Sirkus Pohon - Andrea Hirata

2.6K 211 26
                                    

Judul: Sirkus Pohon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul: Sirkus Pohon

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Genre: Fiksi Umum


KOMENTAR PRIBADI

Tahun baca: 2019

Nilai: 4,0

Wah, saya lebih suka cerita di buku yang ini dibandingkan cerita Ayah! Padahal unsur pungguk merindukan bulannya ya mirip-mirip. Lalu entah mengapa, buku yang saya baca berturut-turut di awal tahun (Sirkus Pohon-Cantik Itu Luka-Ayah) semangat menjadikan protagonis mereka orang gila sampai saya berprasangka, "Apakah protagonis yang stres lalu gila sedang tren di Indonesia?"

Oh ya, saya mau justifikasi sedikit. Saya memang akan selalu tertarik dengan bukunya Andrea Hirata. Bukan karena saya sangat suka tulisannya, tapi karena saya suka impresi di awalnya. Saya baca Laskar Pelangi sampai Edensor di sekolah dasar. Dan saya suka. Terutama Edensor. Jadilah.

Kalau di awal saya suka, biasanya saya setia. Seperti buku-bukunya Rick Riordan. Sebaliknya, kalau awalnya saya tidak suka, saya jadi trauma. Seperti bukunya Dee Lestari.

(Tenang, saya belum trauma dengan bukunya Tere Liye)

Plotnya, seperti biasa, melebar tumpang tindih. Alurnya juga maju mundur, jadi ulasan saya juga akan sekilas-sekilas saja. Kemudian, jangan kaget dengan logika cerita yang bolong, gaya cerita yang hiperbolis, dan karakter tokoh yang sedikit tidak konsisten. Ya, memang begitu. Tapi saya masih suka sih, karena Pak Cik selalu berani menyertakan tokoh-tokoh aneh yang bikin ketawa.

Sirkus Pohon diceritakan lewat sudut pandang aku, tapi mengikuti dua kisah yang saling terkait. Aku adalah Sobrihudin bin Sobirinudin, dipanggil Sob, dan akhirnya jadi Hob (saya lupa persisnya kenapa, kayaknya karena ada orang ompong yang panggil dia). Si Hobi sendiri adalah bujang lapuk yang menumpang di rumah adik perempuannya, kerjanya luntang-lantung akibat berhenti sekolah di kelas 2 SMP. Bukan, bukan karena tidak punya uang. Tapi karena dia bersahabat dengan bocah begajulan, namanya Taripol, yang sering menghasutnya kesana-kemari.

Sinopsis, dan bab pertama, bercerita tentang pohon delima:

Baiklah, Kawan, kuceritakan kepadamu soal pertempuranku melawan pohon delima di pekarangan rumahku dan bagaimana akhirnya pohon itu membuatku kena sel, lalu wajib lapor setiap Senin di Polsek Belantik.

Benci nian aku pada delima itu. Lihatlah pohon kampungan itu, ia macam kena kutuk. Pokoknya berbongkol-bongkol, dahan-dahannya murung, ranting-rantingnya canggung, kulit kayunya keriput, daun-daunnya kusut. Malam Jumat burung kekelong berkaok-kaok di puncaknya, memanggil-manggil malaikat maut. Tak berani aku dekat-dekat delima itu karena tahu pohon itu didiami hantu.

Tapi habis itu sudah. Satu bab saja yang bahas tentang delima, habis itu pembaca dibawa pergi oleh Hob mengikuti perjuangannya mencari kerja. Tapi ya, tentu Hob tidak bisa dapat kerja. Dia bahkan tidak tamat SMP, sedangkan rata-rata pekerjaan minta ijazah SMA. Lalu si pohon delima ini pun nanti baru dibahas lagi di Babak II.

Cerita mulai seru ketika Hobri bertemu perempuan yang sedang menonton pertandingan bola voli antar karyawan PN Timah melawan Dinas Lalu Lintas dan Angkatan Jalan. Nama perempuanya Dinda. Sejak saat itu, dia sangat bersemangat mencari kerja demi bisa mempersunting Dinda. Akhirnya dapatlah si Hobri pekerjaan yang diidam-idamkan: kerja tetap, masuk pagi buta, ada absennya, pakai tas, punya seragam, ada gaji bulanan, ada mandornya, ada lemburnya, ada tunjangannya, dan ada perjalanan dinasnya. Jadi apalagi kalau bukan jadi badut sirkus keliling!

Kepada siapa yang telah menciptakan kata mandor, kuhaturkan banyak-banyak terima kasih. Mandor, bukankah satu kata yang hebat. Di kalangan kuli PN Timah, sering kudengar istilah mandor kawat dan mereka menyebutnya dengan nada segan. Bagiku, kata mandor berarti 'disiplin, organisasi, pengaturan orang-orang, suatu pengawasan, suatu ketertiban, suatu usaha bersama untuk mencapai tujuan, suatu cara modern dalam bekerja'.

Hebat betul Pak Cik membungkus profesi badut sirkus menjadi profesi yang diidealkan masyarakat zaman itu. Saya geli sama sindirannya. Lucu tapi menggemaskan karena si Hob memang lugu dan agak bodoh.

Konflik utamanya ya, sekitar Sirkus Keliling itu. Mereka sukses, karena memang pemiliknya (ibu dari Tara) sangat terampil mengelola sirkus. Sayangnya, mantan suami pemiliknya punya utang banyak, akhirnya sirkus itu dibakar. Teruslah kita diajak mengikuti kesedihan dan perjuangan tiap orang yang terlibat dalam sirkus. Tidak terkecuali Taripol.

Atau terutama Taripol, karena sirkus itu satu-satunya yang percaya pada kemampuannya? Percaya kalau dia tidak akan berkelakuan seperti penjahat kelas teri layaknya biasa?

Sebetulnya ceritanya agak membosankan, tapi tertolong oleh cerita Tara-Tegar; pasangan sejoli yang bertemu di pengadilan agama saat orang tua mereka cerai. Keduanya masih bocah, tidak tahu nama satu sama lain, dan tidak sempat menanyakan identitas juga. Jadilah perjuangan mereka bertahun-tahun untuk menemukan satu sama lain. Baru ketemu di akhir buku. Yha. Tapi memang Andrea Hirata kuat sekali dalam menceritakan humor satire, sih, jadi saya tahan-tahan saja walaupun Tara-Tegar selalu digambarkan sial (dengan agak menggemaskan dan kurang logis) dalam pencarian mereka.

Menurut saya, alurnya baru greget ketika cerita dikembalikan ke pohon delima. Si delima ini dijadikan kambing hitam atas kemalangan yang melanda Dinda. Dinda mengalami gangguan jiwa (gejala: mutism, curiga: brief psychotic disorder atau schizophrenia atypical). Hob yang tadinya mau menikah, harus ditunda.

Lalu ceritanya lompat ke politik kampung: amboi, pemilihan kepada desa pakai debat segala di radio! Menarik sekali. Ada Gastori, Baderunudin, Zainul Abidin, dan Debuludin. Meskipun ya, tidak masuk akal juga mereka ada debat politik di radio, kecuali memang tahunnya setelah tahun 2004. Padahal seingat saya, latar waktunya zaman Orde Baru. Namun terlepas dari itu, konsep perebutan jabatan kepala desanya asyik sekali. Si pohon delima berujung dianggap pohon sakti, yang mana kepala desa yang fotonya terpasang di sana otomatis akan terpilih.

Berkat Abdul Rapi, penasehat calon kepala desa bernama Gastori, warga kampung pun ikut percaya. Mereka berbondong-bondong datang ke delima Hob; ada yang mencium, memeluk, memasang foto supaya lulus tes PNS, dan sebagainya. Yang ini sangat menyindir menurut saya. Budaya di Indonesia memang begitu, kan? Bahkan di kursi yang tinggi-tinggi di ibu kota pun, masih ada yang sibuk bayar dukun.

Penutupnya lumayan melegakan. Dinda kembali sehat. Hobri menikah. Sirkus balik lagi. Pohon delima akhirnya tidak laku. Tadinya saya tidak akan beri bintang segitu, tapi begitu sadar bahwa Abdul Rapi; intelektual yang menciptakan debat calon kepala desa, meyakini warga bahwa pohon delimanya sakti, serta berperan penting dalam perebutan uang untuk mendirikan Sirkus Pohon kembali, adalah Taripol, saya kagum.

Ternyata mantap juga konspirasinya.

Masih banyak masalah yang belum tuntas. Ternyata Sirkus Pohon ini memang trilogi. Saya bakal baca cerita lanjutannya, sih. Ada yang sudah baca Orang-orang Biasa?

Setiap bangun pagi aku berteriak lantang: Bangun pagi, let's go! Lalu, ajaib, segala hal terbangun. Cecak terbangun, tokek terperanjat, pohon-pohon terbangun, ilalang bangkit, burung-burung bersorak, kumbang-kumbang terbang, ayam-ayam berkokok, bunga-bunga mekar, semua tak ingin ketinggalan, semua ingin berangkat! Semua ingin melihat dunia! Ingin belajar! Ingin bekerja! Ingin berkarya!

Kapan-kapan Kita Belajar Berpikir KritisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang