpai." Menanggapi itu, saya sebagai pembaca amatir, jadi tertantang untuk mendokumentasikan hasil bacaan sa...