Mungkin, memang benar adanya. Terkadang, kita hanya dipertemukan oleh seseorang yang menurut kita dialah yang terbaik. Tapi, nyatanya tidak. Kenapa? Karena dia hanya untuk dipertemukan. Bukan untuk dipersatukan.
Aku berdo’a kepada Allah dalam shalatku. Aku meminta petunjuk akan Fatih. Dia seseorang yang ditentang umi karena alasan yang tidak masuk akal. Aku terharan, mengapa ummi bisa membeci Fatih karena pertemuan sangat-sangat singkat itu?
Hari ini adalah acara pernikahan bang Syakir yang di selenggarakan di masjid terbesar di Bandung, hari bahagia itu datang. Terlihat sekali binar wajah dari bang Syakir. Akupun sebagai adiknya merasa bahagia. Itu tandanya, ada keluarga baru yang datang.
Tak terlebih kakak ipar ini, aku sudah mengenalinya. Jadi, tak perlu canggung lagi kan?
“ Cie, yang mau jaadi kepala keluarga.” Ujar ku.
“ Apaansi cia cie. Ga jelas banget si kamu.”
“ Gugup nih ye. Uhuy. Piwit.” Ujar ku yang lagi meledek bang Syakir.
Dia hanya bergeming, malas menanggapi tingkahku ini.
“ Oh ya bang, aku mau nanya serius deh sama abang. Masa umi ga setuju kalo aku sama Fatih. Itu kenapa si bang. Umi ga biasanya kaya gitu.” Tanya ku heran.
“ Ya kamu tanya Umi lah, masa tanya abang. Kamu aja ga tau, apalagi abang.”
“ Aku udah tanya bang, kata umi. Umi ga sreg sama dia. Padahal kan ummi ga biasanya menilai orang dari pertama kali bertemu. Aneh gak si?. Akau merasa umi nyembunyiin sesuatu dari aku.”
“ Kamu tuh ada ada aja deh de. Mana mungkin umi seperti itu?. Daripada kamu berfikir yang enggak –enggak, mendingan kamu tolong ambilin hape abang di kamar. Ketinggalan, tolong ya adikku yang manis.”
“ Kalo kayak gini aja muji muji. Huhu.”
Aku bergegas ke lantai atas, menuju kamar bang Syakir.“ Dimana sih hapenya bang Syakir?.” Aku mencari di laci laci lemari. Nihil, gak ada. Aku menuju sudut kamar ini, dimana terletak meja kerja bang Syakir.
“ Aha. Ini dia. Loh.” Aku menemukan telfon genggam bang Syakir. Tapi, aku juga menemukan hal yang selama ini aku cari. Tapi, mengapa bisa ada disini?
***
Syakir yang masih berada di ruang tamu pun, menghampiri umi yang berada di kamarnya.“ Assalamu’alaikum mi,” ketukan pintu terdengar.
“ Ada apa nak?”
“ Aku khawatir Mi, apa kita kasih tau yang sebenarnya sama qila?.”
“ Kamu berfikiran apa sih nak. Umi ga setuju sama kamu.”
“ Tapi, cepet atau lambat Syaqila juga akan tahu yang sebenarnya mi. Daripada dia tau dari orang lain, lebih baik dari kita mi. Pasti dia akan kecewa sama kita.”
“ Umi gak bisa nak, umi gak mau dia trauma lagi seperti dulu.”
“ Sayang umi salah, umi ga bisa ambil hak ini sama Syaqila mi. Dia berhak tau.”
“ Tapi nak—“
“ Walaupun umi gak setuju, Syakir akan bilang sama dia.”
***
BengkuluKakek Zai, itulah yang kusebut hingga saat ini. Dia memberikanku kasih sayang sama seperti kasih sayang yang diberikan oleh ayah untukku. Yang telah berpulang beberapa tahun lalu. Disaat itu hatiku, hancur.
Orang yang sangat kusayangi itu pergi semenjak itulah, aku mempunyai prinsip agar orang yang kusayangi akan kujaga bagaimanapun caranya juga.
“ Nak, kamu udah sehatan?.”
“ Udah mi. Aku juga udah minum obatnya kok mi.”
“ Fahriz, jaga kesehatan kamu ya. Kan kata dokter kamu gak boleh cape-cape. Oh ya, Syahna dateng tuh.”
“ Iya mi. Dia ngapain ke sini mi?.”
“ Katanya ada yang mau dia omongin sama kamu.”
“ Yaudah mi, aku pergi kedepan dulu ya.”
Aku melangkahkan kaki ku menuju teras rumah. Disana ada kakek Zai juga.“ Loh kek, Syahnanya mana? Katanya dia kesini.”
“ Iya nak, tadi di kesini. Nitip surat buat kamu.”
“ Wah, cucu kakek ada penggemarnya ya?.” Lanjutnya.
“ Bisa aja kakek. Makasih ya kek.”
Aku menuju kamar, dan segera membaca surat tadi. Aku penasaran. Kira-kira apa ya isinya?Assalamu’alaikum Fahriz?
Apa kabar, udah lama ya kita tidak bertemu? Aku malu ketemu kamu. Jadi, aku hanya menitipkan surat ini untuk kamu. Aku dengar kamu baru kecelakaan? Kamu baik-baik saja kan? Aku harap begitu.
Oh ya riz, aku gak mau basa-basi lagi. Sebenarnya,tujuan aku menulis surat ini ialah aku ingin menjadi bagian dari penyempurna iman kamu. Kamu tahu? Aku memang bukan seperti kisah-kisah wanita di Zaman Nabi. Tapi, aku ingin mencontoh ibunda Khadijah yang berani melamar Nabi Muhammad terlebih dahulu. Tak salah kan tih? Aku harap kamu mau menerimanya. Aku menunggu balasan surat ini tih.
Wassalamu’alaikum,Syahna.
Hati ini,bimbang. Bisakah aku menerimanya atau menolak tapi tidak menyakitinya?***
Selamat membaca ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐇𝐚𝐥𝐚𝐥 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮
Short Story𝘉𝘦𝘳𝘫𝘶𝘵𝘢 𝘫𝘶𝘵𝘢 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘢𝘱𝘪, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘮𝘶? _____________________________