31 - Tak Ada Istilah Kebetulan

1.4K 65 10
                                    

Bandung

Hari ini hari senin, ini pertama kalinya aku berpuasa dengan suamiku, kak Syakir. Aku membuka mata, menatap jam dinding yang terpajang apik di sudut ruangan. Sekarang sudah pukul 03.00 pagi.

Lalu aku beralih menatap wajahnya yang masih tertidur pulas, rasanya menenangkan sekali, terkadang aku masih berfikir, apakah benar dia telah menjadi suamiku? Aku bisa menyentuh wajahnya sekarang. Menyenangkan. Dia memegang tanganku dengan erat yang berada di pipinya.
"Jangan liatin gitu terus, nanti kamu makin cinta sama saya." Ujarnya yang masih memejamkan mata.

"Siapa, geer kaka ini ya." Ujarku mengelak.

"Pasti wajah kamu sudah memerah sekarang." Ucapnya lagi yang masih memejamkan mata, ditambah dengan senyuman.

"Sudah deh ka, lepasin tangan aku. Aku mau siapin untuk sahur."

"Nggak mau."

"Lepasin gak ka, kalau enggak, Aisyah--"

"Aisyah apa?" tanyanya yang sudah membuka matanya. Mataku membulat, melihat wajahnya yang sekarang menedekat. Aku malu, walaupun sudah halal, tetap saja. Aku langsung buru-buru bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan segera shalat tahajud bersama kak Syakir.


***

Bengkulu

Pagi mentari menyambut tirai-tirai gorden yang telah terbuka, aku menatap ke halaman luar, tanaman hijau meneduhkan hatiku. Suara bariton menyambutku. "Na!". Mama ku memanggil dari luar kamarku, aku menuju pintu kamar dan membuka knop pintu. Dan langsung berjalan menghampiri mamaku yang tengah duduk di bangku dekat meja makan.

Aku menarik kursi di sebelah mamaku. Dan memeluknya erat. "Iya, ada apa mamaku sayang?" ujarku menggodanya. Mama memberhentikan aktifitasnya, mengoles selai stroberi ke atas benda empuk berwarna putih itu. "Jangan goda mama ya." Mama mendelik. Dan melanjutkan aktifitasnya yang tertunda sepersekian detik, ia melipat roti dan menaruhnya di atas piringku.

"Jadi gimana?" suara mama tiba-tiba mengintrupsiku.

"Apa ma?"

"Kamu sama Fahriz?"

"Enggak ada apa-apa kok ma." Elakku. Aku mengambil roti yang telah mama taruh di atas piringku.

"Jangan bohong, mama tahu ko, orang tante Ransyah cerita sendiri sama mama. Dia setuju kok, kamu sama Fahriz." Ujar mama yang membuat perutku terasa ada kupu kupu yang menggelitik di dalamnya. Wajahku, pasti memerah.

"Ehm, serius ma?"

"Tuhkan, benar. Iya sayang, baru saja tadi tante Ransyah telfon. Tapi-" Mama memberi jeda pada kalimatnya. "Fahriz belum memberikan jawaban sayang, kamu sabar ya"

Lagi, jawaban Fahriz membuatku bertanya. Kenapa dia masih mencintainya? Apa yang membuat Fahriz tidak bisa melupakannya. Padahal, dia perempuan yang baik. Tak seharusnya, dia mendapatkan sosok Fahriz. Mukaku terlihat sudah layu sekarang, mama mengusap pundakku dan mengucap namaku. "Syahna, semua itu sudah ada yang mengatur. Kamu nggak usah khawatir lagi ya."

"Ma, tapi sampai kapan? Syahna cape ma. Kenapa Syaqilla nggak bisa Fahriz lupain? Kenapa Fahriz nggak bisa terima kenyataan?"

"Nak, kamu juga harus nmengerti keadaan Syaqilla saat ini. Kamu juga nggak bisa memaksa seseorang untuk mencintai kamu." Jawaban mama membuat hati ku tersentak. Ya, memang tak seharusnya, aku memaksakan kehendak orang lain. Aku, tak berhak untuk memisahkan kedua orang yang saling menyukai. Tapi apakah ini benar? Aku hanya ingin melindungi Syaqilla, membiarkannya hidup bebas tanpa membuatnya trauma untuk kedua kalinya.

𝐇𝐚𝐥𝐚𝐥 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang